LIPUTAN KHUSUS:

Sumpah Pemuda Era Gen Z: Harus Ada Keadilan Iklim


Penulis : Aryo Bhawono

Peringatan Sumpah Pemuda di masa kini bukan hanya peringatan soal kesatuan bangsa tapi beranjak pada kesadaran iklim.

Iklim

Rabu, 29 Oktober 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Peringatan Sumpah Pemuda di masa kini bukan hanya peringatan soal kesatuan bangsa tapi beranjak pada kesadaran iklim. Kini, kian banyak Gen Z yang memilih jadi aktivis lingkungan karena terdampak krisis iklim sejak lahir. 

Riset Climate Rangers, sebuah lembaga lintas generasi untuk keadilan iklim, terhadap 382 responden Gen Z di Jakarta menunjukkan anak muda mulai sadar perubahan iklim telah berdampak pada kehidupan mereka. Meski sebagian besar masih memandang krisis iklim sebatas cuaca ekstrem (95,5 persen). 

Pengkampanye dan Staf Komunikasi Climate Rangers, Febriani Nainggolan, menyebutkan anak yang lahir pada tahun 2020 akan mengalami dampak krisis iklim yang jauh lebih parah dibandingkan generasi kakeknya. Mereka mengalami gelombang panas tujuh kali lebih banyak, kekeringan tiga kali lebih sering, dan banjir besar dua kali lebih intens.

“Dampak krisis iklim itu sangat kompleks, termasuk pada kesehatan fisik dan mental, ketahanan pangan, hingga kerusakan infrastruktur akibat bencana seperti banjir dan rob,” ujarnya dalam Diskusi Dua-Mingguan Nexus Tiga Krisis Planet bertajuk “Gen Z Menagih Tanggung Jawab Iklim” di Jakarta pada Selasa (28/10/2025).

Anak-anak muda dalam aksi Draw the Line mendesak keadilan iklim digerakkan di 33 kota dan kabupaten di Indonesia pada 19-21 September 2025. Sumber: Climate Ranger

Diskusi yang digelar saat Sumpah Pemuda ini menengarai bahwa anak-anak muda pun sadar bahwa tanggung jawab terbesar dalam menghadapi krisis iklim berada di tangan pemerintah. Namun, 62,4 persen responden merasa bahwa pelibatan orang muda oleh pemerintah masih bersifat tokenisme atau sekadar formalitas tanpa makna. 

“Orang muda sering hanya diundang secara simbolis, bukan untuk benar-benar dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Padahal kitalah yang paling merasakan dampaknya,” kata dia..

Diskusi ini sendiri mengundang perwakilan Kemenpora namun tidak hadir. Moderator diskusi, Fiorentina Refani dari Bioekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), mengatakan pelibatan Gen Z semestinya tidak hanya sekedar meramaikan panggung, namun masukannya harus diakomodir. 

“Pemerintah yang tidak hadir dalam diskusi ini, simaklah masukan dari kami: ubah kebijakan pemerintah untuk generasi muda. Ambil sikap lebih ambisius dalam mengurangi emisi,” kata dia. 

Generasi muda saat ini tumbuh di tengah kecemasan soal krisis iklim yang terus memburuk. Mereka menanggung beban dari keputusan ekonomi masa lalu yang menempatkan pertumbuhan di atas keberlanjutan, merasakan suhu bumi yang semakin panas, polusi udara yang semakin pekat, bencana banjir yang semakin sering, kekeringan dan kerusakan lingkungan, serta dampak sosial lainnya.

Semakin Banyak Gen Z Menjadi Aktivis Lingkungan

Dian Irawati dari lembaga riset Kawula17 juga mengungkapkan hasil riset yang dilakukan lembaganya. Pada survei publik yang dilakukan di kuartal ketiga 2025 terhadap 404 responden, kata Dian, ada dua isu utama yang disoroti oleh masyarakat. Isu itu adalah inefisiensi pengelolaan sampah (33 persen), dan kerusakan lingkungan akibat tambang (32 persen).

Meningkatnya perhatian terhadap isu-isu ini didorong oleh maraknya publikasi terkait hal-hal yang merusak alam Indonesia. Misalnya saja kasus tambang di Raja Ampat yang memicu kampanye #SaveRajaAmpat, dan isu perampasan hutan adat (26 persen ) yang turut mengemuka lewat kampanye #SavePulauPadar. 

“Tren ini menunjukkan, dalam dua tahun terakhir kesadaran publik semakin kuat terhadap pentingnya perlindungan ekosistem dan keadilan lingkungan di Indonesia,” ucap Dian.

Survei lain terhadap 1.342 responden muda menunjukkan peningkatan signifikan dalam tingkat aktivisme. Sebanyak 42 persen tergolong participant - naik dari yang sebelumnya hanya spectator - dan 35 persen activist

“Artinya, semakin banyak anak muda yang tertarik dan terlibat dalam isu lingkungan, HAM, gender, dan antikorupsi,” jelas Dian.

Sayangnya anak muda sering dipandang sebagai beban, bukan pihak yang rentan dan harus dilindungi. Padahal, anak muda adalah kelompok paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sudah seharusnya mereka dilibatkan sebagai aktor karena ini menyangkut masa depan.

Sementara menghadapi krisis iklim, dunia sudah menyepakati Perjanjian Paris untuk menahan suhu global di bawah 1,5°C dibandingkan tingkat pra-industri. Saat ini suhu telah meningkat 1,3°C. Bahkan dalam skenario paling optimistis, kenaikan diperkirakan mencapai 1,9°C,  melampaui ambang batas aman. 

“Kebijakan iklim Indonesia masih belum cukup ambisius. Emisi tetap meningkat, bahkan dengan bantuan sektor kehutanan,” ujar Febri.

Jaringan Climate Rangers di 32 provinsi, anak muda Indonesia menyampaikan sejumlah tuntutan untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Mereka menuntut kebijakan iklim yang adil dan ambisius, transisi berkeadilan, keadilan finansial dan pertanggungjawaban historis, serta partisipasi bermakna orang muda. 

Sedangkan untuk Pemerintah Indonesia, Climate Rangers menuntut pengesahan kebijakan berkeadilan iklim, penghentian solusi palsu, percepatan transisi energi berkeadilan, pendanaan solusi rakyat, dan kebijakan yang berpihak pada keadilan lingkungan.