LIPUTAN KHUSUS:
Revisi Aturan Bangun PLTU Batu Bara Bisa Hambat Transisi Energi
Penulis : Kennial Laia
Rencana pemerintah mengubah aturan yang melonggarkan syarat pembangunan PLTU batu bara dinilai dapat memicu emisi di sektor ketenaglistrikan, yang berkontribusi pada krisis iklim.
Energi
Senin, 17 November 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Rencana pemerintah untuk melonggarkan syarat pembangunan pembangkit listrik (PLTU) batu bara dinilai berpotensi meningkatkan harga listrik serta mengancam transisi energi yang penting untuk menghadapi pemanasan global.
Peraturan terkait yang saat ini sedang digodok adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Beberapa usulan revisi di antaranya pelonggaran syarat pembangunan PLTU batu bara baru dengan tujuan menjaga keandalan sistem. Pemerintah juga berencana menambah pasal tambahan terkait pembangkit listrik tenaga hibrida (PLT hibrida), yang memungkinkan kombinasi energi fosil dengan energi terbarukan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan rencana kebijakan ini dapat memicu harga tenaga listrik, melemahkan daya saing, dan menambah risiko aset fosil yang mangkrak, serta mengancam transisi energi di Indonesia.
“Dengan derasnya laju transisi energi global, revisi Perpres ini seharusnya memperkuat ketentuan pengakhiran operasi PLTU pada 2050 dan juga melarang pembangunan PLTU batu bara baru termasuk diperluas untuk PLTU yang terintegrasi dengan industri, mulai 2025,” kata Fabby, Minggu, 16 November 2025.
Menurut Fabby, alasan membangun PLTU batu bara baru demi menjaga keandalan sistem juga bertentangan dengan ambisi dan perintah Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan penggunaan 100 persen energi terbarukan dalam sepuluh tahun ke depan.
Di sisi lain Indonesia sebelumnya telah menyepakati kemitraan pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), yang menargetkan 34 persen bauran energi terbarukan pada 2030.
“Adanya rencana kebijakan yang permisif terhadap pembangunan PLTU akan menurunkan kredibilitas Indonesia dan memberikan sinyal negatif investasi karena tidak konsisten dengan aspirasi transisi energinya,” kata Fabby.
Fabby mengatakan, keandalan sistem kelistrikan di Indonesia dapat dipertahankan tanpa menambah PLTU batu bara. Ekspansi jaringan dan transmisi serta pengembangan panas bumi, hidro, dan energi terbarukan yang variabel seperti energi surya, dan angin yang dipadukan dengan sistem penyimpanan energi, dapat menggantikan peran PLTU untuk menjaga keandalan.
Berbagai bukti pun menunjukkan keberadaan PLTU batu bara tidak selalu menjamin keandalan sistem. Salah satunya terlihat dari pemadaman listrik di Pulau Timor pada November 2025 yang disebabkan gangguan pada unit PLTU Timor, meskipun PLTU 2 x 50 MW ini beroperasi pada 2023, kata Fabby.
PLT hibrida bisa picu lonjakan emisi
Skema mencampurkan energi terbarukan dengan energi fosil dalam PLT hibrida juga berisiko memperpanjang penggunaan energi fosil dan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR Deon Arinaldo mengatakan, PLT hibrida seharusnya hanya digunakan untuk menggabungkan sesama energi terbarukan.
Menurutnya, PLT hibrida antara pembangkit fosil dengan energi terbarukan akan membuat Indonesia semakin terjebak pada aset fosil dan risiko aset telantar. Emisi ketenagalistrikan juga berpotensi melonjak dari rata-rata saat ini (0,85–0,87 kgCO₂e/kWh) jika pembangunan PLTU batu bara dilonggarkan.
“Lonjakan emisi di sektor ketenagalistrikan akan berimbas pada turunnya daya saing industri yang sedang dituntut melakukan efisiensi dan elektrifikasi untuk menurunkan jejak karbon produknya. Produk Indonesia berisiko kalah bersaing di pasar global, termasuk ekspor Uni Eropa yang telah menerapkan standar emisi ketat. Kondisi ini bisa menghambat target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen,” kata Deon.
Deon khawatir, jika Indonesia bersikeras mempertahankan dominasi energi fosil, maka banyak perusahaan multinasional, terutama anggota RE100 yang menargetkan 100 persen energi terbarukan, memilih menahan ekspansi bisnisnya, bahkan hengkang dari Indonesia.
Deon mendesak pemerintah untuk tetap berkomitmen mengakhiri operasi PLTU pada 2050, melanjutkan opsi pengakhiran operasi PLTU dini khususnya yang sudah tua dan tidak lagi efisien, serta melarang pembangunan PLTU baru, termasuk untuk industri pengolahan dan hilirisasi.
“Tidak hanya itu, pemerintah perlu pula mempercepat pengembangan energi terbarukan dengan sistem penyimpanan energi dan pengembangan jaringan tenaga listrik sebagai langkah menjaga keandalan listrik selama proses transisi,” kata Deon.

Share

