LIPUTAN KHUSUS:

Deforestasi Lampaui NDC, FWI Pertanyakan Integritas Pasar Karbon


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Luas deforestasi di Indonesia berada di kisaran 675 ribu hektare per tahun.

Deforestasi

Rabu, 03 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Di tengah gegap gempita COP30 di Belém yang menjanjikan lonjakan pendanaan iklim dan penguatan pasar karbon berbasis hutan, laju deforestasi Indonesia justru menunjukkan arah yang berlawanan. Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, sepanjang periode 2021-2024—ketika kerangka Nilai Ekonomi Karbon (NEK) diatur oleh Perpres 98/2021—rata-rata deforestasi Indonesia tetap berada di kisaran 675 ribu hektare per tahun. Angka ini jauh di atas jalur penurunan deforestasi yang konsisten dengan komitmen iklim minimum (NDC) Indonesia.

Kajian FWI menguraikan, pada 2025, pemerintah menerbitkan Perpres 110/2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional yang menggantikan Perpres 98/2021 dan menjadi kerangka hukum baru NEK dan perdagangan karbon. Rapor deforestasi 2021-2024 adalah produk langsung rezim Perpres 98/2021 dan menjadi titik tolak penting untuk menguji apakah Perpres 110/2025 akan memperbaiki defisit integritas iklim, atau justru mengakselerasi pasar karbon di atas fondasi yang rapuh.

Di COP30, berbagai inisiatif baru untuk hutan dan pasar karbon diluncurkan—mulai dari mekanisme di bawah Pasal 6, inisiatif “high integrity carbon markets”, hingga komitmen pendanaan miliaran dolar bagi kawasan tropis. Namun belum ada jaminan bahwa ekspansi pasar karbon ini tidak akan menggerus ruang penurunan emisi yang seharusnya digunakan Indonesia untuk memenuhi komitmen iklimnya sendiri.

Arsitektur NDC Indonesia bertumpu pada tiga skenario, yakni Business as Usual (BAU), mitigasi tanpa syarat (CM1), dan mitigasi bersyarat dengan dukungan internasional (CM2). Secara logis bila kita berprinsip pada integritas iklim, CM1 adalah lantai kewajiban minimum, penurunan emisi yang sudah dijanjikan Indonesia tanpa syarat tidak layak dikomodifikasi menjadi kredit ekspor.

Deforestasi di PT IFP. Foto: Auriga Nusantara

Dokumen perencanaan sektoral di FOLU yang diklaim selaras dengan jalur NDC–CM1 memproyeksikan total deforestasi yang “masih dapat terjadi” pada periode 2020-2030 sekitar 2,46 juta hektare, atau rata-rata hanya kurang lebih 220–230 ribu hektare per tahun untuk tetap berada di jalur komitmen minimum tersebut.

“Kalau angka ini kita bandingkan dengan rata-rata deforestasi faktual sekitar 675 ribu hektare per tahun sepanjang 2021-2024, artinya sektor kehutanan Indonesia sedang defisit integritas iklim. Alih-alih punya ‘stok’ penurunan emisi yang bisa dijual, kita bahkan belum mampu mengejar jalur penurunan emisi yang sudah dijanjikan dalam NDC,” ujar Tsabit Khairul Auni, Peneliti dan Pengkampanye Hutan FWI, Selasa (2/12/2025).

Dalam kondisi defisit seperti ini, lanjut Tsabit, penurunan deforestasi yang dihasilkan proyek-proyek karbon bukanlah “surplus mitigasi” yang bebas dikonversi menjadi kredit, melainkan bagian dari upaya menutup ketertinggalan Indonesia terhadap komitmen minimum yang sudah dinyatakan sendiri.

Dari Perpres 98 ke Perpres 110/2025: pasar dipercepat, integritas masih tanda tanya

Tsabit menguraikan, secara formal, Perpres 98/2021 menyebut NEK sebagai alat mencapai NDC dan melarang perdagangan karbon yang mengurangi capaian tersebut, tapi secara teknis ia hanya berhenti di baseline BAU tanpa mengunci hubungan baseline proyek–CM1–batas emisi sektoral. Celah ini memungkinkan developer menyetel baseline di atas CM1, lalu mengklaim penurunan BAU→CM1 sebagai “additionality” dan menjualnya sebagai kredit, padahal itu bagian dari kewajiban NDC Indonesia sendiri.

Sementara, Perpres 110/2025 datang dengan jargon penyempurnaan dan percepatan pasar karbon, tetapi pertanyaan kuncinya tetap, apakah ia menutup celah baseline dan menetapkan CM1 sebagai lantai kewajiban yang tak boleh dijual, atau justru melegitimasi komersialisasi kewajiban itu.

“Bahaya utamanya adalah pasar karbon berubah dari alat bantu penurunan emisi menjadi mekanisme finansial untuk mengkomersialisasi kewajiban negara sendiri. Mengganti Perpres 98 dengan Perpres 110 tidak otomatis menyelesaikan masalah kalau posisi CM1 dan desain baseline tetap dibiarkan kabur. Dalam situasi itu, jargon ‘high integrity’ berpotensi hanya menjadi slogan pemasaran,” ucap Tsabit.

COP30 menegaskan kembali peran hutan tropis sebagai penyangga utama target iklim global dan membuka jalur baru pendanaan untuk negara-negara pemilik hutan. Namun dalam teks dan dinamika perundingan, langkah konkret untuk menghentikan deforestasi dan mengendalikan ekspansi industri ekstraktif di kawasan hutan tidak bergerak secepat narasi pasar karbon dan pembiayaan.

“Belém menunjukkan bahwa uang untuk hutan dan karbon bergerak jauh lebih cepat daripada perlindungan hutan itu sendiri. Kalau Indonesia tidak menutup celah tata kelola NEK dan tetap membiarkan deforestasi berada di atas jalur CM1, setiap kredit yang dijual berpotensi menjadi beban tambahan bagi komitmen iklim kita sendiri,” ujar Tsabit.