LIPUTAN KHUSUS:

Dampak Ekspansi Sawit Ancam Kotawaringin Timur


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Pembukaan hutan alam untuk kebun sawit perlu ditangani dengan serius agar bencana seperti yang terjadi di Sumatera tidak menimpa Kalimantan Tengah, khususnya Kotim.

Deforestasi

Kamis, 11 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kelompok masyarakat sipil menganggap bencana ekologis berupa banjir dan longsor yang terjadi di Sumatera berpotensi juga terjadi di daerah lain di Indonesia, termasuk di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Sebab deforestasi di kabupaten tersebut terus meluas, dan baru-baru ini penebangan hutan alam tersebut terpantau terjadi di areal perkebunan sawit salah satu perusahaan yang beroperasi di sana.   

Save Our Borneo (SOB) mengatakan, luas hutan alam di Kotim, menyusut drastis, sementara ekspansi perkebunan sawit berjalan tanpa jeda. Data MapBiomas Indonesia 2024 mencatat hutan alam tersisa di kabupaten tersebut hanya kurang lebih seluas Pulau Lombok atau 471 ribu hektare. Jumlah ini lebih kecil dari pada luas kebun sawitnya yang mencapai 600 ribu hektare.

“Aktivitas deforestasi oleh perusahaan sawit di wilayah hulu Kotim dikhawatirkan akan memicu dampak bencana seperti Sumatera dalam waktu dekat,” kata Muhammad Habibi, Direktur SOB, Senin (8/12/2025).

Habibi mengatakan, fakta bahwa Kotim merupakan kabupaten dengan kebun sawit terbesar di Indonesia, bukanlah hal yang mengherankan mengingat masifnya deforestasi untuk sawit berlangsung di wilayah ini. Masalahnya, dominasi komoditas ini sudah mengalahkan luas tutupan hutannya.

Tampak alat berat jenis ekskavator tengah melakukan aktivitas pembukaan lahan di areal PT Bintang Sakti Lenggana, di Kecamatan Antang Kalang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Foto: Istimewa.

“Lalu, siapkah Kotim menerima dampak lingkungannya ke depan?” ujar Habibi.

Habibi mengungkapkan, di tengah ramainya berita tentang banjir bandang Sumatera, beberapa waktu lalu, SOB juga menerima pengaduan dari masyarakat Antang Kalang, Kabupaten Kotim, tentang adanya pembukaan lahan di areal konsesi PT Bintang Sakti Lenggana (BSL), anak perusahaan dari PT Bangkitgiat Usaha Mandiri (BUM).

Menindaklanjuti laporan warga, lanjut Habibi, pihaknya kemudian melakukan analisis cepat terhadap luas area pembukaan lahan di dalam konsesi PT BSL. Berdasarkan data Global Forest Watch (GFW), deforestasi di dalam konsesi perusahaan tersebut terjadi pada periode 1 Juli hingga 2 Desember 2025 mencapai 140 hektare.

Hardi, warga Kecamatan Antang Kalang yang menyaksikan pembabatan hutan itu, mengaku prihatin dengan apa yang ia saksikan tersebut. Ia menilai bahwa pembukaan lahan dalam skala besar tersebut dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan berpotensi memicu bencana seperti yang terjadi di Sumatra.

“Pembukaan lahan dalam skala besar seperti ini bisa merusak lingkungan di Antang Kalang. Jangan sampai kita mengalami bencana seperti yang terjadi di Sumatra,” ujar Hardi, seperti dituturkan kepada SOB.

Hardi juga menyebut bahwa PT BSL merupakan perusahaan yang izinnya telah dicabut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2022. Dalam Keputusan Menteri LHK Nomor SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan, PT BSL termasuk dalam daftar perusahaan yang izinnya dicabut, dengan total luas area izin mencapai 5.906 hektare.

Kemudian pada 2023, warga melaporkan aktivitas perusahaan ini ke KLHK—kini Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup—dan mendapatkan informasi bahwa sebagian area tersebut kini berubah status menjadi Area Penggunaan Lain (APL) melalui skema Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

“Setahu kami, izin PT BSL sudah dicabut KLHK. Tapi aktivitas mereka masih berjalan. Kami sudah melaporkan dan dari situ baru tahu lahannya berubah status menjadi APL lewat skema TORA,” ujar Hardi.

Habibi menambahkan, terkait pencabutan izin tersebut, Halikin Noor, Bupati Kotim, pada 2023 menegaskan bahwa sekitar 4.000 hektare lahan eks konsesi PT BSL telah diperuntukkan sebagai hutan monumental. Ia menyebut area itu dipenuhi pohon berdiameter besar berusia ratusan tahun.

Halikin Noor juga menjelaskan bahwa di lokasi itu ditemukan pohon ulin berdiameter hingga 1,5-2 meter. Pemerintah daerah pun berkomitmen mengamankan wilayah tersebut agar tidak digarap pihak mana pun.

Bahkan, menurutnya jika perusahaan tetap bersikeras beroperasi, pemerintah daerah akan melaporkan kasus ini kepada pemerintah pusat. Khususnya, kepada otoritas kehutanan dan Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum).

“Meskipun izinnya telah dicabut, PT BSL diduga masih melakukan ekspansi pembukaan hutan di Antang Kalang. Foto-foto dari warga memperlihatkan alat berat sedang menumbangkan pohon-pohon besar untuk mempersiapkan lahan bagi perkebunan kelapa sawit,” katanya.

Menanggapi aktivitas tersebut, lanjut Habibi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kotim meresponsnya dengan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP). Mereka mengundang sejumlah pihak, mulai dari pemerintah daerah, pemerintah provinsi, UPT Kementerian Kehutanan seperti BPKH 21 Palangkaraya, masyarakat Antang Kalang, pemerintah desa dan kecamatan, lembaga adat, hingga pihak perusahaan.

Habibi menilai bahwa situasi ini perlu ditangani dengan serius agar bencana seperti yang terjadi di Sumatra tidak menimpa Kalimantan Tengah, khususnya Kotim. Sebab, Antang Kalang merupakan wilayah hulu di Kotim. Kerusakan hutan di daerah tersebut akan berdampak langsung pada masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Mentaya dan Sungai Kalang.

“Pembukaan hutan di kawasan hulu seperti Antang Kalang sangat berbahaya. Jika ekosistem hutan rusak, dampaknya akan dirasakan masyarakat di sepanjang Sungai Mentaya dan Sungai Kalang,” ucap Habibi.

Menurutnya, beberapa wilayah di Kotim saat ini sudah mulai terendam banjir. Jika pembukaan hutan di kawasan hulu terus berlanjut, ia khawatir kondisi akan semakin buruk, terlebih Kotim dalam beberapa tahun terakhir memang kerap dilanda banjir.

Habibi menegaskan bahwa kebijakan terkait lahan tidak semestinya hanya mempertimbangkan keuntungan ekonomi jangka pendek dari industri kelapa sawit. Kerugian akibat bencana ekologis, kata dia, justru jauh lebih besar, termasuk biaya penanganan dan pemulihan pasca-bencana.

“Keuntungan ekonomi dari sawit tidak sebanding dengan kerugian akibat bencana ekologis. Biaya pemulihan akan jauh lebih besar,” ujarnya.