LIPUTAN KHUSUS:
ICEL: Putusan Hukum Berkontribusi bagi Lingkungan Hidup
Penulis : Kennial Laia
Data dan informasi mengenai perkara dan putusan hukum terkait lingkungan hidup dinilai krusial bagi perkembangan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia.
Hukum
Rabu, 17 Desember 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) mencatat, terdapat 44 putusan penting lingkungan hidup di Indonesia selama lebih dari tiga dekade terakhir. Putusan-putusan tersebut, mulai dari kasus Kendeng hingga kebakaran hutan dan lahan, dinilai menciptakan preseden baru dan berkontribusi pada perkembangan hukum di tengah krisis iklim dan dampaknya yang kian memburuk.
Laporan perdana tersebut, Indonesian Landmark Environmental Decisions (I-LEAD), menganalisis sejumlah putusan yang diambil dalam rentang waktu 1989 hingga 2023. Putusan yang dianalisis berasal dari perkara Tata Usaha Negara (TUN), perdata, pidana, serta pengujian peraturan perundang-undangan pada Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Mahkamah Agung (MA).
“Laporan ini diharapkan menjadi katalisator bagi hadirnya kebijakan dan penegakan hukum yang adil. Selain tujuan akhir yakni berkontribusi mengatasi krisis planet,” kata tim penulis laporan tersebut.
Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo G. Sembiring mengatakan, ketersediaan data dan informasi terkait putusan penting perkara lingkungan hidup krusial dengan perkembangan penegakan hukum dan studi lingkungan hari ini.
“Dalam upaya berkontribusi mengatasi krisis bumi yang terjadi, maka putusan penting perkara lingkungan hidup di Indonesia perlu untuk diketahui oleh komunitas hukum global, demikian juga sebaliknya,” kata Raynaldo, Senin, 15 Desember 2025.
Dari 44 putusan penting yang terdokumentasikan selama 1989-2023, separuhnya merupakan putusan perdata atau sebanyak 22 putusan. Selain itu terdapat delapan putusan TUN, dan perkara pidana mencapai enam putusan. Adapun pengujian peraturan perundang-undangan pada MA dan MK, masing-masing berjumlah 4 putusan.
Kasus Semen Kendeng pada 2014 merupakan salah satu contoh kasus penting TUN. Di sini, enam warga Kendeng menggugat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo atas terbitnya izin lingkungan untuk bisnis pertambangan PT Semen Gresik di Kabupaten Rembang.
Awalnya majelis hakim tingkat pertama dan banding menolak gugatan tersebut dengan alasan para penggugat tidak memenuhi tenggat waktu pengajuan gugatan.
Dalam peninjauan kembali, gugatan tersebut dikabulkan. Majelis Hakim berpendapat bahwa persyaratan tenggat waktu harus menimbang undang-undang tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yakni tenggat waktu seharusnya dihitung sejak masyarakat mengetahui adanya potensi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup dari penerbitan objek sengketa.
“Ini adalah penafsiran yang cukup menarik untuk tenggat waktu menggugat, mengetahui adanya keputusan, dan mengenai partisipasi publik,” kata Raynaldo.
Contoh lainnya adalah gugatan WALHI terhadap Kepala Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Provinsi Jawa Barat, terkait penerbitan izin lingkungan untuk pembangunan PLTU Tanjung Jati A berkapasitas 2x660 MW dan fasilitas penunjangnya di Cirebon. WALHI mendalilkan bahwa pengembangan pembangkit listrik tersebut akan berkontribusi secara signifikan terhadap perubahan iklim dengan mengeluarkan emisi sekitar lebih dari 200 juta Mt emisi karbon selama masa operasinya.
Majelis Hakim mengabulkan seluruh gugatan tersebut.
“Putusan ini merupakan tonggak sejarah baru dalam perkembangan litigasi perubahan iklim di Indonesia. Putusan ini menjadi putusan pertama di mana perubahan iklim diposisikan sebagai isu utama dalam gugatan sekaligus pertimbangan utama bagi hakim dalam memutus perkara,” kata tim penulis.
“Majelis hakim juga berkontribusi terhadap penemuan hukum dalam menggunakan asas kehati-hatian untuk mewajibkan PLTU memiliki kajian dampak perubahan iklim di dalam AMDAL sebagai tindakan pencegahan,” kata para penulis.
Terkait tipe putusan, ada sekitar 15 tipe putusan, di mana lebih dari setengahnya mengenai perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat, seperti Anti Strategic Litigation Against Public Participation (SLAPP), hak akses, hak gugat, dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Beberapa tipe putusan lain yang juga cukup populer yakni tentang instrumen pencegahan, terutama mengenai perizinan, tata ruang dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).
“Hal ini memberikan gambaran umum bahwa perkara lingkungan hidup sangat banyak dipengaruhi dari pelanggaran hak dan tidak dijalankannya instrumen pencegahan sebagaimana mestinya,” kata Raynaldo.
“Dari sisi timeline, putusan-putusan ini melonjak sekitar tahun 2010. Artinya saya bisa bilang pada 10 tahun pertama atau satu dekade pertama lebih sedikit, tidak banyak environmental landmark decisions ya,” kata Raynaldo.
“Tapi memang perlu dilakukan analisis lebih mendalam, apakah dihasilkankannya putusan penting ini dipengaruhi adanya sertifikasi hakim yang telah berkembang sejak 2012, komunitas hukum yang semakin berkembang dan membahas, atau memang kasus-kasus juga semakin banyak setelah 2012,” ujarnya.
Menurut Raynaldo, perkembangan environmental landmark decisions sangat bergantung kepada kuantitas dan kualitas dari gugatan, dakwaan, permohonan, dan pembelaan yang diajukan. Kualitas dari gugatan, permohonan dan dakwaan sangat mempengaruhi putusan akhir, serta membantu hakim untuk membuat putusan yang berkualitas pula.
Pengajar senior Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Mas Achmad Santosa menilai pentingnya membentuk ulang hukum lingkungan dan sumber daya alam, agar hukum sesuai dengan era saat ini, ketika aktivitas manusia menjadi aktor geologis yang memengaruhi iklim, merusak ekosfer, dan mengancam keberlanjutan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Mas Achmad mengatakan dibutuhkan lima prinsip utama yang menjadi fondasi untuk mendorong hukum tersebut, di antaranya keutamaan ekologi, keutuhan ekologi, batas ekologis, pembangunan berkelanjutan beraliran kuat, dan keadilan ekologis.
"Kelima prinsip ini penting karena dunia sedang berada dalam ketegangan besar, antara pertumbuhan ekonomi tanpa batas dan keberlanjutan ekosistem yang kian rapuh,” kata Mas Achmad.
“Dalam situasi triple planetary crisis hari ini, mempertanyakan kembali paradigma pertumbuhan bukan lagi persoalan teoritis, itu syarat keselamatan bumi," ujarnya.
ICEL menilai kurasi atas putusan penting (landmark decisions) dalam perkara lingkungan hidup di Indonesia perlu dilakukan secara rutin dan berkesinambungan, demi penguatan hukum lingkungan hidup di Indonesia.

Share
