LIPUTAN KHUSUS:

Transisi Energi Bersih Kian Penting Pasca Bencana Sumatra


Penulis : Kennial Laia

Transisi energi tanpa melibatkan energi fosil krusial untuk mengurangi risiko deforestasi dan bencana iklim lainnya di masa mendatang.

Energi

Jumat, 26 Desember 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Transisi energi dinilai semakin krusial pasca terjadinya bencana Sumatra yang menelan ribuan korban jiwa dan menghilangkan rumah ratusan ribu warga. Koalisi masyarakat sipil mengatakan, sudah saatnya pemerintah meninggalkan batu bara dan gas dari rencana transisi energi Indonesia. 

“Kondisi bencana dan perubahan musim ekstrem yang terjadi beberapa tahun belakangan ini, seharusnya sudah cukup menjadi peringatan keras dari alam untuk menghentikan ketergantungan pada batu bara dan energi fosil,” kata Pengkampanye Tata Ruang dan Infrastruktur WALHI Eksekutif Nasional Dwi Sawung, Rabu, 23 Desember 2025. 

Menurut Dwi, dampak Siklon Senyar yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat berlipat ganda karena meningkatnya kerentanan wilayah akibat deforestasi. Akibatnya ribuan jiwa meninggal dunia, ratusan penduduk hilang, dan ratusan ribu orang mengungsi karena kehilangan rumah. Tidak hanya itu, habitat satwa kunci seperti orangutan tapanuli juga hilang. 

Dwi mengatakan, krisis iklim membuat cuaca ekstrem semakin sering dan parah pada tahun-tahun mendatang bila pengurangan emisi gas rumah kaca tidak segera dilakukan. Sayangnya, saat ini pemerintah masih menerapkan kebijakan yang pro-energi fosil dalam rencana transisi energinya, terutama di sektor energi dan ketenagalistrikan. Di antaranya rencana co-firing biomassa yang dinilai memperpanjang umur pakai PLTU batu bara dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).

Studi terbaru mengungkap Indonesia adalah salah satu negara berkapasitas ekonomi rendah. Foto: Greenpeace Indonesia

“Ini justru akan meningkatkan kerentanan akibat deforestasi,” kata Dwi. 

Data Trend Asia menunjukkan bahwa sepanjang 2014-2024, Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah kehilangan jutaan hektare hutan alam akibat industri ekstraktif. Di tiga provinsi tersebut, ada 31 izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang beroperasi di lahan seluas lebih dari 1 juta hektare. 

“Memasukkan co-firing biomassa sebagai sumber tenaga listrik berpotensi memicu deforestasi yang lebih besar dan bencana yang lebih masif karena alih fungsi hutan menjadi hutan tanaman energi,” kata Juru Kampanye dan Advokasi Trend Asia Wildan Siregar. 

Wildan mengatakan, dalam situasi krisis iklim saat ini, semakin penting pemerintah memilih solusi transisi energi yang juga memutus mata rantai ekstraktif dan membawa manfaat ganda mitigasi dan peningkatan ketangguhan lokal bagi masyarakat di tapak.

“Kondisi bencana dan perubahan musim ekstrem yang terjadi beberapa tahun belakangan ini, seharusnya sudah cukup menjadi peringatan keras dari alam untuk menghentikan ketergantungan pada batubara dan energi fosil, serta segera melakukan transisi energi dengan serius, tanpa solusi palsu,” katanya. 

Menurut Wildan, keseriusan itu seharusnya tertuang dalam rencana energi nasional. Namun menurutnya, RUKN 2025-2060 dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) masih menggunakan energi fosil dengan dalih bahwa energi terbarukan membutuhkan biaya yang mahal.

Tahun ini koalisi masyarakat sipil dan warga telah mengajukan gugatan terhadap RUKN maupun RUPTL ke PTUN Jakarta. Dokumen tersebut dinilai memaksakan perpanjangan PLTU hingga 2060 melalui melalui co-firing biomassa, menambah ketergantungan pada gas, menggantungkan seluruh reduksi emisi fosil pada penggunaan teknologi penangkapan karbon (Carbon Capture and Storage/ CCS), dan merencanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). 

Dokumen RUKN dan RUPTL mengabaikan dampak buruk kesehatan masyarakat, ekonomi lokal, ruang hidup warga, dan fiskal negara.

Penggugat RUPTL dari Medan, Mimi Surbakti mengatakan, meski 76% kapasitas baru diarahkan ke EBT, RUPTL masih mengalokasikan 24% untuk fosil. Ini berarti keberlanjutan PLTU dan pembangkit gas yang memperpanjang penderitaan masyarakat pesisir. 

“Sebagai orang yang bekerja mendampingi masyarakat terdampak industri ekstraktif seperti PLTU, saya merasa punya tanggung jawab moral dan hukum untuk menggugat RUPTL ini agar rencana transisi energi benar-benar berpihak pada masyarakat dan lingkungan, bukan sekadar angka di atas kertas,” katanya. 

“Banjir bandang yang terjadi di Sumatra Utara kemarin bukan takdir, mereka ada karena keputusan buruk yang terus diulang. Ia lahir dari izin yang longgar, pengawasan yang lalai, dan keberpihakan yang menjauh dari rakyat,” ujarnya. 

Sementara itu Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu menyebut pemberian ruang signifikan bagi peningkatan kapasitas pembangkit gas dan batu bara dalam RUPTL sebagai langkah mundur yang berbahaya. 

“Alih-alih mempercepat transisi energi, dokumen ini justru mengunci Indonesia dalam ketergantungan pada energi fosil yang mahal, polutif, dan berisiko secara finansial,” katanya. 

“Sebagai bagian dari organisasi Lingkungan Hidup yang menjadi Penggugat, WALHI menilai bahwa RUKN dan RUPTL masih menjadikan batu bara sebagai tumpuan kelistrikan dan belum terlihat upaya phase-out batu bara dari sistem kelistrikan,” kata Dwi. 

“Transisi energi dalam perencanaan masih mengandalkan energi fosil lain sebagai pengganti energi fosil yang akan menjalani phase-down, dari energi fosil satu ke energi fosil lainnya yang tidak menjawab krisis iklim. Tidak jelas target kapan PLTU batubara satu persatu akan dipensiunkan,” ujarnya.