LIPUTAN KHUSUS:

Rertorasi Gambut Riau Tidak Jelas


Penulis : Redaksi Betahita

Jikalahari menilai kinerja Badan Restorasi Gambut (BRG) termasuk Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Provinsi Riau merestorasi gambut tidak menunjukkan percepatan pemulihan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran hutan dan lahan. “Akibatnya kawasan gambut prioritas BRG kembali bermunculan hotspot dan kebakaran hutan dan lahan,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari. Pada 2018, hotspot kembali

Gambut

Rabu, 15 Agustus 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Jikalahari menilai kinerja Badan Restorasi Gambut (BRG) termasuk Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Provinsi Riau merestorasi gambut tidak menunjukkan percepatan pemulihan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran hutan dan lahan.

“Akibatnya kawasan gambut prioritas BRG kembali bermunculan hotspot dan kebakaran hutan dan lahan,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.

Pada 2018, hotspot kembali muncul di Riau dan berada di areal prioritas restorasi BRG. Data Jikalahari melalui pantauan satelit Terra-Aqua Modis sejak Januari - Agustus 2018 terdapat 963 titik hotspot di area prioritas restorasi BRG dan dengan confidence besar dari 70 persen ada 296 titik berpotensi menjadi titik api.

Hotspot muncul di kelas prioritas restorasi paska kebakaran 2015 sebanyak 49 titik dan 20 diantaranya berpotensi menjadi titik api. Di kelas prioritas kubah gambut berkanal ada 530 hotspot dan 129 diantaranya berpotensi menjadi titik api.

Ilustrasi

Untuk kawasan kubah gambut tidak berkanal muncul 216 hotspot dan 115 diantaranya berpotensi menjadi titik api. Sedangkan di areal prioritas restorasi gambut berkanal ada 168 hotspot dan 32 diantaranya berpotensi menjadi titip api. Data BPBD, kebakaran di Riau sepanjang Januari - Juli 2018 telah menghanguskan lahan seluas 2.445 ha.

Sepanjang Januari - Juli 2018, ada 1.139 hotspot di Riau. Dengan confidence > 70% ada 343 titik yang berpotensi menjadi titik api. Hotspot terlihat berada di areal korporasi, kawasan gambut dalam, areal konservasi dan moratorium. Di areal korporasi, PT Riau Andalan Pulp and Paper, PT Arara Abadi, PT Satria Perkasa Agung, PT Sumatera Riang Lesatari dan PT Rimba Rokan Perkasa dideteksi terbanyak muncul hotspot. Hotspot-hotspot ini bermunculan di kawasan gambut dengan kedalaman rata-rata 1 meter hingga melebihi 4 meter.

Data BPBD, total luas kebakaran kawasan hutan dan lahan di Riau sepanjang Januari - Juli 2018 mencapai 2.445 ha. Kebakaran terluas terjadi di Kepulauan Meranti sekitar 938, 31 ha, Dumai 389,5 ha, Bengkalis 389 ha, Rokan Hilir 265,25 ha, Indragiri Hulu 133,5 ha, Siak 131,5 ha, Pelalawan 90,5 ha, Pekanbaru 44,6 ha, Indragiri Hilir 37 Ha dan Kampar 22,75 ha.

“Kebakaran terus terjadi karena tidak ada pengawalan dan pengawasan dari BRG ataupun TRGD di areal prioritas restorasi, bahkan di areal paska kebakaran besar pada 2015 lalu,” kata Made Ali, “Untuk TRGD sendiri, sejak dibentuk tidak jelas apa saja yang sudah dilakukan dalam merestorasi gambut di Riau.” Padahal TRGD memiliki anggaran operasional sebesar Rp 49,8 miliar di APBN 2018 untuk penggunaan fisik dan pemberdayaan masyarakat.

Senada dengan Made, pakar lingkungan DR Elviriadi mengatakan, setidaknya ada 4 langkah yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan perbaikan lahan gambut.

Pertama, BRG hendaknya memperkuat koordinasi dengan LSM, masyarakat adat yang mengetahui persis keadaan gambut. Komunikasi itu usahakan secair mungkin, gali sejarah kawasan, kenapa rusak ekosistem gambut, sejak kapan, kedalaman dan luas hamparan gambut, dan pandangan orang kampung.

Kedua, di pemerintah Provinsi Riau ini ada Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) tetapi belum jelas kegiatannya. Hal ini karena pejabat yang ditunjuk adalah Sekda, asisten, dan orang-orang yang sudah padat dan super sibuk di birokrasi. “Kasihlah pada orang yang bisa fokus, ngerti persoalan, dan bisa menggerakkan potensi. Duit dah dianggarkan puluhan miliar tapi tak efektif, kan sayang,” katanya.

Ketiga, restorasi itu artinya perubahan mendasar, radikal dan besar-besaran. Karena lingkungan hidup sangat krisis dan di ambang kehancuran. Jadi restorasi ini harusnya gegap gempita, dibawa dengan spirit kaum pergerakan dan perlawanan massif. “Nyaris tak terdengar. Ada apa? pihak BRG kan buat personalia yang komplit sampai ada dinamisator dan merekrut aktivis LSM, tapi nyatanya koordinasi macet,” tuturnya lagi.

Terakhir adalah idealisme, ini sangat penting. Orang yang bertugas menjaga hutan, kalau tak idealis, lama kelamaan dia jadi orang utan. Disuruh restorasi, sibuk ngeles sampai isu gambut jadi basi. Apabila ada program dari KLHK, World Bank, Unesco, forest for people, UNDP, maka ini dianggap rejeki datang. “Hatinya tak lagi peka terhadap penderitaan masyarakat dan punahnya cadangan generasi anak cucu,” ungkapnya.