LIPUTAN KHUSUS:
Karhutla Masif di Areal Korporasi
Penulis : Redaksi Betahita
Betahita.id – Pantauan Jikalahari sepanjang Januari hingga Agustus 2018, tercatat ada 2.314 hotspot di Riau. Dengan confidence lebih dari 70 persen ada 1048 titik yang berpotensi menjadi titik api. Hotspot terlihat berada di areal korporasi, kawasan gambut dalam, areal konservasi dan moratorium. Di areal korporasi, hotspot paling banyak di PT Satria Perkasa Agung (107 hotspot), PT
Karhutla
Kamis, 23 Agustus 2018
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Pantauan Jikalahari sepanjang Januari hingga Agustus 2018, tercatat ada 2.314 hotspot di Riau. Dengan confidence lebih dari 70 persen ada 1048 titik yang berpotensi menjadi titik api.
Hotspot terlihat berada di areal korporasi, kawasan gambut dalam, areal konservasi dan moratorium. Di areal korporasi, hotspot paling banyak di PT Satria Perkasa Agung (107 hotspot), PT Rimba Rokan Perkasa (66 hotspot), PT Sumatera Riang Lestari (29 hotspot), PT Ruas Utama Jaya(29 hotspot), PT Diamond Raya Timber (39 hotspot), PT Suntara Gaja Pati (26 hotspot).
Kemudian, PT Riau Andalan Pulp & Paper (9 hotspot), PT Bhara Induk (10 hotspot)dan PT National Timber Forest Product/ PT Nasional Sagu Prima (13 hotspot). Hotspot-hotspot ini bermunculan di kawasan gambut dengan kedalaman rata-rata 1 meter hingga melebihi 4 meter. Korporasi-korporasi ini terafiliasi dengan APP Group dan APRIL Group.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah, total luas kebakaran kawasan hutan dan lahan di Riau sepanjang 14 Januari hingga 12 Agustus 2018 mencapai 2.891,51 ha. Kebakaran terluas terjadi di Kepulauan Meranti sekitar 938, 31 ha, Rokan Hilir 488,85 ha, Bengkalis 423 ha, Dumai 396,75 ha, Indragiri Hulu 289,5 ha, Siak 136,5 ha, Pelalawan 92,5 ha, Pekanbaru 44,6 ha, Kampar 41 ha dan Indragiri Hilir 37 ha.
Hasil investigasi Jikalahari sejak 2014 hingga 2018 juga menunjukkan karhutla sering terjadi dalam areal korporasi dan berada di kawasan gambut dalam. Pada 2016 Jikalahari melaporkan 49 korporasi pelaku karhutla pada 2014 - 2016 ke Polda Riau, KLHK, BRG dan KSP.
Ada 29 korproasi yang lahannya terbakar merupakan anak perusahaan atau berafiliasi dengan APP dan APRIL Group. Hasil investigasi menunjukkan kebakakaran terjadi di dalam areal korporasi dan berada di daerah gambut serta ditanami kembali paska kebakaran pada 2014 dan 2015.
Hingga kini, perusahaan - perusahaan tersebut tak juga di proses secara hukum. Paska kebakaran hebat pada 2015, Polda Riau mengambil langkah berani menetapkan 18 korporasi dan 95 orang sebagai tersangka. Namun secara bertahap pada 2016 Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) terhadap 15 korporasi diterbitkan.
Menurut Made, korporasi tidak jera melakukan pembakaran hutan dan lahan karena lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi, bahkan ketika sudah masuk proses peradilan, hukuman yang diberikan juga tidak maksimal, sehingga efek jera dan memiskinkan korporasi tidak benar-benar berdampak.
“Akibatnya hutan dan gambut terus terbakar dan akibatkan kerusakan lingkungan yang sangat masif,†kata Made Ali.
Made menambahkan, APP Group menginvestasikan US$ 3,8 juta atau setara Rp 52,6 miliar untuk persiapan Asian Games, jumlah ini tidak setara dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkan pembakaran hutan dan lahan serta kerusakan gambut di areal korporasi yang terafiliasi dengan APP,†ungkapnya.
Prof Dr Bambang Hero Saharjo M Agr, Ahli Kebakaran Hutan dan Lahan dalam persidangan perkara karhutla di Riau. Ia mengatakan keuntungan bagi korporasi membuka lahan dengan cara bakar sangat besar dibandingkan membuka lahan dengan cara konvensional. Untuk membuka dan membersihkan lahan dengan cara bakar hanya memerlukan biaya Rp 5 sampai 10 juta per hektar.
“Namun jika menggunakan alat berat dan zat-zat kimia lainnya, butuh biaya mencapai Rp 45 sampai 50 juta per hektar,” katanya.
Made menjelaskan persoalan kebakaran hutan dan lahan di Riau tidak hanya menyoal munculnya titik api lalu wara-wiri melakukan pemadaman.
Seharusnya pemerintah melakukan perbaikan di sektor hulu dengan mempertegas peraturan dan memperbaiki sistem tata kelola lingkungan hidup. “Sudah banyak peraturan dan rencana aksi yang dibuat, tapi minim realisasi dari pemerintah,†kata Made Ali.
Pada 2014 Gubenur Riau Aryadjuliandi Rachman bersama KPK menandatangani nota kesepakatan menjalankan rencana aksi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) - KPK di Riau. Fokus utama GNPSDA-KPK terkait penyelesaian pengukuhan kawasan hutan, penataan ruang dan wilayah administrasi, penataan perizinan kehutanan dan perkebunan, perluasan wilayah kelola masyarakat, penyelesaian konflik kawasan hutan, penguatan instrumen lingkungan hidup dalam perlindungan hutan dan membangun sistem pengendalian anti korupsi.
Keenam fokus GNPSDA - KPK dikembangkan Andi Rachman bersama pemerintah daerah dan kabupaten di Riau menjadi 19 rencana aksi. Salah satu diantaranya melakukan review izin bagi korporasi yang di audit tim UKP4 yang dinilai tidak patuh karena tidak memiliki sarana dan prasarana serta sistem memadai untuk pencegahan dan penanggulangan karhutla di konsesinya.
Komitmen terbaru, Pemerintah Provinsi Riau menyusun Rencana Aksi Pencegahan Korupsi yang akan dilaksanakan pada 2018 - 2019. Untuk sektor kehutanan, Pemprov Riau akan melakukan pengawasan dan pengendalian hutan dengan memastikan dilakukannya penegakan hukum lingkungan bagi pemegang izin yang melanggar ketentuan.
“Jika renaksi GNPSDA KPK dan renaksi PK ini dijalankan, perbaikan tata kelola lingkungan dan kehutanan di Riau akan berjalan,†tutup Made.