LIPUTAN KHUSUS:

Kebakaran Lahan Coreng Komitmen COP


Penulis : Redaksi Betahita

Jika kebarakan hutan dan lahan masih berulang terjadi di Indonesia, maka akan sulit memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca.

Karhutla

Kamis, 30 Agustus 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Manager Kampanye Keadilan Iklim Walhi, Yuyun Harmono mengatakan jika kebarakan hutan dan lahan masih berulang terjadi di Indonesia, maka akan sulit memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca yang menjadi komitmen pemerintah pada Conference of Parties (COP) 21 di Paris.

“Ini mengkhawatirkan, kalau ternyata Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim justru fokus bahas dagang karbon. Sekarang ini fokus dulu saja ke pengurangan emisi dari sektor LULUCF (land use, land use change and forestry),” kata Yuyun melalui keterangan resminya di Jakarta, Rabu (29/8).

Menurutnya, pemerintah harus benar-benar berhati-hati mengeluarkan izin pengelolaan hutan dan lahan, terlebih setelah diketahui 765 titik panas karhutla 2018 ditemukan berada di kawasan hutan tanaman industri dan perkebunan.

Pelibatan porsi masyarakat untuk mengelola hutan dan lahan melalui skema Perhutanan Sosial telah disuarakan pemerintah sejak di COP 21 Paris, sebagai salah satu cara menekan karhutla dan menurunkan emisi gas rumah kaca. Namun, jika sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) justru menahan pengeluaran izin maupun hak Perhutanan Sosial di hutan dan lahan gambut.

Kabut asap terlihat dari jalan di Sumatera Selatan pada karhutla 2015.

Sama halnya dengan aktivis dan ahli lingkungan lainnya, ia mengingatkan kembali agar penegakan hukum harus berjalan sebagai efek jera, bukan hanya berhenti di tingkat sanksi administratif saja.

Prof Dr Daniel Murdiyarso, pakar perubahan iklim dan lingkungan Institut Pertanian Bogor mengatakan pemerintah perlu lebih fokus dalam mengelola lahan gambut untuk meyudahi kebakaran hutan dan lahan sekaligus mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca. “Dalam Nationally Determined Contribution (NDC) secara tegas disebutkan di dalamnya bahwa kontribusi terbesar penurunan emisi gas rumah kaca ada di sektor lahan. Tetapi beluum secara fokus memprogramkan lahan gambut untuk mencapai target penururnan emisi,” katanya.

Dalam luasan kecil lahan gambut, jumlah karbon sangat besar, sehingga jika memang ingin mencapai target menurunkan emisi harus relevan dan juga efektif perhatian lebih besar ke sektor energi, transport dan industri dalam target menurunkan emisi gas rumah kaca.

Jika pemerintah harus lebih dulu fokus membenahi tata kelola level air di lahan gambut guna memastikan karhutla tidak lagi terjadi, sebelum akhirnya bergeser memberikan perhatian lebih besar ke sektor energi, transportasi dan industri dalam target menurunkan emisi GRK. “Harus benar-benar diamati bersama. Masyarakat ikut juga menurunkan emisi, karena ini bukan hanya tugas pemerintah saja,” katanya.

Korporasi juga bertanggung jawab untuk membantu menurunkan emisi GRK sesuai yang telah menjadi kesepakatan dalam Paris Agreement. Indonesia dalam dokumen kontribusi nasional (NDC) mencantumkan komitmen menurunkan emisi pada 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional.

NDC Indonesia memperjelas bahwa angka 29 persen penurunan ini akan berasal dari beberapa sektor dengan proporsi dari lahan (17 persen), energi (11 persen), limbah, industri dan pertanian (lebih kecil dari 1 persen). Sektor lahan dan energi memberi kontribusi lebih dari 80 persen total emisi nasional Indonesia. maka target penuruan emisi gas rumah kaca menjadi komitmen bersama.