LIPUTAN KHUSUS:

KLHK: Bioenergi Berbasis Hutan Berpotensi di Indonesia


Penulis : Redaksi Betahita

Tanaman hutan bisa dimanfaatkan kayunya sebagai biomassa atau biji tanamannya untuk menghasilkan minyak nabati.

Energi

Rabu, 12 September 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Agus Justianto, Kepala Badan Litbang dan Inovasi Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bioenergi berbasis hutan sangat potensial dikembangkan di Tanah Air. Tanaman hutan bisa dimanfaatkan kayunya sebagai biomassa atau biji tanamannya untuk menghasilkan minyak nabati.

Tanaman penghasil biomassa misalnya akor, kaliandra, lamtoro, dan turi, sementara tanaman penghasil minyak nabati misalnya nyamplung, arendan, kemiri, dan sunan. “Tanaman hutan sebagai energi menyerap dan mengurangi emisi gas rumah kaca dari energi berbasis fosil,” katanya melalui keterangan resminya di Jakarta, Rabu (12/9).

Sementara itu, realisasi penanaman tanaman energi seluas 89.860 hektare di 10 unit izin hutan tanaman industri (HTI), sedangkan 23 unit HTI sudah siap untuk menanam seluas 87.600 hektare. Menurutnya, saat ini terdapat potensi lahan tanaman nyamplung seluas 480.000 hektare yang bisa menghasilkan 4,8 juta ton yang bisa menghasilkan 2,1 juta liter biodiesel.

Jika program pencampuran bahan bakar nabati sebanyak 10 persen (B10) sukses diimplementasikan, maka akan ada pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 5,1 juta ton setara C02. Sementara, dengan B20 pengurangan emisi GRK bisa mencapai 9,4 juta ton setara CO2.

Tanaman hutan untuk bioenergi

Dwi Iriati Hadiningdyah, Kepala Sub Direktorat Pengembangan Pasar Surat Berharga Syariah Negara Kementerian Keuangan menjelaskan, sukuk hijau bisa menjadi salah satu sumber pendanaan untuk mendukung pengendalian perubahan iklim. “Indonesia adalah negara penerbit green sukuk pertama di dunia,” katanya.

Dia menjelaskan sukuk sudah menjadi salah satu sumber pembiayaan APBN. Pada periode 2008-2018, total penerbitan sukuk mencapai Rp925,2 triliun dengan outstanding per Agustus 2018 sebesar Rp634,2 triliun. Sementara itu sukuk hijau diterbitkan pertama kali pada Maret 2018 senilai 1,25 miliar dolar AS. “Dana dari green sukuk dimanfaatkan untuk proyek-proyek hijau di lima sektor termasuk untuk pengembangan energi terbarukan,” katanya.

Sementara Dicky Edwin Hindarto Ketua Dewan Pembina Yayasan Mitra Hijau menjelaskan pasar karbon bisa menjadi alternatif untuk mendapat pembiayaan dalam upaya pengendalian iklim.

Dari 169 negara yang telah mendaftarkan dokumen kontribusi nasional yang diniatkan (NDC) kepada konvensi kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC), sebanyak 103 negara menyatakan akan menggunakan mekanisme berbasis pasar untuk mencapai target penurunan emisinya. “Ini merupakan indikasi bahwa mekanisme pasar adalah salah satu mekanisme yang paling cost effective dan diminati dibanding konvensional,” katanya.

Indonesia punya cukup pengalaman dalam implementasi pasar karbon, diantaranya adalah 202 proyek dengan skema clean development mechanism (CDM), 14 proyek dengan skema voluntary carbon standard (VCS) dan 34 proyek dengan skema joint credit mechanism (JCM) Indonesia-Jepang.

Sementara itu pakar ekonomi untuk Partnership for Market Readiness Artissa Panjaitan memaparkan biaya berbagai aksi mitigasi di sektor pembangkit listrik dan industri. Menurutnya, umumnya aksi mitigasi perubahan iklim jangka panjang lebih murah dari pada menerapkan teknologi biasa yang emisi gas rumah kaca tinggi.