LIPUTAN KHUSUS:
Laut Penuh Sampah, Hewan Laut Makan Plastik Ditemukan Mati
Penulis : Redaksi Betahita
Seekor paus berukuran 9,5 meter ditemukan mati oleh masyarakat Desa Kapota Utara, Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi pada Minggu, 18 November 2018. Saat ditemukan, hewan mamalia tersebut dalam kondisi mengenaskan dan menyebarkan bau busuk ke sekitarnya. Balai Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara, mengidentifikasi paus tersebut dari jenis paus sperma (Physeter macrocephalus). Keberadaan bangkai mamalia
Lingkungan
Kamis, 22 November 2018
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Seekor paus berukuran 9,5 meter ditemukan mati oleh masyarakat Desa Kapota Utara, Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi pada Minggu, 18 November 2018. Saat ditemukan, hewan mamalia tersebut dalam kondisi mengenaskan dan menyebarkan bau busuk ke sekitarnya.
Balai Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara, mengidentifikasi paus tersebut dari jenis paus sperma (Physeter macrocephalus). Keberadaan bangkai mamalia tersebut berawal dari informasi staf WWF SESS, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Tim Dosen Akademisi Komunitas Perikanan dan Kelautan (AKKP) Wakatobi bersama masyarakat sekitar.
Baca Juga: Terumbu Karang ini Hanya Ada di Indonesia, Statusnya Terancam.
“Tim kami menemukan paus tersebut sudah dalam keadaan mati, dan sudah mulai membusuk,” kata Heri, dalam keterangannya Senin, 19 November 2018.
Hasil identifikasi isi perut paus yang dilakukan di Kampus AKKP Wakatobi mengungkapkan terdapat 5,9 kilogram sampah plastik, dengan komposisi sampah gelas plastik 750 gram (115 buah), plastik keras 140 gram (19 buah), botol plastik 150 gram (4 buah), kantong plastik 260 gram (25 buah); serta serpihan kayu 740 gram (6 potong), sandal jepit 270 gram (2 buah), karung nilon 200 gram (1 potong), tali rafia 3,260 gram (lebih dari 1,000 potong).
Koordinator Konservasi Spesies Laut WWF Indonesia Dwi Suprapti mengatakan bahwa ada kemungkinan paus sperma tersebut mati akibat sampah plastik di dalam tubuhnya. Namun, ia mengatakan WWF Indonesia belum bisa memastikan karena pihaknya tidak melakukan nekropsi atau otopsi secara langsung. Selain itu, kondisi paus juga sudah memasuki pembusukan tingkat lanjut sehingga menyulitkan investigasi yang lebih komprehensif.
“Terkait dengan dugaan kematian paus akibat sampah plastik, WWF belum dapat menyimpulkannya karena tidak melakukan nekropsi secara langsung dan tidak mendapatkan detail informasi, sehingga tidak mengetahui secara pasti titik persebaran sampah tersebut di saluran pencernaannya dan bagaimana kondisinya, apakah menyumbat, menginfeksi, dan lain sebagainya,” kata Dwi dalam siaran pers, Selasa, 20 November 2018.
“Untuk itu adanya indikasi kematian disebabkan oleh asupan cemaran plastik sampah tersebut bisa saja terjadi, namun tidak dapat dipastikan karena tidak dilakukan pengamatan yang komprehensif, di antaranya disebabkan kondisi paus sudah kode 4 (pembusukan tingkat lanjut), kondisi paus yang tidak utuh, pembedahan (nekropsi) tidak dilakukan oleh tenaga ahli sehingga analisisnya terputus sampai proses temuan saja,” jelas Dwi.
Masa depan laut, tempat sampah plastik?
Ditemukannya bangkai hewan laut penuh plastik di Taman Nasional Wakatobi bukanlah yang pertama. Sebelumnya ada beberapa kejadian yang sama, di mana bangkai hewan laut terdampar di pesisir. Juli 2018, seekor penyu ditemukan mati dengan perut penuh plastik di Pantai Penarukan, Kecamatan Buleleng, oleh tim dari program studi Akuakultur, Jurusan Perikanan dan Kelautan, Undiksha, Bali. Dari nekropsi, ada dugaan bahwa penyu tersebut mati akibat memakan plastik. Pasalnya, terdapat plastik di kerongkongan penyu, yang kemudian menyumbat saluran pernapasan dan mencegah makanan masuk ke saluran pencernaan.
Kapus Penelitian Laut Dalam LIPI Dr Ir Augy Syahailatua mengatakan sampah plastik, ketika masuk ke dalam perut paus, tidak bisa dicerna. Hal tersebut berbeda dengan tulang ikan yang sifatnya keras, tetap bisa dicerna karena terbuat dari zat kapur yang bersifat organik dan mampu diproses tubuh.
“Plastik itu kan susah (hancur), kalau sampah organik mungkin bisa. Berbeda misalnya dengan tanduk hewan. Walaupun keras, itu kan zat kapur, sehingga bisa dicerna,” kata Augy seperti dikutip detik.com, Selasa, 20 November 2018.
Negara Indonesia menempati peringkat kedua sebagai produksi plastik terbesar di dunia. Menurut catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), setiap tahun paling tidak ada 1,29 juta ton sampah dibuang ke sungai dan bermuara di lautan; 13,000 plastik di antaranya mengapung dan menempati setiap kilometer persegi.
Tahun ini Yayasan Ellen MacArthur menerbitkan sebuah laporan di Forum Ekonomi Dunia, berjudul The New Plastics Economy: Rethinking the future of plastics, yang mengungkap bahwa plastik baru akan mengonsumsi 20 persen dari semua produksi minyak dalam 35 tahun ke depan, meningkat sekitar 5 persen dari hari ini.
Sejak 1964, produksi plastik meningkat drastis, mencapai 311 milyar ton pada 2014, menurut laporan tersebut. Angka itu akan menjadi ganda pada 20 tahun lagi, dan pada 2050 akan meningkat sebanyak empat kali. Sayangnya, hanya 5 persen plastik yang didaur ulang dengan efektif, sementara 40 persen berakhir di lahan-lahan pembuangan, serta sisanya mengalir ke ekosistem yang lebih rentan seperti lautan.
Baca Juga: Indonesia Miliki Keanekaragaman Terumbu Karang Tertinggi di Dunia
Setiap tahun, paling tidak terdapat 8 milyar ton plastik yang berakhir di laut, atau setara dengan satu truk sampah penuh setiap satu menit. Pendiri Yayasan Ellen MacArthur, ahli laut Ellen MacArthur bahkan mengatakan, dengan skenario business-as-usual, laut akan diisi oleh satu ton plastik untuk setiap tiga ton ikan pada 2025, dan pada 2050, akan lebih banyak plastik daripada ikan (dari segi berat). Artinya, laut bukan lagi menjadi tempat ekosistem makhluk hidup, melainkan kolam tempat pembuangan sampah.