LIPUTAN KHUSUS:

Menteri LHK: Tata Kelola Gambut Indonesia Jadi Rujukan Dunia


Penulis : Redaksi Betahita

Tata kelola gambut di Indonesia menjadi rujukan pengetahuan bagi dunia internasional. Indonesia mendapat apresiasi setelah memiliki Pusat Penelitian Lahan Gambut Internasional atau International Tropical Peatlands Centre (ITPC). Baca: Dr Elviriadi: Segitiga Ideologis Penentu Restorasi Gambut Hal ini disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (LHK) Dr Siti Nurbaya Bakar, M.Sc yang hadir sebagai pembicara kunci pada

Gambut

Senin, 03 Desember 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Tata kelola gambut di Indonesia menjadi rujukan pengetahuan bagi dunia internasional. Indonesia mendapat apresiasi setelah memiliki Pusat Penelitian Lahan Gambut Internasional atau International Tropical Peatlands Centre (ITPC).

Baca: Dr Elviriadi: Segitiga Ideologis Penentu Restorasi Gambut

Hal ini disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (LHK) Dr Siti Nurbaya Bakar, M.Sc yang hadir sebagai pembicara kunci pada berbagai forum yang digelar di hari pertama, dalam pertemuan Konferensi Global Landscape yang berlangsung pada 1-2 Desember di Bonn, Jerman.

Pada konferensi internasional ini, menurut keterangan pers yang diterima di Jakarta, Minggu (2/11), hadir perwakilan PBB, UN Environment, Menteri LH se dunia, World Bank, NGO, peneliti, akademisi dan para mitra global lainnya.

“Ini adalah rumah untuk konsultasi dan advokasi bagi kepentingan masyarakat dan lingkungan lokal serta untuk kepentingan global,” katanya..

Seperti dilansir antaranews, basis ITPC saat ini berada di dua kampus penelitian hutan di Bogor, yaitu Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi KLHK serta di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).

Di agenda berikutnya saat menjadi pembicara kunci peringatan CIFOR ke-25, di hadapan para pemimpin dan ahli kehutanan internasional, Indonesia menegaskan posisinya sebagai “taman bermain penelitian” bagi pengetahuan kehutanan dunia.

“Saya harap ulang tahun CIFOR ke-25 ini menjadi langkah monumental untuk memperkuat kolaborasi antara Indonesia, CIFOR dan semua mitra negara, untuk berkontribusi secara signifikan terhadap kehutanan internasional,” katanya.

Pasca kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2015, pemerintah Indonesia  telah memberi perhatian lebih pada pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.

“Ini untuk mencegah kebakaran gambut seperti yang terjadi pada tahun 2015 ketika sekitar 800.000 ha dari 2,6 juta hektare area yang terbakar adalah lahan gambut,” ungkapnya.

Komitmen Pemerintah Indonesia ini dipertegas Siti Nurbaya saat menjadi pembicara kunci pada Pembukaan Forum Global Landscape 2018. Ia mengatakan telah terjadi pergeseran besar tata kelola kehutanan Indonesia menuju perspektif baru keberlanjutan.

Sebelumnya, pakar lingkungan, Dr Elviriadi, mengatakan ada segitiga ideologis yang menentukan nasib restorasi lahan gambut di Indonesia. Saat ini, restorasi gambut di indonesia terus berlangsung dengan kebakaran hutan dan lahan menurun hingga di penghujung tahun 2018.

Segitiga ideologis tersebut, pertama; menyangkut kebijakan industri nasional yang secara ideologis masih liberal, Kedua, himpitan krisis lingkungan dan bencana alam yang bisa berdampak politik menurunkan kredibilitas negara,

“Yang ketiga, tuntutan reformasi tata kelola hutan dan lingkungan oleh aktivis lingkungan, NGO dan gebrakan Menteri Siti Nurbaya,” katanya saat dihubungi Senin, 26 November 2018, di Jakarta.

Sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan No P 40/2017 tentang Fasilitasi Pemerintah pada Usaha Hutan Tanaman Industri dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, land swap diberikan kepada pemegang izin HTI yang 40 persen atau lebih areal kerjanya ditetapkan sebagai ekosistem gambut dengan fungsi lindung.

Dari 12,94 juta ha areal prioritas restorasi gambut yang diemban oleh Badan Restorasi Gambut (BRG), seluas 2,15 juta ha di antaranya atau setara 16% berada di konsesi HTI. Dari jumlah itu,  sebanyak 216.044 ha mengalami kebakaran luar biasa pada 2015.

Menurut Dr Elviriadi, pokok persoalan terletak pada alih fungsi lahan gambut ke perkebunan dan pertanian masif. Lahan rawa gambut itu fragile (sangat rapuh) dan memiliki karakteristik khas mulai dari vegetasi, keanekaragaman hayati, satwa seperti harimau dan beruang madu, plasma nuftah, sumber pangan dan energi, serta rosot karbon. Landswap gambut yang demikian itu, secara ekologis memang tidak untuk dikonversi dan dirombak seperti sekarang ini.

Berita tentang lahan gambut lainnya, bisa anda baca di Betahita.id