LIPUTAN KHUSUS:

LSM: Begini Masyarakat Hadapi Risiko Polusi Udara Jakarta


Penulis : Redaksi Betahita

Kelompok masyarakat peduli udara sehat di Jakarta menggelar diskusi publik “Catatan Kualitas Udara: Akankah Jakarta Lepas dari Pencemaran Udara di Tahun 2019?”. Dalam diskusi tersebut dipaparkan bagaimana masyarakat menghadapi risiko terekspos polusi udara Jakarta . Baca juga: Polusi Udara, Koalisi Ibu Kota Gugat Jokowi dan Anies Baswedan Selama tiga tahun terakhir, 2016-2018 misalnya, parameter pencemar

Lingkungan

Rabu, 16 Januari 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Kelompok masyarakat peduli udara sehat di Jakarta menggelar diskusi publik “Catatan Kualitas Udara: Akankah Jakarta Lepas dari Pencemaran Udara di Tahun 2019?”. Dalam diskusi tersebut dipaparkan bagaimana masyarakat menghadapi risiko terekspos polusi udara Jakarta .

Baca juga: Polusi Udara, Koalisi Ibu Kota Gugat Jokowi dan Anies Baswedan

Selama tiga tahun terakhir, 2016-2018 misalnya, parameter pencemar udara yakni PM 2,5 di Jakpus dan Jaksel selalu menunjujkan angka di atas Baku Mutu Udara Daerah (BMUAD) Jakarta. Standar tahunan nasional dan WHO masing-masing adalah 15 ug/m3 dan 10 ug/m3. Namun konsentrasi PM tahunan 42,2 ug/m3 dan 37,5 ug/m3,

Parameter pencemar lain seperti ozone juga mengkhawatirkan. Standar nasional dan Jakarta adalah masing-masing, 50 ug/m3 dan 30 ug/m3. Namun dalam tujuh tahun terakhir, 2011-2018, di sejumlah wilayah seperti Bundaran HI, Kelapa Gading, Jagakarsa, Lubang Buaya, dan Kebon Jeruk, angkanya di atas itu.

Kelompok masyarakat peduli udara sehat di Jakarta menggelar diskusi publik “Catatan Kualitas Udara: Akankah Jakarta Lepas dari Pencemaran Udara di Tahun 2019?,”. Dalam diskusi tersebut dipaparkan bagaimana masyarakat DKI Jakarta menghadapi risiko terekspos pencemaran udara. foto Dok KPBB

Pendiri Thamrin School of Climate Change and Sustainability Jalal menekankan sudah selayaknya pemerintah memperbaiki kebijakan pengendalian udara, baik di pusat maupun daerah. “Perbaikan kebijakan ini harus mencakup seluruh aspek sumber pencemar, baik sumber bergerak seperti kendaraan maupun sumber tidak bergerak,” katanya.

Menurut Ahli Pencemaran Udara dan Lingkungan ITB Driejana, ada sejumlah hal yang bisa mendorong percepatan pemulihan kualitas udara. Misalnya perbaikan dari segi data pendukung kebijakan, perbaikan dari segi pengendalian dan reduksi emisi, lalu meningkatkan peran Pemda dan tentunya pemerintah pusat.

“Sebenarnya DKI telah lebih progresif terhadap penyediaan data pencemaran udara dengan menjadi daerah yang memiliki data pencemaran udara terlengkap. Namun memang pemanfaatan data untuk pengembangan kebijakan masih perlu ditingkatkan,” katanya. Ia mengharapkan penyediaan data pencemaran udara ini, bisa diikuti wilayah lain yang memiliki risiko pencemaran udara di Indonesia.

Pemerintah memiliki pekerjaan rumah untuk merevisi Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (PP No. 41 Tahun 1999). Serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 21 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pembangkit Tenaga Listrik Termal (Peraturan Menteri LH No. 21 Tahun 2008).

Instrumen pengendalian pencemaran udara yang baru dari revisi kedua kebijakan tersebut diharapkan bisa menekan pencemaran udara di Jakarta dan daerah-daerah lainnya. Namun sayangnya agenda perubahan kebijakan pengendalian pencemaran udara ini, belum terlihat kelanjutannya di level nasional.

Dalam kasus Jakarta, beban polusi udara akan bertambah dari wilayah lain yakni Banten dan Jakarta. Keberadaan PLTU menjadi penyebab.  Jakarta akan menjadi ibukota negara yang dikelilingi PLTU baru terbanyak di dunia dalam radius 100 km. Tidak adanya koordinasi pengendalian pencemaran udara lintas provinsi bisa berpotensi menambah beban polusi udara Jakarta .