LIPUTAN KHUSUS:

Ini Kata Pakar Menyoal Konflik Sumber Daya Alam yang Terus Berlanjut


Penulis : Redaksi Betahita

Berlanjutnya konflik sumber daya alam, khususnya hasil hutan di Indonesia terjadi karena posisi antar aktor tak berimbang. Pakar Lingkungan DR Elviriadi menganalisis, sejak Orde Baru sampai era Otonomi Daerah sekarang ini, kedudukan pribumi atau masyarakat adat selalu marginal. “Yang terkena dampak tetap pribumi,” katanya saat dihubungi Selasa, (29/1) di Jakarta. Baca juga: Hutan Leluhur

Agraria

Jumat, 01 Februari 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Berlanjutnya konflik sumber daya alam, khususnya hasil hutan di Indonesia terjadi karena posisi antar aktor tak berimbang. Pakar Lingkungan DR Elviriadi menganalisis, sejak Orde Baru sampai era Otonomi Daerah sekarang ini, kedudukan pribumi atau masyarakat adat selalu marginal. “Yang terkena dampak tetap pribumi,” katanya saat dihubungi Selasa, (29/1) di Jakarta.

Baca juga: Hutan Leluhur Jadi Perkebunan Sawit, Masyarakat Adat Kinipan Gelar Aksi Meratap Massal

Elviriadi menguraikan, solusi paling efektif untuk memulihkan degradasi hutan dan lingkungan di Tanah Air adalah melalui reposisi antara negara, konglomerat dan pribumi.

“Masyarakat pribumi harus diberi pengetahuan tentang peraturan dan Undang-undang yang berlaku. Lihat kawan-kawan di Papua, Riau, Lampung dan Kalimantan, mau pakai UU No 41 tahun 2009 atau UU Otonomi Daerah yang terkena dampak tetap masyarakat pribumi,” katanya.

Masyarakat adat Papua Barat berunjuk rasa di Jakarta, Kamis, 15 November 2018/ Betahita

Reposisi mendesak, masyarakat pribumi harus setara dengan konglomerat, negara perlu mengubah mindset soal ekonomi pembangunan. Masyarakat adat memberi devisa negara dengan melestarikan alam, plasma nuftah, preservasi karbon, penyelamatan satwa terlindungi, dan jasa jasa lingkungan. Masyarakat pribumi juga punya hak untuk atas tanah dan sumberdaya alam, kata Elvi.

Anggota Tetap Society of Ethnobiology Ohio State University itu menilai, sejauh ini negara selalu bersikap stagnan dalam mengantisipasi laju permohonan izin usaha berbasis lingkungan hidup dan kehutanan.

Posisi konglomerat sangat progresif, posisi pemerintah “stand by” menanti dan reaktif bila muncul problem dibelakang. Sementara pribumi selalu mendadak terkepung oleh selembar surat legalitas yang disodorkan kaki tangan konglomerat.

Maka cerita duka menurunnya status Cagar Alam Kemojang, Perdagangan Kulit Ular Phyton ke Inggris, penjualan burung langka, musnahnya habitat orangutan, konflik satwa dengan manusia, kebakaran hutan dan banjir. “Itu semua berawal dari komersialisasi sumberdaya alam tanpa batas,” katanya.

Elviriadi menyarankan pemerintah meninjau izin yang ada secara progresif investigatif. Namun di sisi lain, Menteri ATR-BPN dan KLHK mempertimbangkan legalitas surat kepada masyarakat adat dan wilayah adatnya. “Jalankan putusan MK 35 tahun 2012 (Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat, dan bukan lagi sebagai hutan negara),” katanya.