LIPUTAN KHUSUS:
Hulu DAS Indragiri dan Batanghari Terancam Limbah B3 dan Industri Ekstraktif
Penulis : Redaksi Betahita
Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Indragiri dan Batanghari saat ini dalam kategori kritis dan sangat memprihatinkan akibat ancaman Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan aktifitas industri ekstraktif yakni pertambangan dan perkebunan monokultur skala besar serta aktifitas legal dan illegal logging. Pengkampanye Tambang dan Energi WALHI Sumbar, Zulpriadi menjelaskan DAS Indragiri dan Batanghari
Konservasi
Jumat, 09 Agustus 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Indragiri dan Batanghari saat ini dalam kategori kritis dan sangat memprihatinkan akibat ancaman Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan aktifitas industri ekstraktif yakni pertambangan dan perkebunan monokultur skala besar serta aktifitas legal dan illegal logging.
Pengkampanye Tambang dan Energi WALHI Sumbar, Zulpriadi menjelaskan DAS Indragiri dan Batanghari terletak di 3 provinsi yakni, Provinsi Sumatera Barat yang merupakan daerah hulu, Provinsi Riau dan Jambi merupakan daerah tengah dan hilir yang bermuara di pantai timur pulau Sumatera.
DAS Indragiri memiliki hulu di Kota Sawahlunto, Kota Solok, Kabupaten Solok, Kabupaten Sijunjung sedangkan DAS Batanghari berhulu di Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Dharmasraya. Kawasan hulu DAS Indragiri dan Batanghari ditopang oleh sumber air yang berasal dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Kawasan Hutan Lindung dan Cagar Alam yang berada di wilayah Provinsi Sumatera Barat.
Menurut Zulpriadi, penyebab kerusakan hulu DAS Indragiri dan Batanghari berasal dari masifnya perizinan industri ekstraktif yang berada di DAS, saat ini terdapat 39 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 1 Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Alam (IUPHHK – HA). Aktifitas industri ekstraktif merupakan penyumbang terbesar kerusakan hulu DAS Indragiri dan Batanghari.
Zulpriadi mencontohkan, PLTU Ombilin yang berada di Kota Sawahlunto melakukan penumpukan abu hasil pembakaran batubara yang merupakan Limbah B3, penumpukan Limbah B3 yang telah menjadi “gunungan†dengan volume ratusan ribu ton dibiarkan menumpuk, ketika hujan turun limpasan air dari “gunungan†Limbah B3 PLTU Ombilin langsung masuk ke sungai Ombilin yang hanya berjarak kurang dari 10 meter dari bibir sungai.
“Hal ini tentu sangat membahayakan ekosistem sungai Ombilin yang merupakan hulu DAS Indragiri,” katanya.
Senada dengan Zulpriadi, Kartika Dewi TM, Staf Penguatan Data dan Informasi WALHI Jambi menyatakan bahwa dalam satu dekade terakhir, Provinsi Jambi memiliki persoalan dengan air. Sebab Sungai Batanghari yang ada di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, posisinya bukan lagi sebagai sumber air bersih, rumah habitat ikan tawar, dan jalur transportasi bagi masyarakat, kini justru menjadi sumber penyakit dan persoalan.
Sungai Batanghari berada pada status prioritas I, yang artinya kondisi kritis. Berdasarkan analisis kualitas air sungai Batanghari tahun 2016 diketahui bahwa nilai Biological Oxygen Demand (BOD) 18,08 mg/L dan Chemical Oxygen Demand (COD) 35,2 mg/L hasil dari analisa ini telah melampaui baku mutu yang ditetapkan yaitu BOD 3 mg/L dan COD 25 mg/L, hasil tersebut menunjukkan sumber pencemar terindikasi dari limbah industri dan limbah domestik.
Dengan kata lain, penanganan permasalahan Sungai Batanghari merupakan hal yang harus segera dilakukan. Misi ini harus dijadikan gerakan kolektif dan ihitiar bersama. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Jambi sudah saatnya melakukan penyelamatan DAS Batanghari dengan memangkas segala akar permasalahan.
Langkah awal yang harus dilakukan pemerintah ialah; mengevaluasi dan menghentikan perizinan industri di wilayah DAS yang tidak mengindahkan aspek keberlanjutan lingkungan hidup. Selain itu, diperlukan kesungguhan dan ketegasan pemerintah dalam menegakkan regulasi yang ada.
Permasalahan di Sungai Batanghari merupakan hal yang nyata, maka penanganannya pun harus dengan aksi nyata. Ketua Sumatera Green Forest (SGF) Jasman menuturkan, Hulu DAS Indragiri dan Batanghari merupakan tempat habitat dan pergerakan satwa-satwa dilindungi seperti Harimau, Beruang, Tapir dan Burung Rangkong serta satwa dilindungi lainnya. Habitatnya meliputi TNKS, Cagar Alam Pangean 1 dan 2 hingga Taman Nasional Rimbang Baling di Provinsi Riau. Rusaknya hulu DAS Indragiri dan Batanghari oleh aktifitas industry ektraktif berdampak serius pada satwa dilindungi tersebut.
Akibat terganggunya habitat satwa dilindungi menimbulkan konflik dengan manusia, contohnya terjadi Konflik Harimau Sumatera masuk ke pemukiman penduduk dengan memangsa ternak di daerah Lubuk Gadang Utara, Lubuk Gadang Induk, Bidar Alam (kabupaten Solok Selatan) dan Sumpur Kudus (Kabupaten Sijunjung). Penangkapan Kulit Harimau di Bandara Minangkabau bulan lalu menunjukan keberadaan satwa endemis yang masuk Redlist IUCN tersebut dalam kondisi makin terancam.
Menurut Abdul Aziz, Ketua KPA Winalsa kerusakan hulu DAS Batanghari diwilayah Solok Selatan diakibatkan oleh IUP emas di aliran sungai, terdapat 8 IUP yang masih aktif. Saat ini yang menjadi sorotan kami adalah IUP PT Bumi Indonesia Bersinar (BIB) yang memiliki konsesi seluas 1.790 hektar yang dikeluarkan Bupati Solok Selatan dengan SK No 540.68-2014 tanggal 18 Maret 2014.
IUP PT BIB membentang sepanjang 8,5 kilometer aliran sungai Batang Bangko, hal ini merupakan kemunduran penyelamatan DAS Batanghari. Disamping itu, saat ini telah tampak kerusakan nyata tanpa ada rehabilitasi bekas tambang yang ditinggalkan oleh PT. Geomenix Sapex di aliran Sungai Batanghari yang berada di Nagari Lubuk Ulang Aling dan Nagari Lubuk Ulang Aling Tengah, Kec. Sangir Batang Hari, Kab. Solok Selatan, dampak yang ditimbulkan adalah semakin kritisnya DAS Batanghari dengan berpotensi bencana banjir yang mengancam keselamatan masyarakat yang tinggal sepanjang DAS Batanghari.
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Solok Selatan yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan DAS Indragiri dan Batanghari, Atilla Majidi Datuak Sibungsu menyatakan bahwa Sebenarnya di Minangkabu sudah ada pola kerjasama dengan investor yang menanamkan modal yaitu “dipaduoan atau dipatigoan”, artinya hutan adat atau tanah ulayat itu dianggap bagian dari saham komunal, bukan hanya diberikan uang “siriah pinang†di awal lalu sumberdaya alam dikuras dengan mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
Dia menambahkan bahwa Pemkab Solok Selatan harus mengkaji ulang perusahaan tambang dan aktivitas PETI yang berpotensi merusak hulu DAS Batanghari. Kerusakan lingkungan dan dampak bencana akan mengancam lingkungan Solok Selatan dan daerah sehiliran DAS Batanghari. Kami juga mendorong Pemkab Solok Selatan juga arif dalam penyelamatan nilai sejarah dan budaya Minangkabau karena diduga wilayah hulu Batang Bangko dan sekitarnya adalah daerah pemukiman awal masyarakat Solok Selatan.
Hal ini diperoleh tuturan dari perimba dan pencari batu Sungai Dareh (Kandi) bahwa banyak ditemukan sisa artefak kuno di lokasi tersebut. Ini harus menjadi perhatian serius Pemkab Solok Selatan, jika tuturan itu benar tentu nilai sejarah dan kebudayaan jauh lebih berharga. Lalu, jika memang ada investasi mau masuk ke Solok Selatan hindari dulu investasi yang berpotensi merusak lingkungan, Ungkapnya mengakhiri.
First San Hendra Rivai selaku Direktur Perkumpulan Qbar mengungkapkan, Koalisi Selamatkan DAS Indragiri dan Batanghari menuntut, pertama, meminta Gubernur Sumatera Barat untuk segera mengimplementasikan Intruksi Presiden No 8 tahun 2018 Tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktifitas Perkebunan Sawit (Moratorium Kelapa Sawit).
Kedua, meminta Gubernur Sumatera Barat melakukan Evaluasi menyeluruh perizinan tambang di Provinsi Sumatera Barat dalam upaya penyelamatan DAS Indragiri dan Batanghari, Ketiga, Mendorong wilayah DAS Indragiri dan Batanghari sebagai situs Warisan Dunia (World Heritage) terkait peradaban Minangkabau dan Melayu yang menggunakan dua aliran sungai ini sebagai jalur penyebaran masyarakat dan budaya.
Menanggapi hal di atas, Pakar Lingkungan, DR Elviriadi mengatakan, DAS Indragiri dan DAS Batanghari harus menjadi perhatian serius pemerintah provinsi Sumbar, Riau, Jambi . Chactmant area (kawasan resapan air) yang kritis harus di reboisasi dengan pohon pohon penyerap air.
Aktivitas eksploitasi di areal “chachment area” yang mensuply air di DAS harus diseleksi ketat berdasarkan regulasi yang ada. Pemprov Sumbar dan Jambi harus membentuk Satgas Inventarisasi dan Penindakan Izin Usaha yang merusak SDA.
“Kok gak ada perspektif yang terintegrasi dan konfrehensif soal DAS dan manajemen SDA ini ya, ” kata Ketua Departemen Perubahan Iklim Majelis Nasional KAHMI. Kan ada Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera (P3ES) KLHK di Pekanbaru. Problem krusial seperti ini harusnya diperhatikan, katanya.