LIPUTAN KHUSUS:
Hutan Produksi Dominasi Keberadaan Hotspot
Penulis : Redaksi Betahita
Hutan produksi mendominasi keberadaan titik panas sebanyak 9.405: HTI 1.947 titik, HPH 1.597 titik, kawasan tidak dibebani izin 4.791 titik, dan perkebunan 1.061 titik, demikian hasil penelitian Auriga Nusantara . Baca juga: Penegakan Hukum Kasus Karhutla di Kalteng Jangan Pilih-Pilih Untuk memetakan keberadaan titik panas (hotspot) kebakaran lahan pada 1 Agustus hingga 28 September 2019.
Karhutla
Rabu, 02 Oktober 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Hutan produksi mendominasi keberadaan titik panas sebanyak 9.405: HTI 1.947 titik, HPH 1.597 titik, kawasan tidak dibebani izin 4.791 titik, dan perkebunan 1.061 titik, demikian hasil penelitian Auriga Nusantara .
Baca juga: Penegakan Hukum Kasus Karhutla di Kalteng Jangan Pilih-Pilih
Untuk memetakan keberadaan titik panas (hotspot) kebakaran lahan pada 1 Agustus hingga 28 September 2019. Auriga memakai data pantauan satelit NASA Fire Information for Resource Management System (FIRMS) “Hasilnya, titik panas di kawasan hutan dan area penggunaan lain paling banyak berada di kesatuan hidrologis gambut,” kata Direktur Auriga, Syahrul Fitra.
Dengan tingkat kepercayaan pemantauan satelit lebih dari 80%, pada periode tersebut tercatat 19.853 titik panas (>80%) dari seluruh wilayah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 66% atau 13.069 titik panas berada di kawasan hutan, sementara sisanya (6.784 hotspot) berada di area penggunaan lain.
“Kebakaran hutan dan gambut tahun 2015 ternyata bukan kebakaran hebat yang terakhir,†kata Syahrul.
Lima provinsi teratas dengan sebaran titik api terbanyak, secara berturut adalah Kalimantan Tengah (6.332 titik panas), Kalimantan Barat (3.782 titik panas), Jambi (2.837 titik panas), Sumatera Selatan (1.985 titik panas) dan Riau (1.950 titik panas). Kelima provinsi ini mewakili 85% dari total titik panas kebakaran hutan se-Indonesia.
Jika titik panas di dalam kawasan hutan ditilik lebih jauh, hutan produksi mendominasi keberadaan titik panas sebanyak 9.405—hutan tanaman industri atau HTI 1.947 titik, penebangan selektif atau HPH 1.597 titik, tidak dibebani izin 4.791 titik, dan perkebunan 1.061 titik. Sementara jumlah titik panas di hutan lindung sebanyak 2.201 titik dan kawasan konservasi sebanyak 1.463 titik. Menurut Syahrul, dari sebaran tersebut sekitar 66% titik api yang tersebar di kawasan hutan yang menjadi tanggung jawab langsung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Bila ditilik berdasarkan pengusahaan lahan, sebanyak 7.343 titik atau 37% berada dalam konsesi HTI, penebangan selektif atau HPH, dan perkebunan sawit. Dari total titik panas di dalam konsesi tersebut sebanyak 48% berada di HTI dan HPH.
Dari 13.069 titik panas dalam kawasan hutan, 9.295 di antaranya berada di wilayah kesatuan hidrologis gambut. Sementara di area penggunaan lain, dari 6.784 titik panas, 4.263 di antaranya merupakan kawasan gambut. “Tidak transparannya KLHK mengenai rencana restorasi di dalam kawasan hutan dan revisi rencana/peta kerja perusahaan kehutanan selama ini patut dipertanyakan,†kata Syahrul.
Syahrul menambahkan hasil tumpang susun dengan peta lokasi prioritas restorasi ekosistem gambut lebih mengejutkan lagi. Lokasi ini harusnya sudah dan dalam proses pemulihan setelah terbakar pada 2015. Kenyataannya, dari sebaran titik api di wilayah kesatuan hidrologis gambut sebanyak 11.558 titik tersebar di lokasi prioritas, dengan 8.228 titik panas atau sebanyak 71% tersebar di areal prioritas restorasi, baik dalam kawasan hutan maupun APL.
Menurut Syahrul, fakta ini mengkhawatirkan karena KLHK baru saja menerbitkan Peraturan Menteri P.10/2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut yang justru mengurangi proteksi terhadap hidrologis gambut. Dengan aturan itu, kata Syahrul, eksploitasi di lahan gambut memiliki pembenaran untuk diperluas, sehingga meningkatkan kemungkinan kebakaran lahan gambut di masa mendatang.
Dengan data-data seperti itu, Auriga meminta KLHK melakukan empat hal. Pertama, membuat peta rawan api dan melakukan antisipasi saat sebelum kemarau dan siaga pada saat kemarau di area-area rawan api tersebut.
Kedua, restrukturisasi dan reposisi kelembagaan pengelolaan kawasan hutan sehingga memastikan keberadaan staf di lapangan (karena saat ini staf KLHK kebanyakan berada di Jakarta dan atau ibukota provinsi/kabupaten, bukan bertugas di dalam kawasan hutan).
Ketiga, revisi P.10/2019 sehingga pengelolaan dan proteksi gambut kembali berdasarkan satuan hidrologi. Keempat, buka akses publik terhadap restorasi gambut di HTI dan terhadap revisi RKU/RKT HPH/HTI.
Sebelumnya KLHK mengumumkan penurunan jumlah titik api dalam kebakaran hutan dan lahan tahun ini. Mengutip laporan Pos Komando Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan tanggal 27 September 2019 pukul 18.00 WIB yang memakai satelit NASA titik panas hanya berada di wilayah Jambi sebanyak 3 titik, Kalimantan Timur sebanyak 9 titik, dan Kalimantan Utara sebanyak 2 titik.
Pada 14-20 September 2019 total titik panas, yang diambil dari pantauan sipongi.menlhk.go.id di seluruh wilayah Indonesia yang terpantau oleh satelit TERRA AQUA LAPAN dengan tingkat sebanyak 5.106 titik panas. Pada 21-27 September 2019 titik panas turun menjadi 3.211 titik panas.