LIPUTAN KHUSUS:

BRWA: Nawacita Belum Maksimal Menyentuh Masyarakat Adat


Penulis : Redaksi Betahita

Program  perlindungan masyarakat adat seperti yang tertuang dalam Nawacita Presiden Jokowi belum banyak terealisasi.

Agraria

Selasa, 22 Oktober 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat Nasional, Kasmita Widodo, mengatakan program  perlindungan masyarakat adat seperti yang tertuang dalam Nawacita Presiden Jokowi belum banyak terealisasi.

“Yang paling utama adalah RUU Masyarakt Adat yang tidak berhasil disahkan pada periode pemerintahan Jokowi kemarin,” katanya saat dihubungi Senin, 21 Oktober 2019 di Jakarta..

Baca juga: AMAN Tagih Enam Janji Presiden Jokowi ke Masyarakat Adat

“Sayangnya sampai akhir periode legislasi, pemerintah tidak mengirimkan DIM RUU Masyarakat Adat kepada DPR,” katanya.

Komunitas Adat Laman Kinipan menggelar aksi menangis massal di lokasi land clearing PT Sawit Mandiri Lestari (SML) di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, 19 Januari 2019. Komunitas adat ini berkonflik dengan PT SML lantaran wilayah adat komunitas tersebut diduga masuk dalam areal perkebunan,/Foto: Betahita.id

Menurutnya, proses pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat saat ini mengikuti prosedur peraturan perundangan sektoral, termasuk UU tentang Pemerintahan Daerah. Kondisi ini sangat memberatkan masyarakat adat karena alurnya begitu panjang dan mahal.

Pengakuan Hutan Adat menjadi pintu masuk untuk pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat, namun Putusan MK35 ini juga belum mengubah syarat pengakuan masyarakat adat melalui Peraturan Daerah (Perda).

“Lihat saja pengakuan hutan adat yang baru mencapai 24 ribu hektar lebih. Jadi perlu ada peraturan perundangan yang sungguh-sungguh mengakui dan melindungi masyarakat adat dan hak-haknya,” ungkapnya.

BRWA sejak tahun 2012 secara reguler menyampaikan peta-peta wilayah adat yang terdaftar di BRWA kepada Pemerintah. Data peta wilayah adat yang diterima Menteri LHK meliputi 833 peta wilayah adat dengan luas mencapai 10,56 juta hektare di 26 provinsi dan 111 kabupaten/kota.

Status pengakuan wilayah adat berdasarkan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan dan penetapan. Ada 61 wilayah adat yang sudah ditetapkan dengan luas mencapai 1.157.279 hektare dan 331 wilayah adat seluas 4.018.171 hektare berada di kabupaten yang telah menerbitkan Peraturan Daerah.

Dengan demikian hampir 50% wilayah adat berada pada jurisdiksi kabupaten/kota yang telah memiliki peraturan daerah pengakuan masyarakat adat.

Dari status registrasi BRWA, ada 448.279 haktare (19 peta) yang telah lolos tahap sertifikasi, artinya data sosial dan informasi spasial, termasuk dokumen batas-batas wilayah adat telah lengkap. Ada 110 peta wilayah adat terverifikasi mencapai 2.426.894 hektare, masih ada beberapa hal yang perlu dilengkapi sebelum penetapan sertifikasi wilayah adat oleh BRWA. Masih cukup luas wilayah adat baru tahap tercatat dan teregistrasi, yaitu mencapai 6.159.106 ha (teregistrasi) dan 1.528.106 (tercatat) dengan total 704 peta wilayah adat.

Pada peta wilayah adat seluas 10,56 juta hektar tersebut terdapat kawasan hutan terdiri atas Hutan Produksi 3.894.078,10 hektare, Hutan Lindung 2.002.438,70 hektare dan Hutan Konservasi seluas 1.867.610,15 hektare. Total kawasan hutan di wilayah adat mencapai 7.764.126,95 hektare. Melalui proses penapisan data maka luasan ini dapat menjadi potensi hutan adat.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyampaikan kepada pemerintah sekitar 9,65 juta hektar wilayah adat, terdiri 785 wilayah adat di 33 kabupaten  di 18 provinsi. Dari jumlah itu, ada 7,12 juta hektar (76%) dalam kawasan hutan dan 2,17 juta hektar (23%) di alokasi penggunaan lain serta 44.000 hektar (1%) di perairan.

Berdasarkan perizinan, dari luas 9,65 juta hektar wilayah adat yang terpetakan, 5,95 juta hektar (62%) tanpa perizinan (clear and clean), 3,69 juta hektar (38%) terbebani perizinan. Perizinan pun tumpang tindih satu sama lain dan bersifat sektoral.

Pada pidato sambutan di acara Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS), Menteri Siti Nurbaya menyampaikan bahwa KLHK hingga Juli 2019 telah menetapkan Hutan Adat dan mencadangkan Hutan Adat seluas keseluruhan ± 34.569 hektare.

KLHK juga telah menerbitkan Peta Wilayah Inidkatif Hutan Adat Fase II mencapai sekitar 574.119 hektare. Ada tambahan sekitar 101.138 hektar dari peta Fase I. Jika dilihat data potensi hutan adat seluas 7,76 juta hektar, maka masih cukup banyak potensi Hutan Adat yang bisa dimasukkan menjadi Peta Wilayah Inidkatif Hutan Adat.

Dengan memenuhi persyaratan seperti yang diatur dalam PermenLHK Nomor 21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, pembaruan Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat setelah mendapat persetujuan atau adanya usulan dari pemerintah daerah, terutama pada kabupaten/kota yang telah menerbitkan Perda pengakuan masyarakat adat. Walaupun ada skema pemuatan peta wilayah adat menjadi peta indikatif, tetap saja masih memerlukan keputusan politik kepala daerah.

Pada rapat koordinasi nasional hutan adat awal 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menganalisa potensi hutan adat berdasarkan data petaan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) seluas 9,3 juta hektar. Wilayah adat tumpang tindih dengan fungsi kawasan hutan 6,3 juta hektar.