LIPUTAN KHUSUS:
Beri Grasi Annas Mamun, Jikalahari: Presiden Jokowi Tidak Pro-Lingkungan
Penulis : Redaksi Betahita
Jikalahari menilai keputusan Presiden Jokowi memberi grasi kepada Annas Mamun, mantan Gubernur Riau yang terbukti korupsi dalam alih fungsi lahan, tidak pro lingkungan. Jokowi pada 25 Oktober 2019 melalui Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2019 tentang pemberian Grasi, memberikan pengampunan pada Annas Mamun dengan pertimbangan usia. Baca juga: Jikalahari: Pemerintah Harus Gandeng OJK Atasi Karhutla Jikalahari
Hukum
Kamis, 28 November 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Jikalahari menilai keputusan Presiden Jokowi memberi grasi kepada Annas Mamun, mantan Gubernur Riau yang terbukti korupsi dalam alih fungsi lahan, tidak pro lingkungan.
Jokowi pada 25 Oktober 2019 melalui Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2019 tentang pemberian Grasi, memberikan pengampunan pada Annas Mamun dengan pertimbangan usia.
Baca juga: Jikalahari: Pemerintah Harus Gandeng OJK Atasi Karhutla
Jikalahari menilai keputusan tersebut juga tidak menghargai dan menghormati hakim Mahkamah Agung. “Tidak menghargai dan menghormati putusan hakim Mahkamah Agung yang memberatkan hukuman Annas Maamun menjadi tujuh tahun,†kata Made Ali, Koordinator Jikalahari Selasa, 27 November 2019.
Dalam putusan Kasasi Hakim Mahkamah Agung No 2819 K/Pid.Sus/2015 tiga hakim Mahkamah Agung Artidjo Alkostar, MS Lumme dan Krisna Harahap menilai Annas Mamun terbukti menerima suap dari alih fungsi lahan. Hal yang meringankan Annas Mamun telah berusia 78 tahun.
“Jokowi juga mengingkari kebijakannya sendiri yang hendak menurunkan deforestasi dan degradasi hutan serta peningkatan pelestarian hutan yang digadang-gadang wujud komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca di dunia internasional paska meratifikasi Persetujuan Paris,†kata Made.
Pada Oktober 2016 Indonesia meratifikasi UU No 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement to The UNFCC (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim).
Untuk mengurangi emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan menjadi 41 persen jika ada kerja sama internasional dari kondisi tanpa ada aksi pada tahun 2030, yang akan dicapai antara lain melalui sektor kehutanan (17,2 persen), energi termasuk transportasi (11 persen, limbah (0,38 persen), proses industri dan penggunaan produk (0,10 persen), dan pertanian (0,32 persen).
Kebijakan yang digadang-gadang itu dua di antaranya berupa Instruksi Presiden (Inpres) N0 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktifitas Perkebunan Kelapa Sawit (Moratorium Sawit) dan Inpres Nomor 5 tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (Moratorium Permanen Hutan).
“Perilaku korupsi Annas Mamun hendak menghancurkan kawasan hutan dengan cara merevisi draft RTRWP Riau untuk memuluskan jalan korporasi dan cukong yang selama ini menanam sawit secara illegal dalam Kawasan hutan,†kata Made Ali. “Nampaknya, Jokowi tidak mempertimbangkan dampak perilaku Annas Mamun yang bertentangan dengan komitmen Presiden Jokowi menyelamatkan hutan.â€
Pada 2014, Annas Maamun di OTT KPK di Jakarta karena suap alih fungsi kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan di Riau. Dalam perkara itu, Annas didakwa secara kumulatif. Pertama, Annas menerima suap US$166.100 dari Gulat Medali Emas Manurung yang saat itu selaku Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Provinsi Riau dan dari Direktur Utama PT Citra Hokiana, Edison Marudut Marsadauli Siahaan untuk memasukkan areal kebun sawit dengan total luas 2.522 hektare di tiga Kabupaten dengan perubahan luas bukan kawasan hutan di Provinsi Riau.
Kedua, Annas didakwa menerima suap Rp 500 juta dari Edison Marudut melalui Gulat Medali Emas terkait dengan pengerjaan proyek untuk kepentingan perusahaan Edison di lingkungan Provinsi Riau. Ketiga, Annas juga menerima suap Rp 3 miliar dari janji Rp 8 miliar dalam bentuk mata uang dolar Singapura dari beneficial owner Darmex Agro dan Duta Palma Group, Surya Darmadi, agar memasukkan anak perusahaan Darmex Agro dalam revisi RTRWP dari kawasan hutan menjadi non Kawasan hutan.
Pada 2015, Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Bandung menjatuhkan vonis enam tahun penjara kepada Annas karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus suap alih fungsi kawasan hutan. Annas Mamun banding, hakim pengadilan tinggi pada 2015 menguatkan putusan pengadilan negeri. Annas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun, kasasi ditolak dan MA memperberat hukuman Annas menjadi tujuh tahun penjara pada 2016.
“Korupsi yang dilakukan Annas merupakan kejahatan luar biasa yang tidak dapat ditolerir, bukan saja korupsi alih fungsi kawasan hutan, juga korupsi APBD Riau,†kata Made.
Sinyal Bagi KPK dan KLHK
“Sisi lain, KPK segera menyidangkan terdakwa pemilik Darmex Agro, korporasi PT Palma Satu dan Suheri Tirta dan KLHK segera menetapkan anak perusahaan Darmex Agro sebagai tersangka kehutanan,†kata Made Ali.
Pada April 2019, KPK menetapkan tersangka PT Palma Satu, Surya Darmadi (owner Darmex Agro) dan Suheri Tirta (Legal Manajer PT Duta Palma Grup) sebagai tersangka tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan di Riau kepada Kemenhut tahun 2014.
Dalam kasus ini Annas Mamun menerima suap dari Surya Darmadi melalui Suheri Tirta sebesar Rp 3 miliar dari Rp 8 Miliar yang dijanjikan. Suap diberikan agar Annas Mamun bersedia memasukkan lahan yang berada dalam Kawasan hutan atas nama PT Palma Satu, PT Panca Agro Lestari, PT Banyu Bening Utama, PT Seberida Subur yang merupakan anak perusahaan Darmex Agro ke dalam usulan revisi SK 673 Tahunb 2014 tentang Perubahan Kawasan Hutan Riau yang diintegrasikan ke dalam draft RTRWP Riau 2014-2036.
Selanjutnya, karena perusahaan tersebut masih masuk dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri LHK, “itu berarti tindak pidana kehutanan. Segera Gakkum KLHK tetapkan mereka sebagai tersangka,†kata Made Ali,
Pakar Lingkungan DR Elviriadi menilai grasi satu tahun oleh Presiden kepada mantan gubernur Riau wajar saja. “Bisa juga tidak tepat kalau dari sisi urgensi menjaga hutan tersisa akibat deforestasi,” katanya.
Menurutnya Elviriadi, mungkin presiden mempertimbangkan dari segi umur dan kesehatan. Yang penting bagi publik adalah penindakan terhadap pihak kedua yang menerima konsesi kawasan hutan. “Pihak swasta atau perusahaan kenapa jarang tersentuh? Ini yang harus dihukum berat,” katanya.
Elviriadi menekankan bahwa perlu keberanian penegak hukum dan pollitical will dari pemerintah. Menurutnya selama ini, ada sesuatu yang membuat perusahaan seolah “sakti”.
Contohnya kata Evi di Riau, Gubernur Rusli Zainal, Bupati T.Azmun Jaafar, Bupati Arwin AS, Bupati Burhanuddin, 2 orang Kadis Kehutanan Propinsi, semua pejabat negara kena hukum dan vonis cukup berat. “Tetapi pihak yang diberi izin para Bupati dan Gubernur ini ongkang ongkang kaki, tak tersentuh hukum,” kata Elvi.