LIPUTAN KHUSUS:
Gelombang Unjuk Rasa Bela Peladang Tradisional Terjadi di Sejumlah Daerah di Kalteng
Penulis : Redaksi Betahita
Gelombang unjuk rasa masyarakat adat atas penangkapan puluhan masyarakat peladang tradisional di Kalimantan Tengah (Kalteng) bermunculan di sejumlah kabupaten dan kota. Di Kota Palangka Raya, ratusan pengunjuk rasa berasal dari 40 organisasi dan lembaga masyarakat sipil, dan juga mahasiswa turun ke jalan. Aksi unjuk rasa ratusan anggota masyarakat adat di Palangka Raya ini
Hukum
Selasa, 10 Desember 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Gelombang unjuk rasa masyarakat adat atas penangkapan puluhan masyarakat peladang tradisional di Kalimantan Tengah (Kalteng) bermunculan di sejumlah kabupaten dan kota. Di Kota Palangka Raya, ratusan pengunjuk rasa berasal dari 40 organisasi dan lembaga masyarakat sipil, dan juga mahasiswa turun ke jalan.
Aksi unjuk rasa ratusan anggota masyarakat adat di Palangka Raya ini merupakan gelombang susulan dari aksi massa yang sebelumnya terjadi di Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara dan di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, pada 6 dan 9 Desember 2019.
Baca juga: RUU Masyarakat Adat Riwayatmu Kini
Koordinator Umum Solidaritas Peladang Tradisional Kalteng, sekaligus Plt. Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, Ferdi Kurnianto mengatakan, 2019 bisa dikatakan sebagai tahun kelam bagi peladang tradisional yang menerapkan praktek-praktek kearifan lokal di Kalteng. Sampai dengan awal Desember 2019, AMAN mencatat sebanyak 35 orang peladang di Kalteng yang dijerat hukum atas dakwaan membakar hutan dan lahan.
Merujuk pada data Polda Kalteng, lanjut Ferdi, dari 161 kasus perorangan terkait Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) tahun 2019, 121 orang di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara dari 20 Kasus korporasi yang diduga terlibat dalam Karhutla tahun 2019, baru 2 perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka. Yakni PT Palmindo Gemilang Kencana dan PT Gawi Bahandep Sawit Mekar.
“Dari data di atas, kami melihat bahwa terdapat kesenjangan penegakan hukum oleh Negara terhadap individu perorangan (Peladang dan Masyarakat Adat) dibandingkan terhadap korporasi. Kami juga menilai bahwa Pemerintah dan Negara seakan tutup mata atas sumber utama penyebab kebakaran hutan dan lahan yang sebenarnya,” kata Ferdi, Selasa (10/12/2019).
Ferdi melanjutkan, berbagai data yang telah terhimpun menunjukkan bahwa mayoritas titik-titik panas atau hotspot di Kalteng berada pada areal yang telah dikuasai izin-izin konsesi bagi korporasi. Tapi pada kenyataannya, para peladanglah yang selalu dijadikan “kambing hitam” oleh Negara sebagai penyebab utama karhutla serta bencana kabut asap di Kalteng.
“Aparat kepolisian pun terlalu semena-mena. Peladang yang ditangkap karena membakar ladang diekspos secara berlebihan kepada media dan publik. Seolah-olah peladang adalah penjahat atau kriminal. Perlakuan demikian sangat bertolak belakang terhadap korporasi. Aparat kurang bahkan tidak transparan menyampaikan kepada publik nama-nama perusahaan pembakar hutan dan lahan di Kalteng.”
Solidaritas Peladang Tradisional Kalteng menilai, perlakuan aparat penegak hukum yang mengekspos para peladang tradisional sebagai pelaku pembakaran hutan dan lahan di Kalteng merupakan tindakan yang terlalu berlebihan. Hal tersebut menimbulkan dampak negatif yang membentuk stigma dan paradigma di publik yang seolah-olah bahwa peladang dan praktik-praktik perladangan tradisional adalah penyebab utama karhutla.
“Tapi saat ini, kami menegaskan bahwa peladang adalah pejuang. Pejuang dalam menafkahi keluarga dan rumah tangganya. Pejuang dalam mempertahankan tanah dan ruang hidupnya dari serbuan korporasi yang masif ke dalam ruang-ruang hidup masyarakat adat.”
Oleh sebab itu, lanjut Ferdi, setiap orang juga harus memahami bahwa bagi masyarakat dayak praktek-praktek perladangan tradisional dengan menerapkan kearifan lokal yang salah satunya dengan tata cara pembakaran ladang adalah upaya untuk mempertahankan Hidup, tradisi dan budaya dayak.
“Kami juga menegaskan bahwa berladang merupakan bentuk kedaulatan kami terhadap pangan, konsumsi, ekonomi, sosial, budaya serta kedaulatan atas tanah dan ruang hidup kami.”
Pihaknya juga menilai, maraknya peladang tradisional yang dijerat hukum selama ini karena kurangnya perhatian dari pemerintah, dalam mengakomodir kebutuhan para peladang tradisional dan masyarakat adat. Hal ini terbukti dengan tidak adanya regulasi daerah, baik berupa peraturan daerah provinsi, kabupaten dan kota.
“Maupun peraturan kepala daerah di Kalteng, yang berpihak dalam mengakomodasi kebutuhan, pengakuan dan perlindungan bagi kami para peladang dan masyarakat adat dayak secara kontekstual. Oleh sebab itu, pada hari ini kami menyatakan bahwa negara belum sepenuhnya hadir bagi masyarakat adat dan peladang tradisional di Kalteng.â€
Ferdi juga mengatakan, pelarangan dalam membakar lahan semestinya juga mempertimbangkan perbedaan tipologi tanah. Yang mana antara tanah gambut dan tanah mineral tidak bisa disamaratakan. Selain itu, pelarangan membakar tidak boleh disamaratakan pada semua daerah.
“Pada hari ini kami juga menegaskan kepada berbagai pihak bahwa praktek-praktek perladangan tradisional dengan menerapkan kearifan lokal. Yang salah satunya dengan tata cara dan ritual membakar ladang juga dilindungi oleh konstitusi.”
Dilindungi oleh konstitusi dimaksud, dimuat dengan jelas pada penjelasan pasal 69 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Akan tetapi aparat penegak hukum umumnya malah menjerat para peladang tradisional terkait karhutla dengan menggunakan undang-undang yang sama.
“Namun hanya dengan mengacu kepada pasal 69 terkait larangan, tanpa menelaah secara jelas dan kontekstual seperti yang termuat pada pasal penjelasannya.”
13 Tuntutan Solidaritas Peladang Tradisional Kalteng
Berangkat dari hal itu dan berbagai dinamika serta permasalahan yang para peladang rasa dan alami tersebut, pihaknya dan puluhan organisasi lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Peladang Tradisional Kalteng menyatakan sikap dan beberapa tuntutan.
- Menuntut kepada Pemerintah dan aparat penegak hukum untuk segera membebaskan semua peladang tradisional yang sedang menjalani proses hukum dan yang sudah ditahan, tanpa syarat.
- Menegaskan kepada Pemerintah dan aparat penegak hukum untuk tidak lagi melakukan upaya kriminalisasi terhadap peladang tradisional, mulai saat ini hingga akan datang.
- Menegaskan kepada setiap orang bahwa pembakaran ladang bukan pembakaran hutan dan lahan.
- Menegaskan kepada setiap orang bahwa praktek-praktek berladang adalah upaya untuk mempertahankan hidup, tradisi dan budaya dayak.
- Menyatakan kepada Pemerintah dan aparat penegak hukum, bahwa pelarangan berladang dengan menerapkan praktek-praktek kearifan lokal adalah salah satu bentuk penghancuran budaya dan tradisi dayak.
- Menegaskan bahwa praktek perladangan tradisional oleh masyarakat di Kalteng merupakan bentuk kedaulatan terhadap pangan, konsumsi, ekonomi, sosial, budaya serta kedaulatan atas tanah dan ruang hidup kami.
- Pemerintah harus menindak tegas dan transparan sesuai hukum setiap korporasi yang melakukan pembakaran hutan dan lahan pada areal konsesi izinnya.
- Pemerintah harus segera mencabut izin-izin korporasi yang terbukti melanggar aturan, baik perizinan, pelanggaran pada praktek produksi dan sebagainya.
- Pemerintah harus segera mencabut dan atau merevisi setiap regulasi terkait pelarangan berladang dengan kearifan local, serta berbagai regulasi yang tidak kontekstual dengan masyarakat adat . Di antaranya Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015, Surat Edaran Kapolri No. SE/15/XI/2016 dan regulasi lainnya.
- Menegaskan kepada aparat penegak hukum untuk mengimplementasikan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, agar tidak hanya mengacu pada larangan di pasal 69. Tetapi juga memahami secara jelas dan kontekstual penjelasan pasal 69 ayat 2 pada UU tersebut.
- Menuntut kepada pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Kalteng untuk segera membentuk dan mengesahkan Peraturan Daerah tentang Perladangan Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kalteng.
- Menuntut kepada pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Kalteng untuk segera membentuk dan mengesahkan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Dayak Kalteng.
- Menuntut kepada Pemerintah Pusat untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.
Ferdi menambahkan, aksi massa masyarakat adat di Palangka Raya kali ini melibatkan sedikitnya 900 orang dari berbagai daerah kabupaten dan kota di Kalteng. Aksi massa masyarakat adat di Palangka Raya ini digelar di beberapa tempat. Yaitu di Bundaran Besar Palangka Raya, Kantor Polda Kalteng dan Kantor DPRD Provinsi Kalteng. Dari hasil pertemuan dan dengan Sekretariat DPRD Provinsi Kalteng, disepakati akan diadakan audiensi antara perwakilan Solidaritas Peladang Tradisional Kalteng dengan anggota DPRD Kalteng pada Senin, 16 Desember 2019.
Selain itu terdapat sekitar 40 organisasi lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Peladang Tradisiona Kalteng. Yakni Pusaka, Yayasan Petak Danum, Walhi Kalteng, AMAN Kalteng, BPAN Kalteng, Perempuan AMAN Kalteng, PPMAN, Solidaritas Perempuan Kalteng, Pasah Kahanjak, HIMA Barito Utara, Progress, Pasukan Lawung Bahandang (PLB), Fordayak Kalimantan Tengah, GMKI, LBH Palangka Raya, Eka Hapakat, KPPM Ot-Danum Kalteng dan BEM UNKRIP.
Kemudian Asbadata, GDN, Gepak Kalteng, Kapakat Dayak Bersatu, Komunitas Utus Dayak Bersatu Mandau Talawang, LP-KPK, Pembaru Indonesia, Pemuda HWK Katingan Emas, Perajah Motanoi, PSB-KT, RTB KT, YBB, PMKRI, FPMAD KT, KPPM Ot Danum, Maki Pusat, Seruni, DAD KALTENG, GMNI, Perperdayak dan ELSPA.Sebelumnya, Senin 9 Desember 2019 kemarin, ratusan warga dari berbagai komunitas adat di Kabupaten Kotawaringin Barat, juga melakukan aksi massa serupa di
Aksi Solidaritas Bela Peladang Juga Terjadi di Kotawaringin Barat dan Barito Utara
Sebelumnya aksi massa serupa juga terjadi di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), pada Senin 9 Desember 2019 kemarin. Dalam aksi tersebut AMAN Kobar bersama Forum Solidaritas Bela Peladang Kobar turun ke jalan, berunjuk rasa di depan kantor Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun.
Sebelum menyampaikan aspirasinya, ratusan masyarakat adat yang berasal dari Komunitas Adat Rungun, Kubu, mahasiswa, Ormas Himpunan Juriat Pangeran Ratu, perwakilan AMAN Kabupaten Lamandau, Gerdayak dan AMAN Kobar ini berkonvoi bersama, dari Sekretariat AMAN Kotawaringin Barat, menuju PN Pangkalan Bun.
Ratusan masyarakat adat ini datang ke PN Pangkalan Bun dengan menyuarakan berbagai tuntutan. Utamanya agar PN Pangkalan Bun, membebaskan Gusti Maulidin dan Sarwani, dari Komunitas Adat Rungun, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kobar, dari dakwaan pelaku kebakaran hutan dan lahan.
Dalam aksi massa tersebut, para perwakilan keluarga korban, mahasiswa, perempuan AMAN dan AMAN Kobar silih berganti berorasi. Mereka juga mengecam pandangan yang menganggap kearifan lokal dan masyarakat adat tidak ada dan belum ada penetapan dan menjadikannya sebagai basis alasan untuk menghukum peladang.
Untuk diketahui, Gusti Maulidin dan Sarwani dijerat dengan pasal berlapis. Pertama, dengan pasal 108 juncto juncto pasal 69 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Kedua, dengan pasal 78 ayat 3 juncto pasal 50 ayat 3 huruf d, Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan juncto Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ketiga, pasal 187 ke-1 KUH Pidana. Keempat, pasal 188 KUH Pidana,” kata Masdani, Ketua AMAN Kobar, Senin (9/12/2019).
Gusti Maulidin dan Sarwani, lanjut Masdani, merupakan masyarakat adat yang secara turun-temurun mewarisi budaya membuka lahan terbatas untuk berladang dengan cara membakar. Yang mana praktik membakar hanya sebatas untuk kepentingan ketahanan pangan lokal, tidak untuk merusak lingkungan hidup.
“Mereka tidak memenuhi unsur pidana pembakaran itu. Sebab, mereka sudah melakukan praktek buka lahan dengan menebas, membuat sekat, dengan luasan kurang dari satu hektar, yang itu artinya tidak melanggar undang-undang. Lagi pula, lahan yang mereka buka bukan lagi tutupan hutan. Kawasan itu sudah berulang kali dijadikan tempat berladang.”
Dalam aksi unjuk rasa masyarakat adat di Kobar ini, massa menyampaikan enam pernyataan dan tuntutan. Beberapa di antaranya, menolak pandangan hakim PN Pangkalan Bun yang menyebut kearifan lokal harus didahului adanya penetapan masyarakat adat oleh pemerintah. Padahal, kearifan lokal sebagai pengalaman dan diintegrasikan dengan pemahaman terhadap budaya alam suatu tempat.
“Kemudian menegaskan bahwa pembukaan lahan oleh Gusti Maulidin dan Sarwani telah memenuhi kriteria kearifan lokal, mmaksimal 2 hektare, sekat bakar, varietas lokal, sebagaimana pengertian dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, pasal 69 ayat 2. Selanjutnya menuntut penghentian kriminalisasi terhadap seluruh peladang tradisional dalam kasus karhutla serta menuntut PN Pangkalan Bun membebaskan Gusti Maulidin dan Sarwani.”
Aksi massa di Kota Palangka Raya dan di Kabupaten Kobar ini sebelumnya didahului dengan aksi massa yang juga terjadi di Muara Teweh Kabupaten Barito Utara pada Jumat 6 Desember 2019 lalu. Di Muara Teweh, ratusan masyarakat adat dari kurang lebih 17 organisasi dan lembaga masyarakat sipil, termasuk karang taruna dan mahasiswa di Barito Utara, berunjuk rasa di Kantor DPRD Kabupaten Barito Utara.
Aksi massa yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas Bela Nasib Peladang Barito Utara ini digelar dilatari oleh terjadinya penangkapan 3 petani atau peladang karena melakukan pembakarang ladang dan kini tengah menjalani persidangan di PN Barito Utara. Massa Aliansi meminta agar pihak PN mengeluarkan atau menangguhkan tahanan 3 peladang dalam kasus pembakaran ladang.
Tak hanya para peladang di Kotawaringin Barat dan Barito Utara saja. Sejumlah peladang di kabupaten lain di Kalteng juga dikabarkan diamankan karena diduga sebagai pelaku pembakaran lahan. Di antaranya di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Murung Raya. Umumnya para peladang yang ditangkap di sejumlah daerah tersebut merupakan petani padi atau palawija.