LIPUTAN KHUSUS:

Konflik Lahan dengan Perkebunan Sawit di Lahat, 2 Petani Tewas


Penulis : Redaksi Betahita

Konflik lahan antara warga Desa Pagar Batu, Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, dengan perkebunan sawit PT Arta Prigel, menyebabkan 2 petani tewas.

Agraria

Rabu, 25 Maret 2020

Editor : Redaksi Betahita

BETAHITA.ID -  Konflik lahan antara petani warga Desa Pagar Batu, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan (Sumsel) dengan perusahaan perkebunan PT Arta Prigel, Sawit Mas Group, berujung duka. Dua petani tewas dan dua lainnya luka parah akibat bentrok yang terjadi antara kelompok petani dan pihak keamanan perusahaan, Sabtu, 21 Maret 2020.

Baca juga: Buntut Sengketa Lahan dengan Perkebunan, Warga Penyang Dituding Curi Sawit

Konflik ini dipicu oleh penggarapan tanah warga oleh pihak PT Artha yang menimbulkan perlawanan petani. Pada Sabtu (21/3/2020), puluhan petani yang menolak tanahnya digarap oleh pihak perusahaan mencoba menghalangi aktivitas perusahaan hingga berujung bentrokan fisik di antara kedua pihak.

Akibatnya, dua orang petani, yakni Suryadi (40) dan Putra Bakti (35) tewas di tempat. Sementara dua lainnya, Sumarlin (38) dan Lion Agustin (35) mengalami luka parah akibat bacokan senjata tajam.

Tangkapan layar video konflik lahan warga Desa Pagar Batu, Kabupaten Lahat dengan PT Arta Prigel. Video diambil sebelum peristiwa berdarah menewaskan dua warga desa terjadi, Sabtu, 21 Maret 2020 lalu./Sumber: Istimewa

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Komite Reforma Agraria Sumatra Selatan (KRASS),  lahan yang disengketakan dalam konflik ini seluas 180,36 hektare berlokasi di Desa Pagar Batu, Kecamatan Pulai Pinang, Lahat.

Sebelum digarap oleh PT Arta Prigel, lahan itu sejak lama digarap dan dimanfaatkan oleh masyarakat,  untuk menamam karet, sayuran, ubi, dan jagung. Sebagian dari lahan tersebut juga berupa hutan yang dianggap sebagai milik masyarakat Desa Pagar Batu.

Riwayat Konflik

Sekretaris Jenderal  KRASS, Dedek Chaniago mengatakan, riwayat konflik ini bermula ketika pada 1993 PT Arta Prigel mendapat izin lokasi untuk pembukaan perkebunan sawit. Hal itu diikuti dengan pembukaan lahan yang dilakukan tanpa didahului dengan pemberian ganti rugi kepada para pemilik lahan. Proses ganti rugi baru dilakukan setelah tanaman warga  dibabat.

Kemudian pada 1994, PT Arta Prigel mulai melakukan penanaman di lahan itu. Warga tak dapat melakukan perlawanan dikarenakan terdapat banyak aparat yang berjaga di lokasi penanaman.

“Baru setelah rezim Orde Baru tumbang, masyarakat kembali melakukan perlawanan dan memperjuangkan tanahnya yang digarap perusahaan,” kata Dedek Chaniago, Selasa (24/3/2020).

Seperti pada 2018, kata Dedek, kaum muda di Desa Pagar Batu mendirikan Gerakan Tani Pagar Batu dan mulai mengadukan persoalan lahan di desanya kepada pihak pemerintah setempat, bahkan pusat. Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil.

Kemudian pada 2019, masyarakat desa melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur Sumsel. Hasilnya Gubernur meminta kepada Bupati Lahat untuk segera menyelesaikan konflik lahan warga Desa Pagar Batu dengan PT Arta Prigel.

Aksi unjuk rasa warga dilanjutkan di Lahat, yang dijawab oleh Bupati dengan membuat Tim 9 untuk menyelesaikan konflik lahan itu. Namun, proses penyelesaian konflik ini terhenti di tahap verifikasi lahan dan belum ada tindak lanjutnya lagi.

Tidak adanya tindak lanjut penyelesaian konflik ini mendorong warga Desa Pagar Batu mengambil inisiatif untuk menguasai lahan sengketa. Dengan maksud agar pihak perusahaan menghormati bahwa kasus konflik ini sedang ditangani oleh pemerintah daerah, sehingga diharapkan untuk menghentikan aktivias lahan yang disengketakan.

“Kemudian Kanwil BPN Provinsi Sumsel mengambil alih kasus ini, dengan  menghadirkan kedua belah pihak. Telah dua kali rapat. Di rapat kedua Bupati Lahat datang langsung. Hasilnya Bupati akan memanggil pihak perusahaan dengan meminta agar perusahaan memberikan lahan 180,36 hektare yang disengketakan menjadi kebun plasma,” kata Dedek Chaniago.

Penyelesaian oleh Pemda Tak Buahkan Hasil

Pada 1 Maret 2020, kata Dedek, Bupati Lahat memanggil pihak perusahaan dengan melibatkan pihak terkait. Akan tetapi pihak perusahaan tetap tidak bersedia memberikan lahan 180.36 hektare yang masuk dalam HGU dengan luasan total 2.000 hektare.

Hal tersebut membuat warga kembali menguasai lahan. Tercatat dalam beberapa kesempatan pihak perusahaan dengan didampingi aparat kepolisian mencoba mengusir warga yang berjaga di lahan sengketa. Puncaknya pada 21 Maret 2020, pihak keamanan perusahaan yang didampingi aparat kepolisian kembali mendatangi dan mengusir warga.

Namun puluhan warga yang berjaga di lokasi lahan sengketa tidak mau mundur. Dengan alasan kasus sengketa lahan ini masih dalam proses penyelesaian yang ditangani oleh pemerintah daerah. Sebaliknya, pihak warga meminta agar pihak keamanan perusahaan dan aparat untuk mundur, demi menghindari tidak terjadi bentrok fisik.

Awalnya pihak perusahaan  bersedia mundur. Namun setelah mundur sekitar 10 meter pihak perusahaan turun dari mobil dan memanas-manasi massa. Beberapa warga terpancing hingga bentrok fisik antara beberapa orang dari pihak perusahaan dan warga tak terhindarkan.

Terpisah, Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Agraria (KPA), Benni Wijaya mengaku sangat prihatin atas konflik lahan berujung jatuhnya korban jiwa di Lahat ini. Menurutnya, penyerangan terhadap petani itu merupakan tindakan kejahatan luar biasa dan tidak berperikemanusiaan yang dilakukan perusahaan sawit dan aparat negara.

“Mengenai situasi konflik, kami melihat peristiwa ini adalah kegagalan pemerintah dalam menangani konflik agraria di Indonesia. Padahal penyelesaikan konflik agraria dam reforma agraria merupakan salah satu program prioritas pemerintah. Namun, dari tahun ke tahun, konflik agraria melahirkan korban jiwa terus terjadi,” kata Dedek Chaniago, Selasa (24/3/2020).

Situasi ini, masih kata Dedek, terjadi karna pemerintah memang tidak mengutamakan penyelesaian konflik agraria. Salah satunya yang terjadi antara perusahaan perkebunan sawit dan masyarakat. Padahal justru isu konflik agraria inilah yang seharusnya disasar oleh pemerintah.

“Dalam catatan kami, letusan konflik agraria di sektor perkebunan selalu tinggi dalam lima tahun terakhir. Ini menandakan sektor atau perusahaan perkebunan menjadi biang terbesar dari masalah konflik agraria di Indonesia.”

Selain itu, pemerintah masih saja mengedepankan kekerasan dalam penanganan konflik agraria, seperti melibatkan aparat keamanan. Hal inilah yang justru selalu berujung pada lahirnya korban di pihak masyarakat.

“Untuk tersangka, sudah ada ditetapkan satu orang. Namun, kami menuntut pemerintah atau aparat kepolisian tidak hanya berhenti di situ. Pemerintah harus mengevaluasi PT Artha Prigel dan mencabut izin mereka. Karna dalam peristiwa ini, pihak perusahaanlah yang harus bertanggung jawab. Bukan semata dilimpahkan pada pelaku di lapangan.”