LIPUTAN KHUSUS:

Tanpa SVLK, Produk Kayu Indonesia Terancam Ditolak Pasar Dunia


Penulis : Kennial Laia

Ekspor produk kayu Indonesia terancam ditolak pasar internasional karena aturan baru yang mencabut syarat dokumen V-Legal.

Hutan

Kamis, 02 April 2020

Editor : Redaksi Betahita

BETAHITA.ID - Organisasi dari Uni Eropa, The European Forest Institute (EFI) menanggapi aturan baru yang membatalkan syarat dokumen legal ekspor kayu di Indonesia atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan tersebut melanggar perjanjian perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa.

Krystof Obidzinski, Forest Governance and Timber Legality Expert EFI, mengatakan “kecewa” dengan peraturan baru tersebut. Aturan itu dianggap sebagai pelanggaran kesepakatan kerja sama dengan Uni Eropa, dalam hal ini Indonesia menyediakan produk kayu legal di pasar internasional.

“Bila hingga 27 Mei tidak ada langkah yang meyakinkan bahwa masalah ini dapat teratasi, tidak menutup kemungkinan bahwa EU (European Union) akan maju dengan memberlakukan suspend (bagi Indonesia),” kata Obidzinski kepada wartawan, akhir pekan lalu.

Indonesia menyepakati perjanjian kerja sama sukarela dengan Uni Eropa pada 2013, melalui Forest Law Enforcement, Governance, dan Trade (FLEGT) Voluntary Partnership Government (VPA). FLEGT merupakan inisiatif yang melarang produk kayu ilegal di kontinen tersebut. Dengan perjanjian ini, semua produk kayu Indonesia yang dikirim ke Uni Eropa harus disertifikasi menggunakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Ilustrasi mebel/Foto: HIMKI

Pada 2016, Uni Eropa mengakui SVLK sepenuhnya sesuai dengan  FLEGT. Lisensi itu didapat setelah Indonesia menjamin kayu-kayu ekspor sepenuhnya menggunakan mekanisme SVLK. Sistem ini memungkinkan lacak balak hingga titik tebang. Perusahaan eksportir pun diwajibkan menyertakan dokumen V-Legal untuk produk kayunya. 

Namun, syarat legal kayu tersebut terancam batal usai Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 atau Permendag 15/2020. Menurut kementerian tersebut, ketentuan ini berlaku efektif pada 27 Mei mendatang.

Aturan ini diprotes koalisi masyarakat sipil karena dianggap menegasikan upaya satu dekade memberantas pembalakan liar. Dicabutnya dokumen V-Legal dikhawatirkan akan berimplikasi pada masuknya kayu ilegal ke dalam pasar.

Menurut Obidzinksi, Kementerian Perdagangan tidak memahami regulasi dagang kayu di dunia yang mewajibkan syarat dokumen legal. “Mereka pikir gampang saja dagang kayu ke EU (European Union) tanpa due dilligence,” ujarnya.

Obidzinki pun mendorong masyarakat sipil untuk mendesak pemerintah agar membatalkan aturan tersebut. “Idealnya, aturan ini dicabut,” katanya.

Michael Bucki, konselor perubahan iklim dan lingkungan Delegasi Eropa untuk Indonesia mengatakan, pihaknya telah mengirim surat resmi kepada otoritas Indonesia untuk minta penjelasan aturan baru tersebut.

“Sebab, (aturan itu) mungkin memiliki implikasi terhadap perjanjian FLEGT-VPA yang saat ini berjalan antara Indonesia Uni Eropa,” kata Bucki melalui surel kepada Betahita, Selasa, 31 Maret 2020.

“Langkah berikutnya akan diambil setelah konsultasi (dengan Indonesia),” kata Bucki.

Peraturan baru itu juga berpotensi menabrak sejumlah peraturan. Salah satunya adalah Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2014 tentang Pengesahan Persetujuan Kemitraan Sukarela antara Indonesia dan Uni Eropa. Aturan tersebut bersifat mengikat secara hukum bagi Indonesia dan Uni Eropa.

Direktur Media dan Komunikasi Auriga Syahrul Fitra mengatakan peraturan Kementerian Perdagangan itu telah melanggar perjanjian Indonesia dan Uni Eropa serta Perpres 2014.  

“Perjanjian itu berarti Indonesia harus berkomitmen terhadap sertifikasi SVLK untuk semua ekspor produk kayu, tidak hanya di EU, tapi juga kayu yang di perdagangan pada level domestik,” kata Syahrul.

“Aturan dari Menteri Perdagangan itu tidak menjadikan Perpres 2014 sebagai dasar pertimbangan. Padahal, kekuatan hukum Perpres lebih tinggi dari dari Permendag,” kata Syahrul.

Syahrul menambahkan, organisasi sipil di Indonesia telah melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk membatalkan aturan tersebut. Selain itu, pihaknya telah meminta Uni Eropa untuk meninjau ulang pemberian lisensi FLEGT Indonesia.

“Jika peraturan itu tetap berlaku, semua produk kayu Indonesia tidak bisa menggunakan bendera FLEGT,” terangnya.

Syahrul mengatakan, langkah tersebut akan merugikan industri kehutanan Indonesia dan menerbitkan kembali keraguan terhadap Indonesia. Selama 20 tahun lebih, ekspor kayu Indonesia didominasi oleh bersumber dari kayu ilegal, berjumlah 219 juta meter kubik antara 1991 dan 2014. Jumlah itu setara dengan lebih dari 2.3 juta hektare deforestasi. Dengan prediksi kerugian $6.5 juta - $9 miliar antara 2003 dan 2014.

Indonesia berhasil membangun kembali kepercayaan global terhadap legalitas ekspor kayunya dengan mengenalkan SVLK pada 2009. Dalam prosesnya, harga kayu keras tropis meningkat, seperti jati, meranti, dan ulin. Saat ini, seluruh kayu dari konsesi hutan alam maupun hutan tanaman bersertifikasi SVLK, meskipun sejumlah kayu ilegal masih masuk ke dalam rantai pasokan.

Pada 2013, nilai ekspor kayu Indonesia mencapai $6 miliar dan meningkat hampir dua kali lipat sebesar $11.6 miliar pada 2019. Dari angka tersebut, 9 persen di antaranya berasal dari pasar Uni Eropa. Menurut FLEGT Independent Market Monitoring (IMM), nilai ekspor furnitur kayu Indonesia ke Uni Eropa meningkat, walau volume impor dari kontinen itu menurun. 

Namun, seluruh pencapaian ini akan dihancurkan dengan mengakhiri persyaratan kayu legal, V-Legal, kata Syahrul. 

“Saat lisensi V-Legal dicabut, Uni Eropa tidak akan mempercayai legalitas ekspor kayu Indonesia,” ucapnya. “Industri mebel skala kecil dan menengah akan kesulitan menjual produk mereka," pungkasnya. 

Pendiri Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu PT Mandiri Mutu Lestari, Bambang Kusnaryono SuryoKusumo, mengatakan, Permendag 15/2020 cacat hukum.

“Aturan ini tidak jelas, karena mengatur soal perdagangan produk industri kehutanan tanpa melihat mekanisme SVLK yang sudah ada,” katanya.

Bambang meminta agar peraturan itu dicabut karena akan merugikan industri kayu. Selain itu, dia bilang aturan itu akan merusak reputasi kayu di Indonesia. “Pemerintah harus menjamin legalitas kayu,” katanya.

Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, pihaknya tidak melanggar kesepakatan VPA-FLEGT karena mekanisme V-Legal tetap berlaku di industri hulu. Menurutnya, produk di hilir akan tetap menggunakan bahan baku dengan sumber kayu yang terlacak.

“Produk di hilir tetap dijamin menggunakan bahan baku tertelusur,” kata Nurwan kepada Betahita melalui pesan teks, Selasa, 31 Maret 2020.

Dia menambahkan, pemerintah akan meyakinkan Uni Eropa produk kayu ekpor Indonesia tetap memiliki legalitas. “EU harus diyakinkan bahwa V-Legal tetap diberlakukan,” katanya.