LIPUTAN KHUSUS:

Walhi Kalsel: Karhutla di Lahan Gambut Disebabkan Perusahaan


Penulis : Gilang Helindro

Kami melihat gambut yang rusak memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk terbakar secara berulang, kerusakan itu diduga akibat aktivitas perusahaan

Karhutla

Minggu, 21 Juni 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Wahana Lingkungan Hidup Kalimantan Selatan menemukan bahwa kebakaran pada lahan gambut terjadi di lokasi yang menjadi areal milik perusahaan perkebunan. Hal ini terlihat dalam hasil pemantauan kebakaran hutan dan lahan (karhutla ) dan restorasi gambut di Kalimantan Selatan yang dilakukan selama 6 bulan sejak Oktober 2019 hingga Maret 2020.

Baca juga: (Persidangan Perkara Karhutla PT KS di Kalteng Tertunda Covid-19)

Manajer Kampanye Walhi Kalsel, Muhammad Jefry Raharja, mengatakan bahwa pemantauan ini dilatarbelakangi kejadian kebakaran terutama di lahan gambut yang terjadi berulang setiap tahunnya. Disampaikannya juga bahwa kebakaran terjadi karena gambut rusak akibat aktivitas pengeringan lahan oleh perusahaan sawit.

“Kami melihat gambut yang rusak memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk terbakar secara berulang, kerusakan itu diduga akibat aktivitas pengeringan lahan oleh perusahaan sawit yang memiliki konsesi di lahan gambut,” kata Jefry, yang biasa disapa Cecef, dalam keterangan resminya, Kamis, 18 Juni 2020.

Ilustrasi kebakaran hutan dan lahan di lahan gambut. Foto: Greenpeace Indonesia

Jefry menjelaskan perbandingan antara pengelolaan gambut oleh masyarakat dan perusahaan. “Masyarakat lokal mengelola gambut dengan kearifan lokal dan cara tradisonal yang mereka miliki, mereka menguasai lahan dalam jumlah kecil, beda dengan perusahaan sawit yang memakai tata kelola ekstraktif dan penguasaan lahan yang sangat luas oleh beberapa orang saja,” katanya.

Pemantauan Walhi mencakup seluruh Kalsel dan khususnya di ekosistem rawa gambut yang dibebani konsesi perkebunan sawit. Dipilih dua konsesi yang memenuhi kriteria pemantauan yaitu PT PAS dan PT SAM.

Adapun kriteria konsesi yang dipantau, pertama masuk dalam peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang menjadi prioritas restorasi gambut oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) dan ada program restorasi gambut.

Kedua, terdapat kejadian kebakaran berulang dan ketiga, adanya konflik tenurial atau konflik lahan dengan masyarakat. “Tentunya tata kelola ekstraktif ini akan memperburuk kondisi gambut dan meningkatkan potensi kebakaran lahan” tambahnya.

Secara administratif PT PAS berada di Kabupaten Tapin di wilayah Desa Buas Buas, Buas Buas Hilir, dan Sawaja. Sebagian PT SAM berada di Desa Baruh Jaya Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Wilayah inilah yang menjadi objek utama pemantauan.

Pemantauan karhutla menemukan adanya kecenderungan peningkatan jumlah titik panas dari Juli sampai September 2019 di wilayah Kalsel. Di Juli jumlah titik panas hanya pada kisaran 300 dan meningkat menjadi lebih dari 5000 titik panas di September. Pada September terhitung area gambut terbakar seluas 45.911,2 hektare.

Wilayah gambut yang paling banyak terbakar ialah di Kabupaten Tapin dan Hulu Sungai Selatan yakni 32,5 dan 43,2 persen dari total gambut terbakar di Kalsel. Menurut Jefry, hal ini berhubungan dengan banyaknya konsesi sawit di kedua kabupaten ini.

“Tapin dan HSS paling banyak konsesi sawit di lahan gambutnya, diduga kuat hal ini mempengaruhi peningkatan luas kebakaran lahan di keduanya,” ungkapnya.

Sementara itu, titik panas dan lahan terbakar di setiap perusahaan berjumlah 106 titik panas terpantau di wilayah konsesi PT PAS yang menyebabkan 1.972,2 hektare lahan terbakar, dan 39 titik api di konsesi PT SAM dengan luas area terbakar sebanyak 1.073,7 hektare. Kebakaran ini menurut Jefry berada di wilayah konsesi yang belum ditanami oleh perusahaan.

“Yang terbakar di perusahaan terjadi di wilayah yang belum ditanami, namun itu masih dalam konsesi mereka, tentu ini tanggung jawab mereka untuk menghentikan kebakaran, kalau tidak mampu, lebih baik lahan itu dikembalikan ke masyarakat agar dikelola dengan baik” katanya.

Pengembalian lahan sengketa kepada masyarakat sangat beralasan, menurut Jefry, karena di lahan-lahan masyarakat yang masuk dalam konsesi tidak ada kejadian kebakaran, dan juga, masyarakat perlu kepastian hukum dalam mengelola lahan.

“Di lahan masyarakat contohnya yang ada di dalam konsesi SAM malah tidak ada kebakaran, ini artinya masyarakat mengelola lahan lebih baik daripada perusahaan, sudah saatnya pemerintah mengeluarkan lahan pertanian masyarakat dari konsesi sawit, agar tidak ada lagi konflik,” unkapnya.

Senada dengan Jefry, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono atau Cak Kis mengatakan bahwa konflik perusahaan dengan masyarakat sudah terjadi sejak lama dan banyak merugikan masyarakat yang kehilangan lahan pertanian mereka. Namun, sampai saat ini belum ada penyelesaian. Meskipun sudah ada kebijakan pemerintah seperti Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria.

“Di Konsesi SAM dan PAS, penolakan masyarakat sudah terjadi sejak awal perusahaan datang, sehingga terjadi konflik. Sampai sekarang, konfik belum selesai dan kepastian lahan pertanian masyarakat yang dirampas masih belum jelas,” katanya.

Menurut Cak Kis Pemerintah harus segera turun tangan untuk mengembalikan lahan masyarakat agar komoditi pertanian lokal tidak ikut hilang.

“Pemerintah baik pusat maupun daerah harus segera turun tangan untuk menyelesaikan konflik argaria yang mengorbankan lahan pertanian masyarakat, karena masyarakat sejak nenek moyang sudah terbukti mampu mengelola lahan secara bijak, misalnya di Nagara, kita tidak mau kehilangan gumbili dan kacang nagara karena lahannya sudah jadi sawit,” ungkapnya.

Walhi Kalsel juga menemukan di dalam konsesi tidak ada infrastruktur pembasahan seperti yang ditentukan BRG. Yang ditemukan malah pompa pengeringan seperti di PT SAM. Meskipun upaya penanggulangan karhutla ada dalam dokumen perencanaan, namun faktanya konsesi masih terbakar dan tidak nampak infrastruktur pembasahan untuk mencegah gambut menjadi kering.

Selain itu, perusahaan tidak punya cukup personil untuk penanggulangan karhutla. Menurut keterangan warga yang diwawancarai tim pemantau, personil yang ada hanya diupah per hari untuk memadamkan api sesaat tanpa ada kontrak atau tim tetap.

Cecef kambali menyinggung faktor yang mempengaruhi terjadinya karhutla yaitu tata kelola air. Menurutnya perusahaan hanya melakukan penataan air di dalam konsesinya saja. Tidak ada tanggungjawab perusahaan terhadap wilayah di luar konsesi.

“Perusahaan hanya mementingkan tata air di dalam kebunnya, sementara di luar terjadi kekeringan yang menyebabkan kebakaran, ini terlihat di sekitar kanal dan tanggul pembatas perusahaan dengan lahan masyarakat, lahan masyarakat terbakar, sementara di dalam kebun tidak,” katanya.

Cecef menegaskan kesimpulan tentang kejadian kebakaran di dalam dan sekitar konsesi. Di dalam konsesi lahan terbakar karena perusahaan tidak punya infrastruktur pembasahan dan kurangnya personil pemadam. Di luar konsesi lahan terbakar kerena kekeringan yang juga diduga akibat drainase berlebih yang dipengaruhi aktivitas perusahaan.

Sementara itu Cak Kis menyimpulkan, kebakaran di dan sekitar konsesi masih terjadi karena pencegahan kebakaran tidak dilakukan dengan benar dan tidak sesuai dengan mandat restorasi gambut.

“Karhutla di wilayah perusahaan masih masif terjadi dan perusahaan juga belum maksimal melakukan pencegahan dan penanganan karhutla di wilayah gambut terutama terkait sarana dan prasarana” ujarnya.

Cak Kis juga menyinggung lemahnya penegakan hukum bagi perusahaan pembakar lahan. Ia juga menyatakan adanya ketimpangan penegakan hukum bagi masyarakat.

“Perusahaan yang terindikasi lahannya terbakar ratusan bahkan ribuan hektar sampai saat ini belum jelas penindakannya oleh aparat penegak hukum, sementara yang ditangkapi malah masyarakat yang mengelola lahan dalam jumlah kecil”.

Dalam konferensi pers itu, Cak Kis mengatakan desakannya dalam rekomendasi Walhi Kalsel untuk penanggulangan karhutla dan perbaikan restorasi gambut.

“Kami mendesak pemerintah dan perusahaan untuk serius mencegah agar tidak ada lagi karhutla di wilayah konsesi. Pemerintah harus serius untuk menyelesaikan konflik agraria dengan mengeluarkan lahan masyarakat yang masuk dalam konsesi perusahaan. Penegakan hukum harus berkeadilan dan transparan terutama terhadap konsesi yang masih terjadi karhutla,” katanya.