LIPUTAN KHUSUS:

Food Estate Kalteng Dikelola Kemenhan, Aktivis Mengkritik Jokowi


Penulis : Kennial Laia

Pegiat hutan dan gambut Indonesia mengkritik penunjukan Kementerian Pertahanan sebagai pengelola utama program food estate di Kalimantan Tengah.

Gambut

Kamis, 30 Juli 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Pegiat hutan dan kedaulatan pangan mengkritik penunjukan Kementerian Pertahanan untuk mengelola program lumbung pangan di Kalimantan Tengah. Pekerjaan itu seharusnya ditangani oleh Kementerian Pertanian. Sebelumnya, Presiden Jokowi menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk memimpin program tersebut. Food estate atau lumbung nasional disebut sebagai cadangan pusat pertanian pangan dan cadangan logistik negara. 

“Apa nyambungnya Menteri Pertahanan menangani program pertanian? Ini dari awal konsepnya sudah salah,” kata Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat Nikodemus Ale, Rabu, 29 Juli 2020, dalam diskusi virtual bertema Food Estate di Indonesia oleh Sawit Watch. 

Baca juga: Jokowi Buka Sawah di Lahan Gambut, Walhi: Ulang Kesalahan Orba

Nikodemus mengatakan, program pertanian merupakan tugas pokok dan fungsi dari Kementerian Pertanian. Seharusnya, ujar Nikodemus, program ini dimandatkan ke kementerian sesuai dengan basis ilmunya. 

Presiden Joko Widodo saat meninjau lokasi pengembangan food estate di Desa Bentuk Jaya, Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, awal Juli 2020. Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden.

Proyek food estate atau lumbung nasional ini masuk ke dalam Program Strategi Nasional (PSN) 2020-2024. Pemerintah berencana mengembangkan lahan seluas 600.000 hektare di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Pada 14 Juli 2020, Presiden Jokowi mengatakan, pemerintah akan merampungkan lahan seluas 30.000 hektare hingga akhir 2020.   

Pada 1990-an, lahan food estate tersebut merupakan kawasan "Sawah Sejuta Hektare" era Presiden Soehato. Pada 1999, program tersebut berhenti karena kerusakan lingkungan akibat pembangunan kanal di area gambut.  

Nikodemus khawatir, keterlibatan langsung tentara dalam pengembangan food estate di provinsi tersebut akan menimbulkan tekanan baru terhadap masyarakat. Contohnya, ketika ada masyarakat di sekitar area food estate yang menolak lahan mereka jadi lahan proyek.

“Saat ini terjadi, masyarakat akan berhadapan dengan aparat di bawah Kemenhan. Artinya, ekspansi dan eksploitasi kawasan kemungkinan besar membuka lahan baru dapat menyebabkan konflik dengan barisan militer,” ujar Nikodemus.

Direktur Save Our Borneo Safrudin Mahendara sepakat dengan pernyataan tersebut. Selain itu, pihaknya khawatir akan adanya pembukaan kawasan konsesi baru di area cetak sawah yang dicanangkan pemerintah itu.

“Kami khawatir proyek food estate ini diiringi dengan pembukaan kawasan konsesi baru, bukan hanya peningkatan produksi (pangan). Kekhawatirkan kami inilah yang nantinya membutuhkan pengamanan ekstra,” kata Safrudin.

Safrudin melanjutkan, keterlibatan aparat dalam program pangan bukan hal baru di Indonesia. Proyek pengembangan satu juta hektare lahan gambut (PLG) di Kalimantan Tengah pada 1990 adalah salah satu contohnya.

“Saat itu tentara dihadirkan untuk mengamankan korporasi yang mendapat proyek di sana,” katanya.

Baca Juga: Aktivis: Sawah Baru di Gambut Bukan Solusi Krisis Pangan 

Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, Pastor Anselmus Amo, yang giat dalam advokasi hutan dan pangan di Tanah Papua khawatir pengamanan ekstra itu untuk melindungi investor.

“Kalau penunjukannya itu nantinya untuk mengamankan investasi untuk apa? Saya akan apresiasi kalau tentara yang kerja itu untuk menjaga masyarakat,” ujarnya.

Nikodemus khawatir, program lumbung pangan milik pemerintah gagal bila pengelolaannya salah. Program cetak sawah membutuhkan analisis kelayakan, sistem irigasi,  dan penyuluhan bagi masyarakat, katanya. 

“Disiplin ilmu itu ada di tangan Kementerian Pertanian,” katanya.