LIPUTAN KHUSUS:

Warga Masyarakat Adat Kinipan Ditangkap, Kriminalisasi?


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Penangkapan masyarakat adat Kinipan ini dinilai sebagai upaya kriminalisasi membungkam perjuangan masyarakat Kinipan melawan ekspansi perkebunan PT SML

Hukum

Kamis, 27 Agustus 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Dalam rentang waktu satu bulan terakhir, beberapa anggota masyarakat adat Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah ditangkap. Koalisi Keadilan untuk Kinipan menganggap penangkapan masyarakat adat Kinipan ini adalah upaya kriminalisasi membungkam perjuangan masyarakat adat Kinipan dalam perlawanan terhadap ekspansi perkebunan PT Sawit Mandiri Lestari (SML).

Rabu (26/8/2020) siang, pasukan kepolisian yang di antaranya berseragam hitam, lengkap dengan rompi, helm dan senjata laras panjang, dilaporkan menangkap paksa Effendi Buhing, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan di rumahnya di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau.

Dari video penangkapan yang beredar, Effendi Buhing sempat menolak dirinya ditangkap. Karena menurut Effendi, penangkapan tersebut tidak jelas alasan dan persoalannya. Namun demikian, pihak polisi tetap memaksa menangkap dirinya.

Effendi terlihat diseret paksa oleh sejumlah personel kepolisian dari rumahnya menuju mobil berwarna hitam yang sudah disiapkan. Di dekat mobil tersebut, juga terlihat polisi berseragam warna hitam dan bersenjata api laras panjang. Penangkapan Effendi ini diiringi suara histeris warga dan keluarganya. Sejauh ini belum diketahui persoalan apa yang menyebabkan Effendi Buhing ditangkap.

Tangkapan layar video amatir penangkapan Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Effendi Buhing, oleh petugas kepolisian, yang terjadi pada Rabu (26/8/2020).

Penangkapan Effendi ini menuai tanggapan keras dari Koalisi Keadilan untuk Kinipan. Koalisi yang di antaranya termasuk Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng dan Save Our Borneo ini menyatakan sikap. Pertama, mengecam keras tindakkan represif aparat Kepolisian dari Polda Kalteng atas penangkapan Effendi Buhing di rumahnya pada Rabu, 26 Agustus 2020.

Koalisi juga mendesak Kapolda Kalteng segera membebaskan Effendi Buhing dan 5 warga Komunitas Adat Laman Kinipan lainnya yang telah ditangkap sebelumnya. Selanjutnya, Koalisi juga meminta agar upaya kriminalisasi terhadap tetua, tokoh, masyarakat adat dan pejuang lingkungan yang berjuang mempertahankan hak, hutan, wilayah adat dan ruang hidup mereka dari ancaman alih fungsi kawasan oleh PT SML dihentikan.

"Mendesak agar pemerintah melakukan evaluasi terhadap izin PT Sawit Mandiri Lestari yang beroperasi di wilayah adat Kinipan," kata Direktur Walhi Kalteng, Dimas N. Hartono, Rabu (26/8/2020).

Dimas mengatakan, pihaknya telah menyiapkan pendamping hukum untuk Effendi Buhing. Saat ini pendamping hukum yang ditunjuk tengah melakukan komunikasi dengan pihak kepolian terkait penangkapan Effendi.

Menurut Dimas, penangkapan Effendi, Riswan dan 4 warga Kinipan lainnya ini merupakan salah satu upaya kriminalisasi, agar masyarakat tidak melakukan penolakan terhadap kehadiran PT SML.

"Kita berharap polisi tidak sebatas melihat sisi ini saja. Tapi akar masalahnya ini yang harus dilihat. Masyarakat berupaya melindungi hak mereka, melindungi peninggalan nenek moyang mereka agar tidak dirusak atau dihilangkan oleh perusahaan. Apalagi kita ketahui bersama di lokasi tersebut potensi ulinnya masih sangat besar," kata Dimas.

Dimas mengatakan, berdasarkan catatan Walhi Kalteng, sejak 2005 hingga 2018 terdapat 345 konflik antara masyarakat dengan perkebunan kelapa sawit. Semua konflik tersebut rentan terjadinya kriminalisasi dan penangkapan terkait penolakan investasi yang ada di Kalteng.

"Kenapa ini bisa terjadi? Itu yang harus dilihat lebih mendalam. Kenapa masyarakat melakukan penolakan-penolakan. Karena hak mereka tidak diakui. Khususnya terkait di Kinipan itu sendiri adalah hak mereka dalam hal mengelola wilayah adatnya sendiri secara mandiri."

Sebelum Effendi Buhing ditangkap, ada 5 warga Kinipan lainnya yang juga ditangkap dan ditahan Polda Kalteng. Yakni Riswan, Desem, Yusa, Teki dan Embang. Mereka ditangkap dan ditahan di waktu yang berbeda.

Riswan ditangkap pihak Polda Kalteng satu hari menjelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75, 16 Agustus 2020. Riswan dituduh mencuri alat pemotong kayu atau chainsaw yang digunakan para penebang ulin di areal perkebunan sawit PT SML.

Sedangkan Desem, Yusa, Teki dan Embang, dibawa ke Polda Kalteng beberapa pekan sebelum Riswan ditangkap. Kala itu keempatnya dibawa untuk dimintai keterangan. Namun belakangan, beberapa dari mereka ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polda Kalteng dengan tuduhan yang sama dengan tuduhan yang dialamatkan kepada Riswan. Yakni dugaan tindak pidana pencurian dengan kekerasan, Pasal 365 KUHPidana.

Riswan (berpakaian merah) saat dijenguk oleh Gad Dali, ayahnya yang datang dari Desa Kinipan Kabupaeten Lamandau, di Polda Kalteng, Palangka Raya, 24 Agustus 2020 kemarin/Foto: Koalisi Keadilan untuk Kinipan.

Kasus Riswan

Terkait kasus Riswan, Ketua AMAN Kalteng, Ferdi Kurinianto dalam konferensi pers yang digelar pada Senin (24/8/2020) menjelaskan, Riswan ditangkap 3 pekan setelah mediasi antara komunitas adat Kinipan dengan PT SML gagal dilaksanakan di Kantor Camat Batang Kawa di Desa Kinipan, atau 2 bulan sejak kegiatan yang dituduhkan kepadanya.

Riswan yang sehari-hari bekerja sebagai Kasi Pemerintah Desa Kinipan ini ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik reserse kriminal umum Polda Kalteng dengan tuduhan tindak pidana pencurian dengan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 365 KUHP.

Tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dituduhkan kepada Riswan tersebut merujuk pada kejadian 23 Juni 2020. Pada saat itu, warga Kinipan tengah berjaga di hulu Sungai Toin, untuk mempertahankan hutan adatnya, lalu mendengar suara mesin chain saw yang menjadi tanda masih adanya aktivitas penebangan dan pemotongan kayu ulin oleh para pekerja PT SML.

Riswan dan kawan-kawan, lanjut Ferdi, kemudian mendatangi dan menghentikan aktivitas tersebut. Sementera satu hari sebelumnya (22/6/2020) warga Komunitas Adat Kinipan berupaya menghentikan alat berat PT SML yang hendak masuk melakukan land clearing dan membabat sisa hutan Kinipan yang bahkan saat ini sudah masuk di areal bekas perladangan warga.

Padahal pada 22 Juni 2020 itu pula telah ada kesepakatan secara lisan antara perwakilan Humas Perusahaan dengan warga bahwa tidak ada lagi aktivitas lanjutan sementara menunggu perundingan pada 29 Juni 2020 di kantor Camat Batang Kawa.

"Jadi pada tanggal 22 Juni itu ada pertemuan antara warga dengan pihak perusahan di hutan. Ada lebih 50-an orang dari pihak perusahaan. Ada kesepakatan sebenarnya, bahwa tidak ada lagi pekerjaan selama menunggu kesepakatan musyarawah pada tanggal 29 Juni. Tapi nyatanya pada tanggal 23 Juni perusahaan bekerja. Begitulah yang akhirnya memunculkan respon dari warga untuk menahan mesin (chain saw) tersebut," ungkap Ferdi, Senin (24/8/2020).

Ferdi mengatakan, sejak 2012, Kinipan selalu menolak hadirnya investasi sawit di wilayah adat mereka. Pihak pemerintah desa dan tetua adat tidak pernah membubuhkan tanda tangan persetujuan untuk masuknya perusahaan perkebunan sawit skala besar di wilayah adatnya.

Penolakan masyarakat adat Kinipan tersebut kemudian menjadi konflik yang memanas dengan PT SML, terutama sejak perusahaan melakukan kegiatan land clearing dan pembabatan hutan pada awal 2018. Permintaan dan desakan warga Kinipan agar PT SML menghentikan aktivitas land clearing dan pemotongan kayu ulin, tak juga berhenti.

"Padahal warga Kinipan telah melakukan berbagai upaya untuk mencari keadilan. Mulai dari Pemerintah Kabupaten Lamandau dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Komnas HAM, Kementerian ATR/BPN, KemenLHK, hingga 2 kali melakukan mediasi di Kantor Staf Presiden (KSP) di Jakarta. Namun upaya mencari keadilan atas sumber daya alam dan hak-hak mereka tak kunjung didapat."

Penangkapan dan penahanan warga Kinipan akhir-akhir ini, kata Ferdi, memperlihatkan watak otoritarian dan arogansi.

"Koalisi mengupayakan proses penangguhan penahanan kepada Riswan dengan dasar bahwa Riswan memiliki riwayat kesehatan, wasir yang cukup serius, sehingga dengan adanya penangguhan penahanan ini Riswan dapat menjalani proses perawatan untuk kesembuhan penyakitnya. Penangguhan penahanan ini akan memberi ruang bagi Riswan dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai perangkat Desa Kinipan," kata Ferdi.

Koalisi juga menyatakan, Komunitas Adat Kinipan merupakan pejuang, pahlawan lingkungan dan budaya yang berusaha untuk mempertahankan haknya dari upaya perampasan dan penghancuran oleh korporasi dan modal. Oleh sebab itu Negara semestinya melakukan upaya perlindungan bagi warga Kinipan dan memastikan terciptanya rasa aman bagi masyarakat adat Kinipan.

"Bukan sebaliknya malah melakukan tindakan-tindakan represif dan intimidatif atas perjuangan warga tersebut."

Koalisi juga meminta agar pemerintah harus segera menyelesaikan konflik Kinipan dengan PT SML melalui mekanisme yang sesuai dengan konteks masyarakat adat Laman Kinipan. Adil, jujur, terbuka serta mengedepankan asas sebagaimana yang tertuang dalam Pancasila.

Kemudian, pemerintah harus segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dan Raperda Masyarakat Adat Kalimantan Tengah sebagai jaminan untuk memastikan masyarakat adat dan hak-haknya sebagai subjek hukum terlindungi secara konstitusional.

"Penangkapan Riswan bukan hanya bersifat individual, tapi ini adalah kasus kolektif komunitas adat Laman Kinipan yang dilatarbelakangi oleh konflik tenurial yang tak kunjung selesai antara komunitas adat laman Kinipan dengan PT SML."

Terkait 4 warga Kinipan lain yang juga ditahan Polda. Ferdi menjelaskan, sejauh ini pendampingan hukum terhadap keempat warga tersebut ditangani oleh Fordayak. Karena keempat warga tersebut adalah anggota pasukan Motanoi yang merupakan bagian dari Fordayak. Namun berdasarkan informasi yang didapat, beberapa di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Kalteng.

Parlin Bayu Hutabarat, salah seorang kuasa hukum Riswan meminta penangguhan penahanan terhadap Riswan dapat segera dikabulkan. Karena apa yang dituduhkan bukanlah kejahatan luar biasa.

"Kami melihat ini bukan extra ordinary crime. Ini bagian dari perjuangan. Riswan meyakini apa yang dilakukan itu adalah mempertahankan hutan adat. Terlepas itu pendirian penyidik seperti apa jaksa seperti apa, tapi pendirian kami apa yang dilakukan klien kami adalah mempertahankan hutan adat," kata Parlin, Senin (24/8/2020).

Kabid Humas Polda Kalteng, Kombes Pol Hendra Rochmawan membenarkan kabar tentang penangkapan Effendi Buhing tersebut. Hendra mengatakan, penangkapan ini berawal dari  3 laporan PT SML.

"Pada prinsipnya Polda Kalteng profesional dalam menanggapi laporan polisi tersebut dengan bukti permulaan yang cukup sehingga perlu dilaksanakan penangkapan. Pada prinsipnya semua pihak mempunyai hak yang sama di muka hukum. Nanti dari penangkapan ini tentu ada pemeriksaan dan penyelidikan ini dapat memberi ruang jawab atas laporan tersebut," kata Kombes Pol Hendra Rochmawan, Rabu (26/8/2020).

Di kesempatan sebelumnya, saat ditanya tentang peluang penangguhan penahanan Riswan yang diajukan oleh pihak kuasa hukum Riswan, Hendra hanya mengatakan, pihaknya masih melakukan proses penyidikan terlebih dahulu.

Humas PT SML, Wendi, saat diminta konfrmasi, menyatakan tidak bersedia memberikan keterangan melalui sambungan telepon.