LIPUTAN KHUSUS:
Dua Nyawa Butogeni
Penulis : Kennial Laia
Selama setahun, media lintas negara dan kelompok masyarakat sipil berkolaborasi untuk mengungkap dugaan keterlibatan korporasi dalam karhutla 2019.
Karhutla
Selasa, 15 September 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Sesil Maharani dan Hafid Darma masih terjaga di depan laptop mereka, Kamis, 3 September 2020. Dua anggota staf Direktorat Data Auriga Nusantara itu masih mengoperasikan Quantum Geographic Information System. Anggota lain tim Butogeni meriung bersama mereka, mencermati berkas-berkas hasil kerja enam bulan terakhir yang tersimpan di perangkat lunak untuk analisis data spasial tersebut.
Butogeni, yang berarti raksasa api, merupakan nama grup percakapan WhatsApp tim kolaborasi peliputan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2019. Isinya wartawan Tempo, Betahita, dan Mongabay, serta sejumlah peneliti di Direktorat Data Auriga Nusantara. Berkas kerja tersebut, dari hasil analisis terhadap citra satelit Sentinel-2 sampai laporan pengecekan lapangan, kudu dicek ulang dinihari itu untuk memastikan surat konfirmasi yang akan dikirim ke tiga perusahaan memuat lengkap temuan tim kolaborasi.
Baca Juga: Jejak Korporasi Penyulut Api
Tiga korporasi itu adalah PT Bumi Mekar Hijau, PT Kalimantan Prima Agro Mandiri, dan PT Kumai Sentosa. Kolaborasi peliputan yang dimulai pada Januari lalu oleh media dan kelompok masyarakat sipil menemukan indikasi pembukaan lahan yang dilakukan tiga perusahaan kehutanan dan perkebunan tersebut diduga turut memicu kebakaran hebat di area sekitar konsesi mereka tahun lalu. Berbeda dengan Kumai Sentosa, Bumi Mekar Hijau (APP Sinar Mas Group) dan Kalimantan Prima Agro Mandiri (IOI Group) sejauh ini belum pernah disebutkan oleh penegak hukum terlibat dalam kasus karhutla 2019.
Kolaborasi ini sebenarnya digagas setahun lalu, ketika Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Wahyu Dhyatmika bertemu dengan Aidila Razak dan Andrew Ong dalam Konferensi Global Jurnalisme Investigasi Ke-11 di Hamburg, Jerman, akhir September 2019. Bulan itu, karhutla sedang galak-galaknya di Indonesia—belakangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghitung luas area yang terbakar sepanjang tahun mencapai 1,65 juta hektare.
Aidila dan Andrew, editor laporan khusus dan editor pemberitaan Malaysiakini—portal berita asal Malaysia—mengajak Wahyu bekerja sama mengulik gelagat api di perkebunan sawit yang terafiliasi dengan perusahaan Malaysia. “Saat itu kami masing-masing punya data awal. Dan ini adalah isu yang menarik karena banyak perusahaan sawit dari Malaysia beroperasi di Indonesia,” kata Wahyu, Selasa, 8 September 2020.
Syahdan, obrolan di Hamburg bergulir hingga antara Jakarta dan Kuala Lumpur via aplikasi percakapan WhatsApp. Pertukaran data awal mulai dilakukan. Pembahasan awal ini tak melulu lempeng. Tim Tempo di Jakarta, misalnya, ingin agar sudut pandang peliputan diperluas, tak hanya menengok dugaan keterlibatan korporasi Malaysia, tapi juga Indonesia. Pun lingkup industri yang disorot, bukan hanya sektor perkebunan, melainkan juga kehutanan. “Perbedaan ini hanya soal kedekatan masing-masing media dengan pembacanya,” tutur Agoeng Wijaya, redaktur pelaksana desk ekonomi majalah Tempo, yang mendapat tugas menjalankan proyek kolaborasi tersebut.
Tempo dan Malaysiakini akhirnya sepakat meneruskan kolaborasi investigasi dengan fokus berbeda, tapi tetap berbagi data dan informasi. Reporter Malaysiakini, Koh Jun Lin, yang dikenal mahir mengolah data, melanjutkan risetnya terhadap perusahaan sawit Malaysia yang menjadi anggota Forum Minyak Sawit Berkelanjutan (RSPO). “Peta RSPO didasarkan pada apa yang diklaim anggotanya sebagai tanah mereka. Ini memberikan otoritas pada kumpulan data dan kesempatan meminta pertanggungjawaban perusahaan,” ujar Koh Jun Lin.
Sedangkan Tempo membentuk tim peliputan di Jakarta melibatkan Betahita dan Mongabay. Tim media ini menggandeng kelompok masyarakat sipil pemantau tata kelola sumber daya alam, Auriga Nusantara, yang kemudian tergabung dalam Butogeni. Menurut Komang—panggilan Wahyu Dhyatmika—kerja sama media dan kelompok masyarakat sipil (CSO) sangat efektif. “Karena media jadi punya tambahan kapasitas dan metodologi, hal yang tidak bisa dilakukan sendiri,” katanya. “Sebaliknya, CSO bisa lebih kredibel dan faktual dalam melaporkan temuannya.”
Kolaborasi media dan kelompok masyarakat sipil sebenarnya bukan sesuatu yang baru. IndonesiaLeaks dan Investigasi Bersama Tempo, dua program kolaborasi peliputan yang dikembangkan Tempo bersama sejumlah media massa, menerapkan pola serupa. Bedanya, dalam kerja sama peliputan karhutla ini, wartawan dan aktivis membangun metodologi serta menggali data secara bersama-sama sedari awal. “Media dan CSO membangun rencana kerja dari awal. Metode dan penelusuran datanya pun dilakukan bersama-sama dari nol,” ujar Direktur Data Auriga Nusantara Dedy Sukmara.
***
Metode itu tak direka-reka. Sejumlah putusan pengadilan dalam perkara kebakaran hutan dan lahan menunjukkan titik panas (hotspot) menjadi instrumen pembuktian dugaan keterlibatan perusahaan. Apalagi jika titik panas bisa diidentifikasi pertama kali muncul di area konsesi. “Jika hotspot pertama itu muncul bersamaan di luar dan di dalam konsesi perusahaan, harus dicek jamnya, lalu jaraknya,” ucap guru besar Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, Bambang Hero Saharjo. “Kalau jaraknya jauh, jelas itu api yang terpisah.”
Tim Jakarta memang berkonsultasi dengan Bambang Hero, yang populer sebagai ahli forensik karhutla. Selain bertemu saat menyiapkan metodologi, kami beberapa kali mendatanginya untuk meminta pendapat tentang berbagai temuan.
Jadilah tim Butogeni menampalkan data sebaran titik panas sepanjang tahun lalu pada data konsesi perusahaan. Fokusnya ke Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Keempatnya berurutan menjadi penyumbang area terbakar paling luas tahun lalu. Secara acak kami memilih beberapa lokasi yang punya kerumunan titik panas terbanyak. Pada tahap awal ini, kami menandai setidaknya 15 perusahaan sebagai calon target peliputan. Hipotesisnya, perusahaan punya andil dalam meluasnya kebakaran di area sekitar konsesi mereka.
Untuk membuktikan hipotesis itu, kami menganalisis penampakan lahan di konsesi perusahaan. Citra satelit Sentinel-2 dipakai untuk mencari gejala fisik kebakaran, seperti kobaran api, kepulan asap, dan tanah gosong, pada periode hotspot bermunculan. Pengamatan berlanjut dengan memundurkan dan memajukan tanggal perekaman citra satelit untuk mengetahui apa yang terjadi di konsesi tersebut sebelum dan sesudah kebakaran. Hasilnya, terdapat kesamaan di lahan yang kami amati: penampakannya berubah, mengindikasikan adanya penyiapan area produksi baru sesaat sebelum api berkobar.
Lima konsesi di empat provinsi tadi akhirnya kami pilih untuk diverifikasi langsung di lapangan. Dua di antaranya adalah milik Bumi Mekar Hijau dan Kumai Sentosa. Tapi rencana yang disiapkan pada Maret lalu itu berantakan. Covid-19 datang diikuti kebijakan pembatasan sosial berskala besar. Biaya peliputan yang tinggi juga sempat membuat rangkaian peliputan ini tak berlanjut. Pandemi memukul dunia usaha, termasuk bisnis media.
Persetujuan proposal pembiayaan peliputan dari Pulitzer Center lewat program Rainforest Journalism Fund, Juni 2020, menjadi darah baru bagi proyek yang dua bulan mati suri tersebut. Pengecekan lapangan dan penggalian informasi dari masyarakat di sekitar konsesi berlanjut mengandalkan jurnalis daerah dari setiap media anggota kolaborasi.
Baca Juga: KLHK Menang Atas Pembakar Hutan, Sayang Baru di Atas Kertas
Kali ini, Koh Jun Lin dari Malaysiakini menambahkan hasil analisisnya terhadap konsesi perkebunan Malaysia. PT Kalimantan Prima Agro Mandiri paling potensial disorot di antara kejadian kebakaran di 31 perusahaan yang terafiliasi dengan grup sawit di negeri jiran. “Tanpa kolaborasi ini, kami tidak akan punya orang dan pengetahuan untuk menindaklanjuti citra satelit dengan pengecekan di lapangan,” tuturnya. “Groundtruthing memperkuat laporan kami dan memberikan lebih banyak konteks.”
Menurut Wahyu Dhyatmika, model kolaborasi ini menarik diteruskan terhadap isu-isu penting lain. “Kami harap jurnalisme bisa membantu pengambil kebijakan dalam melihat isu ini dengan lebih baik, serta menindaklanjuti dengan penegakan hukum dan perbaikan aturan,” katanya.
Lain Wahyu lain Dedy Sukmara. “Kami akhirnya sadar, tidak semua data yang selama ini kami anggap penting akan menarik didalami secara jurnalistik,” ujarnya. “Begitu pula sebaliknya.”