LIPUTAN KHUSUS:

Deforestasi, Mengoyak Perut dan Ingatan Masyarakat Adat Papua


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Bagi rakyat Papua, hutan adalah pasar raya. Semua hal yang dibutuhkan tersedia gratis.

Hutan

Selasa, 02 Februari 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - "Di sini di tempat ini, Tete Nene kami mengakhiri Perang Ngayu (berburu kepala) dengan suku lain, tempat perdamaian'. 'Di sini di tempat ini, dusun lama kami"

Kalimat itu menempel di ingatan Rassela Melinda, Peneliti Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, yang dalam beberapa tahun terakhir melakukan pendampingan kepada masyarakat adat di Tanah Papua. Hutan adalah segalanya bagi rakyat adat Papua.

Keterikatan antara masyarakat Papua dengan hutannya sangat kompleks. Bukan melulu cuma soal perut. Masih banyak hal lain, persis seperti perkataan pembuka tadi, hutan juga menyimpan memori sejarah bagi identitas masyarakat adat. Dengan mengasosiasikan dan menandai beberapa tempat dengan kejadian-kejadian lampau yang penting.

Rasela lantas mengutip ucapan lain. Menurutnya, salah seorang Mama -sebutan lain perempuan dewasa yang sudah berumah tangga,  di Tanah Papua, di Kampung Subur di Kabupaten Boven Digoel pernah berkata kepadanya, bahwa hutan adalah pasar raya bagi masyarakat adat. Semua hal yang dibutuhkan tersedia secara gratis, tinggal bagaimana menjaga, merawat dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.

Tampak dari ketinggian kondisi hutan yang dibabat untuk pembangunan perkebunan sawit di Papua./Foto: Yayasan Pusaka

Begitulah setidaknya makna hutan bagi masyarakat adat di Tanah Papua. “Hutan Papua dalam sistem tenurial mereka dimiliki secara komunal marga, tidak ada kepemilikan pribadi di atasnya, setiap anggota marga berhak mengakses sumber daya hutan," ujar Rassela, Selasa (2/2). Tidak hanya soal memiliki, dari hutan masyarakat adat Papua juga belajar berbagi.

Namun waktu lantas jumpalitan membawa perubahan. Hutan Papua kini mulai terancam. Penggundulan alias deforestasi bukan lagi ancaman, melainkan jadi sebuah kenyataan.

Rassela menuturkan, deforestasi berdampak sangat signifikan terhadap masyarakat adat di Tanah Papua. Terdapat sejumlah wilayah adat yang kini terancam deforestasi. Beberapa di antaranya seperti yang terjadi di beberapa kampung di Boven Digoel, seperti ada Suku Awyu dan orang Yeinan di Distrik Eligobel dan Muting, yang menjadi dampingan Yayasan Pusaka.

Ancaman deforestasi yang muncul akibat ekspansi pembukaan lahan skala besar oleh perusahaan besar swasta itu tentu saja mendapat penolakan dari masyarakat adat setempat.

Umumnya, perlawanan dilakukan dalam bentuk pemasangan Palang Adat dan salib untuk menandai wilayah adat, sekaligus untuk mencegah adanya proses pembongkaran hutan. Perlawanan tersebut beberapa di antaranya cukup efektif.

"Beberapa cukup efektif, bagaimanapun ketika salib dipasang, jarang ada yang berani membongkar, sekalipun mereka mempekerjakan orang dari luar, misalnya kontraktor. Tetap saja enggak ada yang berani. Siapa yang berani bongkar salib memangnya? Ada marga yang menolak melepaskan tanah adatnya dan sudah memasang salib. Yang dibuka (lahannya), yang bersedia saja."

Selain melakukan pemasangan Palang Adat dan Salib, ekspresi penolakan kehadiran perusahaan yang akan melakukan pembabatan hutan juga diwujudkan lewat aksi demonstrasi. Seperti yang beberapa kali dilakukan oleh Suku Awyu dan Gerakan Cinta Tanah Adat misalnya.

Kehadiran Perusahaan Ciptakan Konflik Marga

Kehadiran perusahaan besar swasta (PBS) di Tanah Papua sedikit banyak membawa dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat adat. Aktivitas pembukaan lahan oleh perusahaan yang berakibat pada gundulnya hutan atau deforestasi di wilayah adat telah memicu terjadinya konflik horizontal masyarakat adat.

Seperti yang terjadi di Kampung Anggai, di Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. Terdapat salah satu PBS di bidang perkebunan yang masuk ke kampung itu. Singkat cerita, perusahaan berhasil melakukan pembukaan lahan karena sebagian besar marga di kampung itu setuju perusahaan membangun perkebunan.

Namun belakangan, banyak konflik yang sifatnya horizontal terjadi pascaperusahaan masuk ke kampung itu. Persoalan batas wilayah adat antarmarga misalnya. Yang dulunya batas wilayah adat antarmarga bersifat cair dan tidak tertulis, kini malah menjadi objek konflik.

"Cerita soal tapal batas itukan turun temurun, sifatnya hanya dikuasai orang-orang tua. Ada yang keliru menceritakan tentang batas-batas sehingga ada konflik," kata Rassela.

Konflik lain, masuknya perusahaan juga mengakibatkan terbentuknya struktur-struktur baru yang kemudian menciptakan hierarki marga dan menimbulkan konflik. Struktur tersebut seperti kepala atau ketua marga dan koordinator marga.

"Nah struktur ini yang menciptakan gesekan-gesekan konflik. Ya koordinator marga itu apa, kan itu struktur baru yang mengadopsi struktur manajemen modern. Sifatnya koordinator ini perpanjangtanganan perusahaan yang mempermudah pelepasan tanah. Mengkoordinasi dan menggerakan masyarakat untuk melepas tanah adat."

Selain itu, ketua marga yang ada juga umumnya adalah orang-orang yang baru ditunjuk dan relatif masih muda. Yang bahkan di antaranya merasa kebingungan dengan perannya karena tiba-tiba memiliki pengaruh besar di marga masing-masing dan terkesan memiliki kuasa besar mengambil kebijakan atas nama marganya.

Meski sebagian besar marga di Kampung Anggai mendukung masuknya perusahaan. Namun ada beberapa marga yang keras menolak, atau enggan wilayah adat marganya digarap perusahaan. Salah satunya Marga Meanggi.

Rassela menceritakan, Albertus Meanggi, dari Marga Meanggi, berkali-kali menyatakan penolakannya melepaskan tanah adatnya, meski koordinator marga berulang kali pula membujuk untuk melepaskan tanah adat kepada perusahaan.

"Sampai kapanpun tidak akan saya kasih," kata Rassela menirukan Albertus Meanggi.

Alasan Albertus Meanggi menolak pinangan perusahaan melalui koordinator marga itu dikarenakan hutan adat merupakan sumber penghidupan keluarganya. Albertus Meanggi dan keluarga masih menerapkan pola hidup berburu, meramu dan masih sering tinggal di hutan, sehingga sangat mengadalkan tanah adatnya. Hidup dengan mengandalkan tanah adat yang diterapkan Albertus Meanggi itu bahkan bisa menghasilkan rupiah untuk membiayai pendidikan anak-anaknya.

"Mereka (Marga Meanggi) tidak mau. Dengan tegas tidak mau menyerahkan tanah, dan pasang salib di (tanah adat) marganya."

Diskriminasi Sosial Seiring Beraktivitasnya Perusahaan

Karena sebagian besar tanah adat milik marga-marga di Kampung Anggai sudah dibuka untuk perkebunan, sehingga warga di kampung kesulitan untuk mencari penghidupan, membuat warga memilih bekerja di perusahaan sebagai pekerja lapangan. Namun pekerjaan yang ada juga terbatas, lantaran tanaman sawit milik perusahaan belum panen.

"Tapi walaupun ada yang sudah bekerja tiga tahun, tapi mereka juga tidak ada yang diangkat jadi KHT (karyawan harian tetap), masih BHL (buruh harian lepas)."

Menurut Rassela, perlakuan negatif terhadap pekerja lokal yang sulit mendapatkan peningkatan status kerja itu umum terjadi di perkebunan-perkebunan sawit di Papua. Konon salah satu alasannya, adalah karena pekerja lokal dianggap tidak memenuhi syarat.

Perlakuan berbeda justru didapatkan para pekerja yang datang dari luar Tanah Papua. Pekerja dari luar Tanah Papua dengan mudah mendapatkan peningkatan status kerja.

Diskriminasi serupa juga terjadi dalam penerapan kebijakan program tanggung jawab sosial perusahaan kepada warga. Bagi marga yang tidak menyerahkan tanah adatnya kepada perusahaan, sangat dibatasi untuk mendapatkan hak yang sama dalam mendapatkan program tanggung jawab sosial perusahaan, termasuk hak untuk bisa bekerja di perusahaan.

Hal itu dialami oleh anggota Marga Meanggi. Rassela menuturkan, beberapa anggota Marga Meanggi merasa didiskriminasi saat bekerja di perusahaan, sehingga harus menyerah untuk bisa tetap bekerja di perusahaan. Alasannya, karena marganya tidak menyerahkan tanah adat kepada perusahaan.

Salah satu anak Albertus Meanggi, yakni Robertus Meanggi, yang awalnya menerima program bantuan beasiswa untuk menjalani pendidikan di perguruan tinggi di Merauke dari perusahaan, belakangan juga diketahui dikeluarkan dari daftar penerima beasiswa. Disinyalir hal itu terjadi karena Albertus dianggap memberi pengaruh buruk bagi perusahaan, sebab kerap bersikap kritis terhadap aktivitas perusahaan di kampungnya.

"Padahal semestinya program CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) itu berlaku untuk semua warga. Dampak itu tidak bisa dilihat per marga dong. Bila ada marga yang tidak menyerahkan tanahnya maka marga itu tidak terdampak? Ya tidak bisa begitu kan. Yang namanya deforestasi ya dampaknya sama ke semua orang."

Mandat Otonomi Khusus Saja Belumlah Cukup

Selama beberapa tahun belakangan, Yayasan Pusaka melakukan pendampingan terhadap masyarakat adat di beberapa daerah di Tanah Papua. Pendampingan dimaksud difokuskan dalam bentuk memberikan bantuan hukum, peningkatan kapasitas, misalnya soal pengetahuan tentang aturan-aturan, pemetaan partisipatif wilayah adat, memfasilitasi lobi dan diskusi dengan pengambil kebijakan, riset partisipatif dan kampanye.

Menurut Rassela, mandat otonomi khusus (otsus) sebenarnya adalah untuk melindungi, mengakui dan menghormati wilayah adat di Tanah Papua, bisa dilihat dari substansi pasal-pasalnya. Setiap investasi yang masuk harus mendapatkan persetujuan.

"Namun menurut kami itu belum cukup, pengakuan seperti itu setengah hati, masih abai terhadap konteks lokal di tingkat akar rumput. Masyarakat kadang tidak tahu menahu bahwa ada izin di atas tanah mereka misalnya, lalu perusahaan datang berkata bahwa mereka sudah dapat izin dan tinggal meminta persetujuan dari masyarakat untuk memulai aktivitas."

Hal tersebut, kata Rassela, mengandung logika terbalik. Pemilik sah tanah ulayat di Tanah Papua adalah masyarakat adat. Negara hadir justru baru belakangan, sehingga izin apapun itu yang dikeluarkan, harus pertama-tama bertanya dan meminta izin mereka, bukan menempatkan persetujuannya mereka di ujung proses. Sehingga ketidaktahuan itulah yang kadang membuat masyarakat adat sering berada pada situasi rumit perundingan atau proses mendapatkan persetujuan.

"Pengakuan itu harus sifatnya aktif, inventarisir wilayah adat dan keberadaan masyarakat adat. Dan dari sana dibuat komitmen jangan menerbitkan izin apapun sebelum berkonsultasi dengan masyarakat adat. Jangan tempatkan masyarakat hukum adat di ujung saja, tapi dari awal. Sebenarnya sudah ada perdasus, tapi syaratnya juga sangat rumit," tutup Rassela.