LIPUTAN KHUSUS:
Berani Bersuara, Perempuan Adat Jaga Hutan Papua
Penulis : Kennial Laia
Walau mendapat intimidasi, perempuan adat Wambon Kenemopte, Boven Digoel, Papua, terus melawan invasi perusahaan HTI yang hendak membabat hutan mereka.
Hutan
Senin, 08 Februari 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Sistem marga yang patrilineal kerap menyebabkan perempuan adat Tanah Papua dikecualikan dari warisan dan wewenang atas tanah. Padahal ketika hutan hilang, perempuan lah yang paling terkena dampaknya.
Namun, hal itu tak jadi status quo di Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Saat ini, perempuan dari masyarakat adat Wambon Kenemopte yang mendiami kampung Subur dan Aiwat turut aktif memperjuangkan hutan ulayatnya dari ancaman pembukaan lahan.
“Kami perempuan adat pertahankan hutan adat, supermarket kami. Di sana ada obat, makanan, pakaian, dan sembilan bahan pokok. Perusahaan tidak boleh masuk,” kata Valentina Wanopka.
Menurut laporan terbaru Yayasan Pusaka, hutan adat Wambon Kenemopte seluas 206.800 hektare terancam penggusuran untuk pembukaan konsesi hutan tanaman industri milik PT Merauke Rayon Jaya. Namun, masyarakat berkeras menolak karena sebelumnya telah mengalami hal serupa dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Bentuk penolakan masyarakat itu mulai dari upacara adat, lobi pemerintah, penjatuhan sanksi adat, pemalangan sasi adat, dan pemetaan wilayah adat. Dari aktivitas tersebut, kata Rasella, perempuan adatnya ikut terlibat termasuk saat musyawarah dan konsolidasi perempuan antar kampung.
“Dalam gerakan ini, perempuan adat sangat berani mengekspresikan perlawanan mereka secara terbuka,” kata Rasella dalam diskusi media, Rabu, 3 Februari 2021.
Menurut Rasella, hubungan perempuan adat dan hutan sangat erat. Perempuan adat banyak beraktivitas di dalam hutan, mulai dari mencari bahan kayu bakar, bahan makanan, dan obat-obatan ke hutan. Ketika hutan hilang, perempuan menjadi yang paling terdampak.
Namun, perlawanan perempuan masyarakat adat Wambon Kenemopte bukan tanpa hambatan. Rasella bilang, mereka kerap menerima intimidasi verbal dari pihak tertentu.
“Ada harapan di tangan perempuan Papua yang masih melawan,” pungkas Rasella.