LIPUTAN KHUSUS:
Walhi: Ekspansi Tambang Nikel Perparah Emisi Gas Rumah Kaca
Penulis : Kennial Laia
Walhi sebut ekspansi industri nikel di Indonesia dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca, berkebalikan dengan komitmen untuk turunkan emisi.
Tambang
Selasa, 23 Maret 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati mengatakan, ekspansi industri pertambangan nikel global, termasuk Indonesia, akan memperparah emisi gas rumah kaca. Hal itu karena proses produksinya masih menggunakan energi fosil.
Menurut Yaya, panggilannya, produksi nikel digenjot untuk memenuhi permintaan sebagai bahan baku baterai litium-ion untuk pasar domestik maupun internasional. Baterai litium-ion adalah komponen utama dari kendaraan listrik bertenaga baterai (KLBB).
“Hal ini yang menyebabkan berbagai rencana ekspansi industri pertambangan nikel untuk pembuatan baterai litium,” kata Yaya dalam diskusi virtual, Jumat lalu.
Kendaraan listrik bertenaga baterai naik pamor seiring perkembangan isu krisis iklim. Salah satu pemicunya adalah Kesepakatan Paris pada 2015. Pokok dari kesepakatan ini adalah menjaga ambang batas suhu bumi di bawah 2 derajat celcius sebelum Revolusi Industri dan menahan laju kenaikan suhu hingga 1.5 derajat celcius.
Salah satu upaya untuk menekan kenaikan suhu itu adalah komitmen negara-negara dunia untuk menekan emisi karbon tahunan. Melalui Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia berkomitmen untuk mengurangi 29% emisi tahunan dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan komunitas internasional.
Mobil listrik kemudian diklaim dapat menjadi alternatif kendaraan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca karena lebih ramah lingkungan. Menurut Yaya, industri otomotif merespons situasi tersebut dengan ‘bermigrasi’ ke kendaraan listrik. Dia menyebut, produsen mobil dunia seperti Toyota, BMW, Nissan, dan Tesla telah mulai berinvestasi di sektor tersebut.
Khusus di Indonesia, Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Presiden tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai dua tahun lalu. Melalui kebijakan ini, administrasi Jokowi mendorong industri mobil listrik di Indonesia. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Jokowi juga menyampaikan target Indonesia menjadi produsen baterai litium-ion. Saat ini negosiasi Indonesia sendiri memiliki cadangan nikel sebanyak 25 persen dan merupakan yang terbesar di dunia.
Dilansir dari CNN Indonesia, Kementerian Koodinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyebut Jokowi telah mengundang CEO Tesla Elon Musk untuk berinvestasi dan tengah melalui negosiasi awal tahun lalu.
Namun, menurut Yaya, industri mobil listrik tidak berkontribusi signifikan terhadap penurunan emisi karbon dioksida. Pasalnya, proses produksi nikel di negara seperti Indonesia masih bergantung pada sumber energi batu bara.
“Sehingga sebenarnya mobil listrik yang ditujukan mengurangi emisi, sebenarnya tidak menjawab persoalan yang ada,” jelasnya.
Pada 2018, Bloomberg melaporkan temuan Berryls Strategy Advisors, bahwa produksi satu mobil SUV (sport-utility vehicles) dapat menghasilkan emisi hingga 74 persen Co2 dibandingkan dengan produksi movil konvensional jika dibuat perusahaan yang masih ditenagai energi fosil seperti batu bara. Dengan kata lain, kotor tidaknya kendaraan listrik bergantung pada negara produsen dan bagaimana baterai litium-ion itu dibuat.
Yaya khawatir, hal itu terjadi di Indonesia. Menurutnya, saat ini sentra industri nikel seperti PT Indonesia Morowali Industrial Park (PT IMIP) di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, masih menggunakan bahan bakar batu bara untuk sumber energi listrik maupun proses peleburan nikel.
“Ketika diproduksi dengan menggunakan PLTU, pabrik yang menggunakan itu maka emisi dari kendaraan listrik justru lebih besar dari kendaraan berbahan bakar fosil,” katanya.
Yaya menambahkan, ekspansi industri nikel dapat mengurangi emisi negara pengekspor, namun dampak perubahan iklimnya dirasakan langsung oleh masyarakat lokal. Sementara itu, pengusaha memperoleh keuntungan dari ekspansi bisnis dan investasi sektor tersebut.
“Yang perlu ditanyakan adalah untuk siapa pengembangan industri baterai di Indonesia dan apa ini telah sesuai dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi karbonnya?” tutup Yaya.