LIPUTAN KHUSUS:
HARI HUTAN DUNIA: Soal Mereka Raja Hutan Tanah Papua
Penulis : Kennial Laia
Kawasan hutan di Tanah Papua dikuasai oleh perusahaan kehutanan dan perkebunan kelapa sawit skala besar. Ini menciptakan ketimpangan akses bagi Orang Asli Papua.
Hutan
Selasa, 23 Maret 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Tanah Papua disebut sebagai benteng terakhir hutan tropis Indonesia. Data (2019) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut, Bumi Cenderawasih menyumbang 38 persen tutupan hutan bagi keseluruhan tutupan hutan di nusantara. Rinciannya, Provinsi Papua seluas 24.174.100 hektare dan Papua Barat seluas 8.314.700 hektare.
Namun, banyak kawasan hutan di Tanah Papua jatuh ke tangan pengusaha. Direktur Hutan Yayasan Auriga Nusantara Supintri Yohar mengatakan, hutan di Papua maupun Papua Barat dikuasai oleh perusahaan. Hal itu terlihat dari izin-izin yang membebani hutan Papua, baik yang telah maupun yang akan beroperasi di masa mendatang.
“Kondisi hutan di Tanah Papua saat ini masih cukup baik. Sayangnya, penuh izin pengelolaan bagi perusahaan. Kalau dibiarkan, kerusakan hutan Papua tinggal menunggu waktu,” kata Supintri kepada Betahita, Senin, 22 Maret 2021.
Data Yayasan Auriga Nusantara mengungkap, pengelolaan lahan dan hutan di Tanah Papua didominasi oleh perusahaan industri kehutanan dan perusahaan perkebunan skala besar. Di sektor hutan, luas Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) mencapai 5.82.270 hektare; dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri seluas 985.869 hektare. Sementara itu, izin pelepasan kawasan hutan untuk sektor pertanian dan infrastruktur mencapai 1.549.205 hektare.
Lalu siapa yang ‘merajai’ hutan Papua dengan izin usahanya?
IUPHHK-HA
Menurut Supintri, saat ini terdapat 38 izin untuk perusahaan pemegang izin IUPHHK-HA di Tanah Papua dengan total luas 5.82.270 hektare. Berdasarkan provinsi, Papua memiliki 17 izin seluas 2.503.292 hektare dan Papua Barat 21 izin seluas 2.978.978 hektare.
Lima izin terluas itu dipegang oleh PT Kayu Lapis Indonesia 826.415 hektare, PT Sinar Wijaya Group seluas 472.410 hektare; PT Alamindo Lestari Sejahtera Tbk. seluas 329.215 hektare; Korindo Group seluas 314.600 hektare; dan Artha Graha Network seluas 311.220 hektare.
IUPHHK-HTI
Terdapat sembilan IUPHHK-HTI di Papua dan Papua Barat, dengan total luas 985.869 hektare. Sebanyak 99 persen atau delapan izin tersebut berada di Provinsi Papua dengan luas 898.645 hektare. Sisanya ada di Papua Barat (1 izin) seluas 87.224 hektare.
Lima grup pemilik konsesi IUPHHK-HTI terluas di Tanah Papua antara lain; Medco Group seluas 237.700 hektare; Wanamulia Sukses Sejati 211.345 hektare; Texmaco Group 206.800 hektare; Bade Makmur Orrisa 99.750 ha hektare; dan Moorim Group 64.050 hektare.
(BACA JUGA: HARI HUTAN DUNIA: Cerita Angka Jutaan Hektare Hutan Tanah Papua)
Izin pelepasan kawasan hutan
Dalam laporan berjudul “Menatap ke Timur: Deforestasi dan Pelepasan Kawasan Hutan di Tanah Papua, Auriga mencatat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan 72 surat keputusan pelepasan kawasan hutan dalam kurun waktu 1992-2019.
Luasnya mencapai 1.549.205 hektare, dengan alokasi terbesar untuk pertanian seluas 1.461.577 hektare. Sektor pertanian itu kemudian dikuasai pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 1.307.780 hektare atau 84 persen dari total pelepasan kawasan hutan di Tanah Papua.
“Dari total luas untuk kebun sawit, terdapat sekitar 1,1 juta hektare yang masih berupa hutan atau belum dibuka. Sisanya sudah beroperasi,” kata Direktur Data Yayasan Auriga Dedy Sukmara kepada Betahita, Senin, 22 Maret 2021.
Data Auriga menunjukkan, lima izin pelepasan kawasan hutan terbesar berada di Provinsi Papua. Pertama dipegang oleh PT Trimegah Karya Utama seluas 39.716 hektare; lalu PT Megakarya Jaya Raya seluas 39.505 hektare di Kabupaten Boven Digoel. Sementara itu PT Tunas Agung Sejahtera memperoleh izin pelepasan seluas 39.500 hektare di Kabupaten Mimika. Dua perusahaan lainnya yang menerima izin serupa bernama PT Graha Kencana Mulia 39.478 hektare dan PT Kartika Cipta Pratama 39.338 hektare. Keduanya juga beroperasi di Kabupaten Boven Digoel.
Menurut Supintri, model penguasaan dan pengelolaan hutan saat ini tidak adil bagi Orang Asli Papua. Ini menunjukkan adanya ketimpangan akses lahan antara perusahaan dan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memicu konflik yang lebih banyak antara masyarakat adat dan perusahaan.
Supintri mengatakan, pemerintah perlu menimbang pengelolaan kawasan hutan alam yang tersisa di Papua. Inklusi Orang Asli Papua dalam pengelolaan hutan menjadi salah satu kunci.
“Jangan sampai seperti Sumatera dan Kalimantan. Sekali gundul, tidak akan bisa kembali ke hutan alam lagi,” ujarnya.