LIPUTAN KHUSUS:

Ini Dampak Ekspansi Sawit pada Perempuan dan Anak di Tanah Papua


Penulis : Kennial Laia

Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua telah menghilangkan akses perempuan ke hutan serta memutus informasi dan pengetahuan sejarah budaya Orang Asli Papua.

Hutan

Minggu, 18 April 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Tanah Papua telah menghilangkan akses perempuan ke hutan serta memutus informasi dan pengetahuan sejarah budaya Orang Asli Papua pada generasi di masa mendatang.                                        

Menurut Beatrix Gebze, aktivis lingkungan dan perempuan Papua, salah satu pihak paling rentan dari masifnya alih fungsi lahan di Bumi Cenderawasih adalah perempuan dan anak-anak. Perempuan, misalnya, kehilangan sumber pangan saat hutan ulayat dijadikan konsesi sawit. Pada kasus lain, jarak tempuh untuk mencari makanan semakin jauh.

Untuk diketahui, di Tanah Papua, perempuan adat merupakan “tulang punggung pangan” bagi keluarga. Perempuan bertanggung jawab untuk menyediakan pangan, yang selama ribuan tahun bersumber dari hutan adat. Karena itu, walau menganut sistem patrilineal da ahli waris tanah jatuh pada anak laki-laki, perempuan adat memegang hak kelola atas hutan karena perannya itu.

“Namun, akses pangan semakin jauh sehingga waktu tempuh untuk mencari makan semakin banyak. Dulu kan dekat kampung, sekarang tidak bisa lagi,” kata Beatrix kepada Betahita,  Jumat, 16 April 2021.

Perempuan adat Papua. Foto: Pusaka

Dalam 20 tahun terakhir, ekspansi perkebunan kelapa sawit dan kehutanan telah meningkatkan deforestasi di Tanah Papua. Analisis terbaru Auriga mengungkap,  tutupan hutan hilang di provinsi tersebut bertambah dari tahun ke tahun. Dari luas 33,71 juta hektare, seluas 663.443 hektare telah lenyap dan beralih fungsi antara 2001 dan 2019.

Perubahan alih fungsi lahan dan hutan itu berdampak pada kehidupan masyarakat adat. Seringkali masyarakat adat terusir dari tanah ulayatnya. Akibatnya termasuk hilangnya hak kelola dan akses perempuan. Mereka pun terpaksa mencari cara lain. Salah satunya adalah meminjam lahan untuk menanam pangan.

“Ini beban tersendiri bagi perempuan. Selain beban pekerjaan menjadi lebih banyak, dia juga jadi bahan omongan komunitas,” tutur Beatrix.

Perempuan adat Papua juga dikenal sebagai pemegang informasi dan pengetahuan. Karena ruang hidupnya di dalam hutan, perempuan bertindak seperti ilmuwan di dalam laboratorium. Perempuan bisa meracik obat-obatan tradisional ataupun menemukan bahan pangan baru ketika di dalam hutan. Ataupun mencari bahan-bahan untuk membuat noken, tas tradisional Orang Asli Papua.

Hilangnya sumber bahan baku untuk atribut budaya seperti noken berdampak pada anak-anak. Menurut Beatrix, saat ini anak-anak di Tanah Papua tidak mengetahui sejarah leluhur. Kondisi merata terjadi di seluruh Tanah Papua.

“Kita punya kebiasaan, pengetahuan tentang batas-batas marga seperti sungai atau rawa tertentu. Dan apa cerita yang ada di sana. Tetapi karena kebun telah menjadikan semuanya sama rata, akhirnya masyarakat tidak lagi megnetahui sejarah dan posisi hak ulayatnya,” terangnya.

“Hilangnya ruang hidup dan hutan yang menyimpan sejarah masyarakat adat membuat perempuan kehilangan cerita untuk generasi di masa depan. Anak-anak pun kehilangan informasi dan putus dari sejarah leluhurnya,” sesal Beatrix.

Perlawanan tumbuh

Meski demikian, perempuan adat Tanah Papua mulai memberdayakan diri dengan mempelajari seluk-beluk perizinan dan pelepasan kawasan hutan. Hal itu, kata Beatrix, menjadi salah satu pegangan bagi perempuan adat untuk mempertahankan tanah ulayat mereka.

Beatrix mengatakan, saat ini gerakan perlawanan di kalangan perempuan adat telah tumbuh. Salah satunya ada di Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. Di wilayah tersebut, perempuan adat suku Manguse dan Mandobo giat belajar mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah dan melakukan protes.

Contoh yang lebih dekat terlihat dari perlawanan kelompok perempuan di Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel. Masyarakat adat Wambon Kenemopte yang tinggal di kampung Subur dan Aiwat aktif menolak ekspansi perkebunan kelapa sawit di tanah ulayat seluas 206.800 hektare itu. 

“Gerakan ini luar biasa berlangsung sampai sekarang. Dan ini yang terus perlu kita lakukan, mengorganisir dan mendampingi kelompok perempuan,” pungkas Beatrix.

Sementara itu, Sekretaris Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua Orpa Nari mengatakan, perempuan harus terus bersuara dan mempertahankan hak sebagai perempuan adat. "Kita pertahankan hak saudara kita, yaitu hutan dan tanah," katanya.