LIPUTAN KHUSUS:

Bank BUMN dan Asing Diprotes Lagi Lantaran Danai Bisnis Batubara


Penulis : Kennial Laia

Kelompok masyarakat sipil mengkritik pinjaman bank kepada perusahaan batu bara terbesar kedua Indonesia, PT Adaro Energy lantaran dapat memperburuk krisis iklim.

Perubahan Iklim

Selasa, 04 Mei 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Sejumlah gerakan masyarakat sipil mengkritik pendanaan terbaru dari sindikasi bank terhadap perusahaan batu bara asal Indonesia, PT Adaro Energy. Keputusan tersebut dinilai sarat kepentingan serta dapat memperparah krisis iklim global. 

PT Adaro Energy Tbk baru mendapatkan fasilitasi pinjaman senilai US$400 juta atau setara Rp5,79 triliun melalui sindikasi pinjaman berjangka lima tahun dari sejumlah bank. PT Adaro merupakan produsen batu bara terbesar kedua di Indonesia, dengan cadangan batu bara sebesar 1,1 miliar ton. Jika dibakar, batu bara tersebut akan menghasilkan emisi sebesar 2.2 GtCO2-e, hampir 1.5 kali total emisi yang dihasilkan Indonesia pada 2018. 

Mellisa Kowara, partisipan dalam gerakan iklim Extinction Rebellion Indonesia, mengatakan saat ini semua pihak harus bertindak dalam mengatasi krisis iklim, termasuk lembaga keuangan sebagai pemberi modal. 

“Mereka tidak seharusnya mendanai proyek-proyek yang malah memperburuk krisis iklim dan membawa kita lebih jauh menuju keruntuhan ekologis dan kepunahan massal,” kata Melissa dalam keterangan tertulis yang diterima Betahita, Senin, 3 Mei 2021.

Aksi anak muda menuntut pemerintah agar menyetop penggunaan batu bara untuk menghadapi krisis iklim. Foto: Istimewa

Gerakan Bersihkan Indonesia mengungkap sindikasi bank terdiri dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan bank milik asing. Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah tiga lembaga keuangan yang termasuk di dalam sindikasi dan dinilai memiliki komitmen nol terhadap keuangan berkelanjutan.

Peneliti Trend Asia Andri Prasetyi yang tergabung dalam gerakan Bersihkan Indonesia mengatakan, terdapat indikasi konflik kepentingan di balik keputusan sejumlah bank BUMN mendanai bisnis energi kotor batu bara tersebut. Menurutnya, hal itu karena saat ini Kementerian BUMN dipimpin oleh Menteri Erick Thohir, yang merupakan adik kandung dari CEO Adaro Energy, Garibaldi Thohir.  

Menurut Andri, kelindan kepentingan ini lantas menyebabkan prinsip pendanaan berwawasan lingkungan menjadi diabaikan. Dalam kerangka kebijakan yang lebih besar, pendanaan itu disebut semakin menggenapi paket keistimewaan yang diperoleh PT Adaro Energy dari rezim pemerintah usai revisi Undang-Undang Minerba. Lewat kebijakan tersebut, perusahaan itu termasuk yang mendapatkan jaminan kepastian perpanjangan izin operasi secara otomatis. 

Di tingkat regional, bank asal Malaysia, CIMB Niaga dan Maybank serta United Overseas Bank (UOB) asal Singapura juga terlibat dalam sindikasi tersebut. Menurut Koordinator Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat Pius Ginting, hal itu kontras dengan kebijakan pengurangan pembiayaan sektor batu bara, seperti yang dilakukan oleh CIMB Niaga baru-baru ini. 

“Keputusan CIMB untuk tetap membiayai Adaro sangat bertolak belakang dengan komitmennya untuk mengurangi aset produktif pada sektor batu bara”, ujar Pius. 

“Banyaknya lembaga keuangan berbasis Malaysia dan Singapura yang berikan dukungan keuangan bagi industri batu bara adalah ironi. Sebagai negara yang terpengaruh oleh kejadian asap dan badai, kegiatan investasi pendanaan di Malaysia dan Singapura merugikan rakyatnya dan juga merugikan rakyat Indonesia yang rentan bencana terkait perubahan iklim”, tegas Pius. 

Tidak hanya bank BUMN dan bank regional yang tidak konsisten dengan komitmennya, bank asal Inggris, Standard Chartered dan HSBC juga terlibat dalam sindikasi bank tersebut. Meskipun Standard Chartered mengaku telah memiliki kebijakan pembiayaan batu bara, namun Standard Chartered tetap terlibat dalam pembiayaan PT Adaro Energy. Menurut gerakan, hal tersebut menunjukan betapa lemahnya kebijakan batu bara yang diusung oleh Standard Chartered. 

“Slogan Standard Chartered, ‘Here For Good’ tidak berarti apa-apa jika Standard Chartered terus membiayai perusahaan batu bara yang bisnisnya dapat memperburuk perubahan iklim global," kata Binbin Mariana dari Indonesia Energy Finance Campaigner dari Market Forces. 

"Bank dan investor harus memilih apakah akan membangun untuk keselamatan umat manusia atau menyelamatkan elite batu bara. Kami menunggu komitmen institusi keuangan dan para investor untuk segera berhenti mendanai energi fosil,” tutup Indonesia Team Leader 350.org, Sisilia Nurmala Dewi.