LIPUTAN KHUSUS:
Presiden Jokowi Ultah, Rakyat Beri Kado Gugatan UU Minerba
Penulis : Kennial Laia
Dua warga terdampak tambang, Walhi Nasional, dan Jatam Kalimantan Timur mengajukan uji materiil UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi.
Tambang
Senin, 21 Juni 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Dua masyarakat terdampak tambang bersama dua organisasi masyarakat sipil mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) Nomor 3 Tahun 2020, Senin, 21 Juni 2020. Aksi ini disebut sebagai ‘kado’ ulang tahun kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang hari ini berusia 60 tahun.
Aturan tersebut merupakan revisi dari UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 yang disebut memuat sejumlah pasal bermasalah dan melanggar hak demokratis rakyat. Gugatan tersebut diajukan oleh dua warga dari Bangka Belitung dan Banyuwangi serta dua lembaga masyarakat sipil yakni Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur.
“Ini kado sekaligus doa dari masyarakat terdampak tambang kepada Pak Jokowi,” kata penasihat hukum penggugat dari Lembaga Bantuan Hukum Bandung Lasma Natalia, dalam konferensi pers virtual, Senin, 21 Juni 2021.
“Kita berdoa di umur yang baru ini Presiden diberikan pencerahan dan kebijaksanaan untuk melihat bahwa persoalan tambang di Indonesia belum selesai dan akan semakin parah dengan adanya UU Minerba yang baru ini.”
Menurut Lasma, Presiden Jokowi memiliki tanggung jawab untuk menciptakan masa depan yang lebih aman bagi generasi mendatang. Dia berharap Presiden Jokowi dapat mendukung langkah legal rakyat menggugat undang-undang yang melegitimiasi perampasan hidup rakyat dan perusakan lingkungan itu.
Uji materiil atau judicial review itu telah didaftarkan secara daring ke situs Mahkamah Konstitusi. Dari dokumen yang didapatkan Betahita, substansi uji materiil itu terkait dengan pemusatan kewenangan perizinan minerba ke Jakarta. Pemohon juga mempersoalkan pasal-pasal yang menjamin perpanjangan izin perusahaan tambang tanpa evaluasi dan lelang.
Pasal lainnya berkaitan dengan pembungkaman hak veto rakyat yang tidak setuju terhadap aktivitas tambang dan berpotensi besar untuk dikriminalisasi karena "merintangi kegiatan pertambangan."
Kriminalisasi itu telah dialami Yaman, nelayan Desa Matras, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung. Pada 10 November 2020, Yaman bersama nelayan lain melakukan aksi damai dengan menaiki kapal pengangkut timah sebagai aksi protes terhadap perusahaan tambang timah.
Aksi tersebut, menurut Yaman, didorong oleh niat melindungi wilayah tangkap ikan nelayan agar tidak dirusak oleh pertambangan. Namun, tak lama, Yaman dan 12 nelayan lainnya menerima surat panggilan dari kepolisian. Mereka dikenakan pasal 162 UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 yang menganggap “merintangi usaha pertambangan.”
“Kami minta kapal itu balik agar tidak menambang… Warga keberatan karena di situ wilayah tangkap nelayan dan pariwisata. Tapi kami malah dipanggil ke kantor polisi dan dikenakan pasal 162 itu,” katanya.
Hal serupa dialami Nurul Aini, perempuan petani dari Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Nurul mengaku sering diintimidasi karena karena aktif menolak aktivitas tambang di Gunung Tumpang Pitu yang jadi sumber resapan air masyarakat sekitar. Nurul juga pernah dipanggil ke kantor polisi atas kegiatannya itu.
“Harapan saya itu, UU Minerba dihapus. Supaya masyarakat tenang menjalani hidup. Yang paling saya harapkan adalah izin-izin itu ditutup supaya lingkungannya terjaga,” ujar Nurul mengungkapkan.
“Dari contoh kasus ini, terlihat bahwa undang-undang ini dibuat untuk memenuhi kepentingan tambang dan menyingkirkan hak warga negara yang dijamin konstitusi,” kata Muhammad Isnur, pendamping hukum dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Juru Bicara Walhi Nasional Dwi Sawung mengatakan, UU Minerba yang baru memberikan keleluasaan bagi industri pertambangan untuk mengeksploitasi sumber daya alam, walau izinnya bertentangan dengan tata ruang. Sebagai contoh, adanya beleid soal perpanjangan otomatis bagi pemegang Kontrak Karya dan PKP2B.
Parahnya, kata Sawung, regulasi itu tidak memuat pasal-pasal yang menjamin pemulihan lingkungan dari kerusakan akibat aktivitas pertambangan.
“Padahal, sumber energi kotor tersebut semakin ditinggalkan, sebab berdampak serius terhadap kelestarian lingkungan, krisis iklim, dan kesehatan masyarakat,” katanya.
Ketua Jatam Kalimantan Timur Pradarma Rupang yang turut menjadi pemohon mengatakan, undang-undang itu akan menjadi ancaman bagi keselamatan anak-anak di provinsi tersebut.
Hingga saat ini terdapat 39 anak-anak yang meninggal di bekas lubang tambang perusahaan yang tidak melakukan reklamasi.
“Ancaman itu selalu hadir karena wilayah bermain anak-anak telah di-kaveling habis oleh konsesi pertambangan yang mewariskan lubang-lubang beracun dan mematikan,” ujar Rupang.