LIPUTAN KHUSUS:

Uji Materiil UU Minerba: Pemohon Minta Pasal-Pasal Ini Dicabut


Penulis : Kennial Laia

Tim advokasi UU Minerba bersama empat pemohon mengajukan permohonan uji materiil atas dasar sejumlah pasal bermasalah.

Tambang

Selasa, 22 Juni 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Permohonan uji materiil Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) Nomor 3 Tahun 2020 telah dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi, Senin, 21 Juni 2021. Aturan tersebut dianggap memuat sejumlah pasal bermasalah yang mengancam lingkungan dan hak asasi manusia.

‘Gugatan’ tersebut diajukan oleh dua warga dari Banyuwangi, Jawa Timur, dan Kabupaten Bangka, Bangka Belitung. Dua kelompok masyarakat sipil ikut menggugat yakni Walhi Nasional dan Jatam Kalimantan Timur didampingi 22 ahli hukum dari berbagai lembaga.  

Dalam dokumen yang diterima Betahita, salah satu pasal yang dipermasalahkan dari undang-undang itu adalah pasal 162. Pasal ini disebut telah memberikan ketidakpastian hukum serta melanggar hak atas rasa aman dan bebas dari rasa takut, sebagaimana diatur Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal ini berbunyi: “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Judicial review Undang-Undang Mineral dan Batu Bara dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi, Senin, 21 Juni 2021. Foto: Tangkapan layar dokumen Tim Advokasi UU Minerba.

“Hanya karena kita berupaya melindungi lingkungan dan menyuarakan aspirasi maka dianggap upaya untuk merintangi aktivitas tambang,” kata Jauhar Kurniawan, salah seorang pendamping hukum, dalam konferensi pers virtual, Senin, 21 Juni 2021.

“Tapi dampaknya sebenarnya banyak sekali mulai dari kerusakan lingkungan, ekses ekonomi yang dialami warga sekitar tambang,” jelasnya.  

UU Minerba juga dianggap sebagai layanan bagi kepentingan oligarki bisnis batu bara di Indonesia. Pasal 169A ayat (1), misalnya, menyebut jaminan perpanjangan izin berdasarkan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (KP2B) perusahaan.  

Pasal 169A ayat (1) itu berbunyi: “KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan:

  1. kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
  2. kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.”

Pasal ini dianggap problematik karena menghilangkan proses evaluasi yang seharusnya memberikan ruang bagi masyarakat untuk memberikan aspirasi terkait kerugian dan dampak yang mereka alami sebagai masyarakat yang tinggal di sekitar area tambang.

“Adanya frasa ‘jaminan diberikan menutup kemungkinan izin yang tidak diperpanjang serta seolah-olah tidak menjadikan dampak lingkungan sebagai pertimbangan perpanjangan izin,” kata Lasma Natalia, penasihat hukum pemohon Lasma Natalia dari Lembaga Bantuan Hukum Bandung.

Menurut Lasma, tim advokasi dan pemohon juga khawatir mengenai pengambilalihan wewenang daerah ke pemerintah pusat di Jakarta. Pasal 4 ayat (2) UU Pertambangan Mineral dan Batubara itu berbunyi: “Penguasaan Mineral dan Batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.”

“Ketika kewenangan berpindah ke pusat, ini menghambat akses masyarakat di daerah yang berhadapan langsung dengan kegiatan pertambangan," pungkas Lasma. 

Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhamad Isnur mengatakan, masih banyak pasal bermasalah di dalam UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 tersebut. Namun pihaknya menilai, pasal-pasal yang digugat ke Mahkamah Institusi itu sebagai pasal yang paling problematik. 

Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara pada 12 Mei 2020 di tengah pandemi. Sebelumnya rencana revisi tersebut mendapatkan penolakan luas dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari mahasiswa, warga sipil, hingga organisasi masyarakat.