LIPUTAN KHUSUS:

Film Walhi: Bukan Food Estate tapi Fool Estate


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Food estate yang dinilai penuh risiko kegagalan maupun bencana dan mengorbankan ekosistem gambut serta kawasan hutan.

Gambut

Jumat, 25 Juni 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah (Kalteng) baru-baru ini merilis sebuah film berjudul Fool Estate. Sebuah film dokumenter yang menggambarkan bagaimana ketergesaan pemerintah memutuskan dan melaksanakan Program Lumbung Pangan (Food estate), hanya karena kekhawatiran akan krisis pangan yang mungkin bisa terjadi akibat pandemi Covid-19. Program yang dinilai penuh risiko kegagalan maupun bencana, dan mengorbankan ekosistem gambut serta kawasan hutan.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kalteng, Dimas N. Hartono mengatakan, Fool Estate merupakan film dokumenter yang menggambarkan dilema cita-cita ketahanan pangan Indonesia. Bagaimana pemerintah merespon peringatan Organisasi Pangan dan Pertanian yang berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau The Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nation, tentang krisis pangan di masa pandemi Covid-19, dengan mencetuskan pembuatan lumbung pangan.

"Kebijakan ini terlalu buru-buru, apabila hanya sebatas merespon FAO, kecuali memang sudah ada perencanaan, dan peringatan FAO terkait krisis pangan dan Covid menjadi momentum untuk mendorong food estate," kata Dimas, Kamis (24/6/2021).

Dimas melanjutkan, Film Fool Estate memberikan gambaran mengenai wilayah yang dijadikan lokasi food estate. Yang mana lokasinya berada di tempat yang sama dengan proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) satu juta hektare yang dijalankan di era Soeharto yang berujung pada kegagalan. Bahkan PLG tersebut telah menyebabkan bencana kebakaran hebat yang terjadi tiap tahun, apalagi wilayahnya adalah gambut.

Film dokumenter berjudul Fool Estate yang menceritakan Dilema Cita-Cita Ketahanan Pangan Indonesia.

Film ini, kata Dimas, juga memberikan penjelasan dan pandangan akademisi terkait lokasi food estate, termasuk pandangan apabila proyek tersebut gagal, tantangan yang akan dihadapi dari proyek tersebut dan apakah proyek tersebut sudah tepat atau tidak.

"Melihat apakah kebijakan yang dibuat sesuai dengan aturan yang ada, apakah menambah beban negara dalam proyek yang merusak kembali gambut. Alasan penolakan masyarakat sipil pada proyek food estate dan harapan masyarakat di tingkat tapak dari proyek ini."

Dimas mengungkapkan, alasan film tersebut diberi judul Fool Estate, adalah untuk menyubit Program Food Estate yang dikerjakan pemerintah. Sebab food estate, terutama yang dikerjakan di Kalteng, dinilai merupakan proyek ambisius yang menggunakan anggaran negara yang besar, yang berpotensi akan merusak kembali gambut dan kawasan hutan. Apalagi adanya kebijakan yang memperbolehkan pengelolaan tanaman pangan di kawasan hutan, melalui Peraturan Menteri LHK Nomor 24 Tahun 2020.

Lebih jauh lagi, skala proyek food estate ini adalah industri yang tidak menyasar kedaulatan pangan yang dapat dikelola masyarakat secara langsung. Karena tidak ada pendataan lahan pertanian perladangan yang sebenarnya lebih diutamakan untuk dilindungi dan diakui karena terancam untuk proyek infrastruktur.

"Investasi yang akan masuk dan berada di kawasan hutan. Seharusnya pengembanagan pangan ditujukan pada petani peladang masyarakat yang eksisting, terancam dan bentuknya pun keberagaman pangan."

Kementan Diminta Evaluasi Program Food estate

Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Menteri Pertanian, Senin (21/6/2021) kemarin, Komisi IV DPR RI meminta Kementerian Pertanian untuk mengevaluasi Program Food Estate yang dijalankan pemerintah karena dinilai tidak memiliki target produksi yang terukur.

"Komisi IV DPR RI mengkritisi Program Food Estate yang dinilai tidak memiliki target produksi yang terukur. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi atas Program Food Estate paling lambat di akhir bulan Agustus tahun 2021 untuk kemudian akan dibahas kembali," kata Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Anggia Erma Rini, Senin (21/6/2021), dikutip dari Antara.

Dalam rapat kerja tersebut, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo juga sempat memberikan penjelasan soal program lumbung pangan tersebut. Menurut Menteri Syahrul, pengembangan food estate dilakukan sesuai fokus kementerian untuk bisa mencapai ketahanan pangan. Syahrul juga mengatakan food estate pun dikembangkan bukan di daerah eksisting, namun daerah yang perlu pengembangan karena program tersebut memungkinkan masuknya intervensi sarana dan prasarana produksi hingga budidaya.

"Anggarannya itu lebih besar di lahan. Kalau kita (Kementan) sebenarnya hanya berada pada, kalau lahan secara teknis memungkinkan, kami masuk," kata Syahrul, Senin (21/6/2021).

Syahrul berkata, masuknya Kementan pun harus membawa multikomoditi hingga ternak. Pihaknya juga perlu masuk membawa mekanisasi dan teknologi. Misalnya pengolah beras untuk jadi beras medium dan selanjutnya pengolah beras menjadi beras premium bernilai jual tinggi.

"Jadi kita harap tidak hanya untuk konsumsi nasional tapi juga konsumsi khusus. Kami harap Agustus nanti akan ada ekspor merdeka di mana konsumsi komoditi-komoditi tertentu akan menjadi ekspor utama kita, termasuk beras. Kita sedang bekerja sama untuk itu," katanya.

Syahrul menyangkal penilaian soal Program Food Estate yang dinilai tidak memiliki hasil nyata. Pasalnya, menurut dia, proyek food estate yang digarap oleh Kementerian Pertanian cukup menunjukkan hasil.

"Izin, menurut saya yang selalu dipersoalkan adalah yang di Gunung Mas (Kalimantan Tengah), ada 2 ribu hektare, terdiri dari ubi kayu, ini ditangani Kementerian Pertahanan. Ini yang belum memperlihatkan (hasil) maksimal."

Sesuai dengan permintaan Komisi IV DPR RI, Syahrul memastikan akan melakukan evaluasi terhadap Program Food Estate di bawah kewenangannya yang tengah berjalan.

Terpisah, anggota Komisi IV DPR RI asal Kalteng, Bambang Purwanto berpendapat Program Food Estate memang perlu dievaluasi, terutama food estate di Sumatera Utara (Sumut). Alasannya, karena lahan yang digunakan untuk program tersebut bukan lahan petani dan lokasinya berada di perbukitan, sehingga dapat menyebabkan erosi dan banjir. Selain itu hasilnya tidak optimal dan jauh dari pemukiman penduduk.

"Tapi untuk di Kalteng ada pemiliknya dan hasilnya cukup bagus serta petaninya bersemangat. Tinggal melakukan perbaikan saluran, baik primer maupun sekunder serta pintu air. Yakin hasilnya bisa optimal. Contoh padi hibrida jenis Supadi 98, bisa mencapai 5 samai 8 ton per hektare," kata Bambang Purwanto, Kamis (24/6/2021). 

Kemudian mengenai perluasan lahan tanam, Bambang meminta agar hal itu dilakukan di lahan milik petani, atau lahan kosong namun harus dibagi kepada petani yang belum memiiki lahan. Bambang mewanti-wanti agar jangan sampai pembukaan lahan baru tetapi para petani tidak dikasih lahan. Karena saat ini banyak petani di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau yang belum memiliki lahan.

"Program Food Estate di Kalteng saya yakin bisa berhasil dan bisa mengganti lahan sawah di Jawa yang semakin banyak berkurang tiap tahun cukup besar, dengan lahan pengganti masih belum seimbang kira-kira 95 ribu hektare tiap tahun kurang segitu walaupun Pemerintah sudah buka lahan baru."

Sebaran Lokasi Food Estate

Program Food Estate ini banyak dianggap menjadi salah satu proyek ambisius pemerintah. Padahal bila bercermin pada beberapa proyek serupa yang pernah dikerjakan, food estate cenderung mengalami kegagalan.

Program yang masuk dalam daftar Proyek Stategis Nasional (PSN) 2015-2019 itu awalnya akan dibangun dalam tiga tahap di lima wilayah provinsi, dengan total luas lahan yang digunakan seluas 1,7 juta hektare. Rinciannya, Papua seluas 1,2 juta hektare, Kalimatan Barat (Kalbar) 120.000 hektare, Kalimantan Tengah (Kalteng) 160.000 hektare, Kalimantan Timur (Kaltim) 10.000 hektare dan Maluku 190.000 hektare.

Akan tetapi pemerintah kemudian melakukan revisi terhadap beberapa target PSN, melalui Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Program Food Estate menjadi salah satu proyek yang direvisi.

Hasilnya total luas lahan yang digunakan untuk Program Food Estate membengkak menjadi 2.522.902 hektare. Periode waktu pelaksanaan pengerjaannya dipangkas menjadi dalam dua tahap. Tahap pertama dikerjakan di Kalteng dan Sumatera Utara (Sumut). Tahap kedua di Sumatera Selatan (Sumsel), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua.

Food estate yang dibangun di Kalteng ditargetkan seluas sekitar 165.000 hektare dan Provinsi Sumatera Utara (Sumut) seluas 60.000 hektare. Proyek food estate di Kalteng dikerjakan di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau. Sedangkan di Sumut akan dikerjakan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Pak-Pak Bharat.

Kemudian di Sumsel, lokasi lumbung pangan ini rencanannya akan dibuka di 9 kabupaten/kota seluas 235.351 hektare. Yaitu Palembang, Banyuasin, Ogan Komering Ilir, Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ulu Timur, Musi Banyuasin, Panukal Abab Lematang Ilir, Musi Rawas Utara dan Muara Enim. Untuk NTT, dibangun di Kabupaten Sumba Tengah seluas 5.000 hektare.

Provinsi Papua menjadi wilayah pembangunan food estate terluas. Yakni  seluas 2.052.551 hektare. Lokasi Food estate di provinsi itu berada di Kabupaten Merauke, Boven Digoel dan Mappi. Khusus di Merauke, pemerintah akan melanjutkan kembali proyek Merauke Integrated Food Energy Estate (MIFEE) yang sebelumnya digagas pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono di lahan seluas 1.282.833 hektare.

Proyek Food Estate Kalteng Sudah Berjalan

Khusus untuk food estate di Kalteng, dalam Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2021 disebutkan, pengembangan food estate akan diselaraskan dengan program pemberdayaan transmigrasi/petani eksisting dan investasi small farming. Kebutuhan anggaran untuk melaksanakan program ini adalah sebesar Rp2,55 triliun dan dikerjakan oleh Kementerian Pertanian (Kementan).

Lahan potensial untuk food estate yang akan dikerjakan Kementan di Kalteng seluas sekitar 165.000 hektare itu terdiri dari 85.500 hektare lahan produktif dan 79.500 hektare merupakan lahan yang tidak produktif yang sudah ditinggalkan oleh petani.

Proyek food estate ini sejak tahun lalu telah mulai dikerjakan. Dari 165.000 hektare yang ditargetkan, 20.000 hektare di antaranya telah selesai dibangun di Kabupaten Kapuas dan 10.000 lainnya di Kabupaten Pulang Pisau. Sedangkan sekitar 135.000 hektare sisanya rencananya akan diselesaikan tahun ini.

Sejauh ini tanaman pangan yang telah ditanam di lahan itu adalah padi. Namun ke depan bukan hanya padi saja yang rencananya akan di tanam di food estate ini. Beberapa komoditas pertanian lainnya, salah satunya kelapa sawit juga akan ditanam. Hal itu disampaikan Sekretaris Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian RI, Bambang, usai rapat koordinasi mengenai evaluasi perkembangan program lumbung pangan nasional, bersama Pemerintah Provisi Kalteng, di Palangka Raya, Jumat (5/2/2021) kemarin.

"Nantinya tidak hanya padi saja ditanam, di sana juga akan ditanami buah-buahan, seperti pohon kelapa, lengkeng dan sawit. Dan di lahan itu juga nantinya juga bisa digunakan untuk berternak. Sedangkan makannya bisa memanfaatkan limbah dari pertanian yang sudah digarap," ujar Bambang, seperti dikutip dari Antara.

Lahan yang digunakan untuk food estate di Kalteng ini punya riwayat panjang. Karena bukan kali ini saja lahan di Kapuas dan Pulang Pisau itu digunakan untuk proyek ketahanan pangan. Lahan itu merupakan lahan bekas proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektare, sebuah proyek pengembangan pertanian tanaman pangan yang gagal dikerjakan di era pemerintahan Presiden Soeharto.

Alasan pemilihan kawasan eks PLG sebagai lahan Program Food Estate ini dikarenakan biaya untuk merehabilitasi lahan yang sudah ada lebih murah, yaitu kurang lebih Rp9 juta per hektare. Sedangkan untuk membuka lahan baru diperkirakan menghabiskan biaya sekitar Rp30 juta per hektare dan memiliki risiko kerusakan lingkungan.

Sebagai penyegaran, PLG merupakan proyek yang dirancang untuk menyediakan lahan pertanian baru, dengan mengubah lahan gambut dan rawa seluas satu juta hektare untuk penanaman padi. Proyek itu dijalankan lewat pembuatan kanal-kanal yang bertujuan membelah kubah gambut. Proyek tersebut dilaksanakan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 82 tentang Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektare di Kalimantan Tengah, yang dikeluarkan Presiden Soeharto, 26 Desember 1995 silam.

Namun tidak seperti yang diharapkan, proyek PLG seluas total 1,46 juta hektare itu ternyata berujung pada kegagalan. Konon penyebabnya adalah dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap kondisi sosial budaya masyarakat setempat dan lahan gambut yang disiapkan terbukti tidak cocok untuk penanaman padi. Awalnya, sekitar 3 ribu hektare sawah berhasil dicetak pada 1996 lalu. Akan tetapi proyek ini akhirnya dihentikan pada 1999, seiring dengan berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto.

Imbasnya, hampir separuh dari 15.594 keluarga transmigran yang ditempatkan di kawasan PLG memilih beranjak pergi. Kerusakan sumber daya alam serta dampak hidrologi dari proyek PLG juga menimbulkan kerugian bagi warga setempat.

Food estate yang dikerjakan Kementan seluas 165.000 hektare itu bukan proyek food estate satu-satunya yang dikerjakan pemerintah di Kalteng. Karena Kementerian Pertahanan (Kemenhan) nyatanya juga memiliki proyek food estate di Kalteng. Hanya saja food estate yang dikerjakan Kemenhan ini dikhususkan untuk tanaman singkong saja.

Usai mengikuti Rapat Terbatas mengenai food estate yang dipimpin Presiden Joko Widodo, melalui video conference, Rabu (23/9/2020) lalu, Menteri Pertahanan Prabowo Sibianto menyebut, lahan yang akan pihaknya ditanami singkong ditargetkan seluas 1,4 juta hektare.

"Saya hanya menjelaskan rencana ke depan singkong dan di Kalimantan Tengah kita akan mulai 2021, 30.000 hektare. Selanjutnya sampai akhir 2025 meningkat terus sasaran kita, hingga akhir 2025 sebanyak 1,4 juta hektare. Garis besar itu," ujar Prabowo Subianto, dikutip dari Antara.