LIPUTAN KHUSUS:

Omnibus Law Ancam Status Zona Inti Konservasi di Indonesia


Penulis : Kennial Laia

Aturan turunan Omnibus Law dan Perda Zonasi disebut mengancam biodiversitas pulau-pulau kecil Indonesia.

Konservasi

Rabu, 30 Juni 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Hingga saat ini peraturan soal perubahan status zona inti kawasan konservasi masih menjadi polemik. Aturan itu semakin dikritisi ketika masuk dalam peraturan turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law).

Aturan turunan Omnibus Law, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan mengatur bahwa zona inti konservasi dapat dialihfungsikan.  

Syaratnya, pemanfaatan wilayah itu khusus proyek strategis nasional dan maksimal hanya 10% dari total luas zona inti. Pemohon izin juga harus mengganti wilayah itu sesuai dengan luas dan fungsi yang sama.

Menurut peneliti perikanan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Rignolda Djamaluddin, aturan itu bermasalah dan tidak sejalan dengan konservasi laut.

Puluhan nelayan Kodingareng melakukan aksi demonstrasi di lokasi penambangan pasir laut yang dilakukan Kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis./Foto: Koalisi Save Spermonde

“Zona inti dalam kawasan itu ditetapkan karena nilai ekologis dan untuk jangka panjang. Tidak semudah itu digeser,” kata Rignolda dalam diskusi media virtual, Senin lalu.

“Ancaman terbesar biodiversitas adalah banyaknya perombakan di wilayah penting,” ujarnya.

Rignolda mengatakan pemerintah tidak perlu memaksakan membuka proyek di pulau-pulau kecil dan area konservasi pesisir. Dia mendorong agar pemerintah mencari alternatif lain.

Precautionary principle harus dikedepankan. Sebab, ketika kita kehilangan spesimen, tidak mungkin tergantikan,” kata Rignolda.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, aturan soal perubahan zona inti kawasan konservasi di wilayah pesisir juga membuka kesempatan untuk proyek ekstraktif melalui pemberian izin usaha skala besar bagi perusahaan.

Menurut Susan, aturan itu juga mendorong adanya perluasan tambak budidaya di lahan mangrove seluas 100.000 hektare. Jika terjadi, hal ini akan menggerus ekosistem mangrove dan menambah laju deforestasi mangrove yang telah terjadi di Indonesia.

Susan juga mengkritisi peraturan wilayah soal Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang telah lebih dulu diterbitkan pemerintah daerah. Aturan tersebut memang sejalan dan diperkuat dengan Omnibus Law.  

“Boleh jadi satu amanah dari undang-undang tapi pada saat bersamaan, apakah ini menjawab konflik agraria pesisir atau malah meningkatkan konflik ruang?” kata Susan.

“Izin usaha skala besar yang diatur dalam RZP3K itu juga membuka ruang perampasan baru penghidupan masyarakat pesisir,” tambah Susan.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Hendra Yusran Siry mengatakan peraturan wilayah RZP3K adalah produk daerah yang diselaraskan dengan kepentingan nasional.

“Ini bukan merampas karena hanya untuk proyek strategis nasional. Dan tidak bisa sembarangan, harus ada asesmen dulu dari tim khusus,” jelas Hendra.

“Persyaratannya berat. Mulai dari mengganti seluas kawasan yang dipakai dan mengembalikannya ke fungsi yang sama,” kata Hendra.