LIPUTAN KHUSUS:

Survei: Krisis Iklim Melambat dengan Ubah Perilaku Konsumen?


Penulis : Tim Betahita

Sebagian kecil percaya laju krisis iklim dapat diperlambat lewat perubahan konsumsi manusia.

Perubahan Iklim

Jumat, 09 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Survei terbaru di 16 negara mengungkap sekelompok kecil orang percaya bahwa masih ada waktu untuk membuat perbedaan dan memperlambat pemanasan global.

Orang berusia 55 tahun ke atas  sangat percaya bahwa perilaku manusia dapat membuat perbedaan positif bagi lingkungan. Orang-orang di Brazil, Spanyol, Kanada, Italia, dan Thailand adalah yang paling optimistis bahwa jika manusia bertindak sekarang, masih ada waktu untuk menyelamatkan planet bumi, menurut survei dari lembaga intelijen pasar bernama Mintel.   

Rata-rata sebanyak 54% responden setuju bahwa ada waktu untuk menyelamatkan planet bumi, dan 51% percaya bahwa perilaku mereka dapat membuat perbedaan positif bagi lingkungan.

Jepang menjadi negara paling pesimistis. Hanya 15% yang percaya bahwa perilaku manusia dapat mengubah keadaan dan hanya 35% percaya ada waktu untuk menyelamatkan bumi.

Ilustrasi emisi karbon (wikipedia)

Survei ini dilakukan di 16 negara, antara lain, Brazil, India, Cina, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Italia, Spanyol, Korea Selatan, Australia, Thailand, Kanada, Irlandia, Prancis, Polandia, dan Jerman.

Survei ini mengungkap bahwa konsumen menginginkan posisi perusahaan jelas mengenai dampak lingkungan terkait produk mereka, sehingga dapat membuat keputusan membeli atau tidak.  

Sebanyak 47% responden juga ingin agar label produk menunjukkan dampak lingkungan seperti emisi karbon dari proses produksi, dan 42% mencari informasi yang mengukur dampak dalam istilah yang dapat dipahami seperti jumlah air (liter) atau jarak tempuh. 

Sementara itu, 41% ingin melihat sertifikasi yang dapat dikenali untuk membuktikan standar perusahaan, yang berkaitan dengan komitmen terhadap buruh, pelanggan, pemasok, komunitas, dan lingkungan.

Survei itu juga mengungkap pandangan yang berbeda tentang siapa yang harus disalahkan atas pemanasan global. Konsumen cenderung berpikir negara mereka menderita dampak perubahan iklim ketimbang menyebabkannya.  

Rata-rata 44% konsumen dari 16 negara mengatakan negara tempat mereka tinggal menderita perubahan iklim, sementara 33% percaya bahwa negara mereka berkontribusi pada terhadap perubahan iklim. 

Orang-orang di Italia (20%), Brazil (21%), Korea Selatan (24%), dan Spanyol (29%) paling tidak percaya bahwa negara mereka berkontribusi terhadap perubahan iklim. Mereka yang berada di Inggris (44%), Jerman (45%), Amerika Serikat (46%), dan Kanada (51%) adalah yang paling mungkin percaya bahwa negeri mereka bersalah.

Survei terbaru ini relevan dengan pernyataan International Energy Agency (IEA) Mei lalu. Melalui peta menuju emisi nol-nya, lembaga tersebut menyebut pentingnya pemahaman publik bahwa pola konsumsi mereka integral dalam mengurangi emisi dunia.

Menurut IEA, lebih dari setengah pengurangan emisi kumulatif yang diperlukan untuk mencapai nol bersih terkait dengan pilihan dan perilaku konsumen.

Richard Cope, konsultan tren senior di Mintel Consulting mengatakan, “Kabar baiknya adalah di sebagian besar negara, sebagian kecil masih percaya manusia masih memiliki waktu menebus (kesalahan), dan mana ada optimisme, hal itu terkait erat dengan perasaan bahwa perilaku konsumen dapat membuat perbedaan.” 

Terlepas dari adanya kesadaran bahwa dampak dan pilihan individu berdampak pada iklim, survei itu juga mengungkap bahwa di 16 negara banyak individu menginginkan solusi yang membuat hidup mereka lebih mudah. Tetapi yang akan menempatkan planet ini dalam risiko.

Temuan lainnya adalah bahwa ketika suhu meningkat di seluruh dunia, semakin banyak orang berencana memasang alat pendingin ruangan (AC) yang jelas meningkatkan emisi karbon.

“Pemanasan global menciptakan lingkaran setan dengan meningkatkan pemakaian AC, yang kemudian menggunakan lebih banyak energi,” tulis Mintel dalam laporan tersebut.