LIPUTAN KHUSUS:
Madani: Pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat Kian Penting
Penulis : Kennial Laia
Pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat semakin mendesak karena meningkatnya pelanggaran hak masyarakat adat di Indonesia.
Lingkungan
Kamis, 05 Agustus 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat dinilai semakin mengingat. Pasalnya, kasus pelanggaran hak-hak masyarakat hukum adat semakin banyak terjadi.
Hal itu disampaikan organisasi masyarakat sipil Madani Berkelanjutan di dalam analisis terbarunya. Menurut lembaga tersebut pelanggaran hak masyarakat adat dapat meningkat pada waktu mendatang.
Analisis spasial Madani menemukan, saat ini terdapat 8,5 juta hektare dari 9,3 juta hektare wilayah masyarakat adat yang teridentifikasi adat tumpang-tindih dengan izin atau konsesi dan peta indikatif penghentian pemberian izin baru (PIPPIB) atau area moratorium hutan dan lahan gambut.
Tumpang-tindih terluas adalah dengan PIPPIB (4,1 juta hektare), disusul izin perkebunan sawit 1,1 juta hektare, dan konsesi minyak dan gas seluas 1 juta hektare.
Selain itu terdapat 190 ribu hektare wilayah adat yang masuk ke dalam rencana wilayah food estate di empat provinsi. Area terluas ada di Papua yakni 123 ribu hektare, dan Kalimantan Tengah seluas 66 ribu hektare.
Selain itu, analisis Madani juga menemukan bahwa masih banyak hutan alam dan ekosistem gambut di wilayah adat, masing-masing seluas 5,6 juta hektare dan 878 ribu hektare.
“Hal ini dapat menjadi peluang untuk mendukung upaya pemenuhan komitmen iklim Indonesia di sektor kehutanan dan penggunaan lahan,” tulis Madani dalam publikasi terbarunya yang terbit pada 2 Agustus 2021.
“Pasalnya, dokumen Nationally Determined Contribution atau NDC Indonesia telah mengakui kearifan lokal sebagai hal yang dapat menjadi bagian dari upaya penurunan emisi. Oleh karena itu, peran masyarakat hukum adat dalam menjaga keseimbangan lingkungan juga patut mendapatkan perhatian,” kata Madani.
RUU Masyarakat Hukum Adat masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) sejak 2013. Tahun ini, draf tersebut kembali masuk dalam prolegnas prioritas dan sedang dalam pembahasan harmonisasi. Namun, pelibatan masyarakat dinilai masih minim.
Menurut Madani, konsultasi yang dilakukan ke berbagai elemen masyarakat selama ini dan selama pandemi Covid-19 masih seperti “partisipasi semu”.
“Banyak masukan mendasar dari organisasi masyarakat adat, masyarakat sipil, dan akademisi tidak kunjung diakomodasi dalam draf RUU tersebut, meskipun sudah berkali-kali diajukan,” tulis Madani.
Hal-hal mendasar yang masih menjadi perdebatan adalah perbedaan istilah dan unsur dalam definisi masyarakat hukum adat, mekanisme pengakuan yang cenderung politis, dan cakupan perlindungan hak yang terbatas pada masyarakat hukum adat yang telah diakui secara formal. Selain itu, isu penting seperti hak kolektif perempuan adat dan mekanisme pemulihan hak juga belum menjadi sorotan.
Madani mengatakan, ada konflik kepentingan yang menghambat percepatan pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat karena mayoritas atau 55% anggota Dewan Perwakilan Rakyat saat ini merupakan pebisnis.
Faktor kedua adalah, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja beserta peraturan turunan yang berpotensi menambah panjang daftar masalah yang dihadapi masyarakat hukum adat. “Sehingga pengakuan terhadap masyarakat adat semakin berjalan di tempat,” tulis Madani.