LIPUTAN KHUSUS:
Buka Hasil Investigasi Pencemaran oleh PT KPUC ke Publik!
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tidak transparannya hasil investigasi dan hasil uji laboratorium pencemaran Sungai Malinau itu memicu warga untuk mengajukan permohonan gugatan informasi publik.
Tambang
Selasa, 10 Agustus 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Kejadian jebolnya tanggul penampungan limbah pertambangan batu bara, Kolam Tuyak, milik PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC), yang mengakibatkan mengalirnya limbah tambang ke Sungai Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara) sudah 6 bulan lalu terjadi. Konon Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Malinau dan pihak kepolisian bahkan juga sudah melakukan investigasi dan melakukan uji laboratorium terhadap air Sungai Malinau, namun hingga kini hasilnya belum juga disampaikan kepada publik.
Tidak transparannya hasil investigasi dan hasil uji laboratorium itu belakangan memicu warga untuk mengajukan permohonan gugatan informasi publik. Hal tersebut disampaikan pihak Pemohon gugatan, Andry Usman, dari Lembaga Advokasi Lingkungan Hidup Kalimantan Utara (Lalingka).
Andry mengatakan, pihaknya telah mencoba mengajukan permohonan informasi publik kepada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Malinau dan Polda Kalimantan Utara, namun kedua pihak tersebut tidak menjawab dan mengabaikan permohonan informasi yang diajukan.
"Meskipun terdapat satu tanggapan yang diperoleh Pemohon yakni dari Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Utara, melalui surat tertanggal 04 Mei 2021, namun tanggapan tersebut tidak menjawab sesuai dengan yang diminta atau tidak menjawab sebagaimana permohonan Pemohon," kata Andry, yang juga merupakan aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltara, Senin (9/8/2021).
Oleh karena itu, Andry melanjutkan, dirinya mengajukan sengketa Informasi Publik dengan pihak DLH Kabupaten Malinau, DLH Provinsi Kalimantan Utara dan Polda Kalimantan Utara sebagai Termohon. Gugatan informasi ini secara resmi telah didaftarkan di Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Utara pada 14 Juli 2021.
"Kami menyerukan kepada publik untuk memantau, terlibat dan bersolidaritas dalam proses gugatan informasi ini, demi terpenuhinya hak atas informasi bagi warga Kalimantan Utara dan Kabupaten Malinau, Khususnya Desa-desa utama yang terdampak akibat kelalaian pertambangan batu bara PT KPUC."
Menurut Andry, masyarakat Kaltara berhak mengetahui apa hasil dari uji laboratorium dan hasil investigasi badan-badan Pemerintah dan penegak hukum yang telah digaji dari uang negara tersebut. Kemudian Gubernur Kaltara sebagai Pimpinan Dinas Lingkungan Hidup Kaltara, lanjut Andry, juga harus memberikan teladan, bahwa informasi pencemaran adalah informasi terbuka yang harus diberikan kepada publik, bukan untuk disembunyikan.
Andry membeberkan, berdasarkan penelusuran rekaman dan berita di berbagai media yang dilakukan, diketahui bahwa Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Malinau, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kaltara dan Pihak Kepolisian Daerah Provinsi Kaltara telah menurunkan tim untuk melakukan Investigasi dan mengambil sampel air sungai malinau yang tercemar dan akan mengujinya berdasarkan baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara untuk mengetahui tingkat kategori pencemaran.
"Hasil uji sampel dan hasil investigasi oleh badan pemerintah dan penegak hukum tersebut wajib dibuka secara transparan kepada publik karena nilai informasinya yang sangat penting berkaitan dengan kepentingan hajat hidup dan keselamatan masyarakat atau orang banyak."
Oleh karenanya informasi tersebut masuk dalam kualifikasi data dan informasi sebagaimana yang dinyatakan dalam ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa Badan Publik wajib mengumumkan secara sertamerta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.
Lebih jauh, sesungguhnya hak atas informasi publik adalah merupakan hak dasar atau fundamental rights yang dijamin pemenuhannya dalam Konstitusi UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945 Pasal 28 (f) yang isinya, Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Hal itu juga terkandung dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada Pasal 19, yang berbunyi Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).
Andry mengakui, Bupati Malinau memang mengeluarkan Surat Keputusan (SK) yang konon berisikan 6 poin sanksi terhadap PT KPUC atas kejadian jebolnya Kolam Tuyak 7 Februari 2021 lalu. Namun menurutnya, hal tersebut bukanlah sanksi, melainkan hanya rekomendasi.
"Kalau dari pihak Pemerintah mengatakan sudah memberi sanksi. Tapi menurut kami itu bukan sanksi tapi itu hanya sebuah rekomndasi dari Pemerintah. Bermodelkan SK bupati," ujar Andry.
6 poin sanksi yang diterbitkan melalui SK Bupati Malinau Nomor: 660.5/K.86/2021 itu, yang pertama, melakukan perbaikan tanggul Kolam Tuyak bawah yang jebol dengan konstruksi yang aman. Kedua, melakukan penimbunan tanah penutup pada area Tuyak bawah, dimulai dari sisi terluar. Dan sebelum melakukan penimbunan akan melakukan pemompaan air limbah yang tertampung pada area tersebut menuju Megapond atau Pit terdekat.
Kemudian yang ketiga, melibatkan tenaga ahli yang berkompeten dalam melakukan penanganan dampak lingkungan. Keempat, melakukan penggantian berbagai jenis ikan yang mati dengan menyebar bibit ikan pada Sungai Malinau. Kelima, membuat sistem penanganan dini standard operating procedure (SOP) penanganan tanggul jebol. Keenam, melakukan inspeksi area tanggul-tanggul pada area tambang batu bara secara berkala.
Pencemaran Sungai Malinau Sudah Berulang Kali Terjadi
Andry mengungkapkan, sejauh ini pencemaran Sungai Malinau akibat aktivitas pertambangan sudah terjadi berulang kali. Jatam Kaltara mencatat, pencemaran sungai Malinau oleh aktivitas tambang di kawasan hulu dan sepanjang DAS Malinau sudah terjadi sejak 2010, 2011, 2012, 2017, dan terakhir pada 7 Februari 2021.
Pada 4 Juli 2017, tanggul kolam pengendapan (settling pond/sediment pond) di Pit Betung milik PT Baradinamika Muda Sukses (PT BMS) juga jebol dan mengakibatkan pencemaran di lokasi yang nyaris sama.
Kala itu PDAM Malinau menyatakan kekeruhan air baku pada sungai tersebut mencapai 80 kali lipat dari 25 NTU (nephelometric turbidity unit) menjadi 1.993 NTU yang mengacu pada Kepmen Kesehatan NO 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum. Pada saat itu, PDAM setempat juga mematikan pelayanan air bersih selama 3 hari, sejak tanggal 7 hingga 9 Juli 2017.
Atas kejadian itu, Dinas ESDM Provinsi Kaltara mengeluarkan teguran dan penghentian sementara untuk empat perusahaan tambang batu bara di Malinau Selatan, yakni PT MA (No. surat 540/558/ESDM.II/VI/2017), PT BM (No. surat 540/557/ESDM.II/VI/2017), PT Kayan Prima Utama Coal (No. surat 540/555/ESDM.II/VI/2017), dan PT Atha Marth Naha Kramo (No. surat 540/556/ESDM.II/VI/2017).
Kejadian yang terus berulang tanpa ada evaluasi, penegakan hukum, dan pemulihan itu, patut diduga dilakukan secara sengaja oleh perusahaan tambang. Hal ini dilakukan untuk mengurangi beban penampungan limbah tambang itu sendiri.
Kejadian serupa berpotensi besar akan terus terjadi, sebab saat ini, terdapat lima perusahaan pemegang izin usaha pertambangan yang konsesinya berada pada hulu dan badan sungai Malinau. Kelima perusahaan itu, antara lain PT Artha Marth Naha Kramo (AMNK), PT Amarta Teknik Indonesia (ATI), PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC), PT Baradinamika MudaSukses (BM), dan PT Mitrabara Adiperdana (MA).
PT KPUC yang diduga pemilik tanggul yang jebol hingga terjadi pencemaran berat Sungai Malinau itu, beroperasi di kawasan hutan, dan telah diberikan dua Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup melalui IPPKH No SK 396/Menhut-II/2013, dengan luas 3.973,44 hektare dan No SK 157/Menhut- II/2009 seluas 502,59 hektare, masing-masing diterbitkan pada 2009 dan 2013 oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, lalu diperpanjang hingga menteri saat ini, Siti Nurbaya Bakar.
PT KPUC juga, diduga melakukan pemindahan paksa atas komunitas masyarakat adat di tiga desa, yakni Desa Punan Rian, Desa Langap, dan Desa Seturan. Tidak ada kejelasan proses dan penanganan pemindahan yang dilakukan perusahaan tambang ini.
Di Sungai Sesayap, sebagai salah satu yang tercemar, juga terdapat habitat mamalia air langka, yakni Ikan Pesut. Keberadaan mamalia air ini semakin langka akibat habitatnya semakin tercemar dan terkungkung oleh aktivitas pertambangan batu bara.
"Tapi di 2017 mereka sempat bikin perjanjian di depan notaris. Kalau mereka tidak mengulangi lagi, tapi hasilnya seperti yang terjadi kemarin," kata Andry.
Dalam perjanjian itu, terdapat beberapa poin yang disepakati di depan notaris. Salah satunya, apabila di kemudian hari pihak perseroan dalam aktivitas penambangan tidak memperhatikan tata kelola limbah dengan baik dan atau melakukan kembali pencemaran atau pengerusakan lingkungan atau seperti yang tercantum dalam pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, pihak perusahaan bersedia dicabut izin usaha pertambangannya.
Sebelumnya, tanggul penampung limbah tambang yang diduga berasal dari Kolam Tuyak milik PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) dilaporkan jebol pada Minggu (7/02/2021), sekitar pukul 21.00 WITA. Limbah tambang itu kemudian mengalir dan mencemari Sungai Malinau. Akibatnya, air sungai menjadi keruh kecoklatan, ratusan ikan ditemukan mati mengambang, dan ekosistem sungai menjadi rusak.
Walhasil akses terhadap air bersih pun terganggu. Hal ini setidaknya dialami warga yang tersebar di 14 desa sekitar DAS Malinau. Yakni Desa Sengayan, Langap, Long Loreh, Gongsolok, Batu Kajang, Setarap, Setulang, Setaban), DAS Mentarang (Lidung keminci dan Pulau Sapi), DAS Sesayap (Desa Tanjung Lapang, Kuala Lapang, Malinau Hulu, dan Malinau Kota).
Tak hanya itu, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Apa’ Mening bahkan terpaksa menghentikan layanan air bersih sejak Senin, 8 Februari 2021 lalu, akibat sumber air baku PDAM dari Sungai Malinau yang tercemar parah. Kala itu demi memenuhi kebutuha air bersih, warga pun terpaksa menadah air hujan.