LIPUTAN KHUSUS:

UU Minerba Hilangkan Hak Konstitusi Warga Negara


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Para Pemohon menganggap UU Minerba telah membuat warga negara kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Tambang

Selasa, 10 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sidang perdana Judicial Review atau Hak Uji Materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang diajukan dua warga Banyuwangi, bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur (Kaltim), dengan Nomor Perkara 37/PUU-XIX/2021, telah digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (9/8/2021) kemarin.

Dalam pokok-pokok permohonan JR UU Minerba yang diajukan ke MK, para Pemohon menganggap UU Minerba telah membuat warga negara kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Lantaran pasal 162 dalam UU tersebut berpotensi mengkriminalisasi warga yang menolak atau dianggap menghalangi pertambangan.

Kriminalisasi dimaksud bahkan telah terjadi dan dialami oleh salah satu Pemohon, Nur Aini, warga Banyuwangi yang menolak adanya aktivitas pertambangan di lingkungan tempat tinggalnya di kawasan Tumpang Pitu. Dalam konferensi pers yang digelar setelah sidang perdana JR UU Minerba, Nur Aini menuturkan bahwa UU Minerba telah membuat dirinya yang menolak pertambangan emas di Tumpang Pitu menjadi terjerat hukum, karena dilaporkan ke kepolisian.

"Karena UU Minerba ini menjerat saya, bahwa saya dilaporkan ke Polres. Mempersulit perjuangan saya. UU Minerba ini membuat kami, warga yang tinggal di sekitar tambang menjadi merasa terancam. Siapa yang menghalangi tambang bisa dijerat menggunakan UU Minerba itu tadi," kata Nur Aini.

Sidang perdana Judicial Review UU Minerba yang diajukan warga Banyuwangi bersama Walhi dan Jatam Kaltim digelar secara daring, Senin (9/8/2021) kemarin.

"Kan saya memang memperjuangkan lingkungan karena lingkungan saya dirusak oleh tambang itu. Bukan hanya saya, banyak juga kawan-kawan yang menolak tambang. Pro-kontra. Yang pro ini tidak memikirkan nasib ke depan. Hidup ini berkepanjangan dan punya generasi. Kalau lingkungan hancur, generasi mendatang mau ditaruh dimana. Saya sebagai seorang ibu punya tanggung jawab menjaga lingkungan untuk generasi akan datang," tambah Nur Aini.

Nur Aini menjelaskan, sebagai warga yang hidup di lingkar tambang emas Tumpang Pitu, dirinya merasakan betul kerusakan yang ditimbulkan oleh tambang. Nur Aini menuturkan, aktivitas pertambangan di Tumpang Pitu telah menyebabkan daerah tempat tinggalnya diterjang banjir lumpur pada 2016 lalu. Bahkan banjir lumpur itu mengalir hingga ke laut.

Tak hanya itu, tiap kali musim kemarau daerah tempat tinggalnya kini mengalami kekeringan atau kesulitan mendapatkan air bersih. Hal itu terutama terjadi dalam 2 tahun terakhir. Padahal dulunya, sebelum ada pertambangan emas di Tumpang Pitu, hal tersebut tidak pernah terjadi.

"Kalau pertambangan terus terjadi, inikan makin parah. Kita hidup itu butuh tempat. Kalau enggak ada rakyat, ya enggak ada pemerintah. Rakyat yang di kampung itu yang harus dipelihara oleh pemerintah," kata Aini, dalam sebuah konferensi pers, Senin (9/8/2021) kemarin.

Kehadiran tambang di Tumpang Pitu, daerah tempat tinggalnya, tak hanya mengakibatkan kerusakan lingkungan, namun juga mengancam keselamatan dirinya beserta keluarga. Nur Aini menuturkan, terdapat kelompok warga yang mendukung tambang, yang mengancam akan membakar rumah Aini. Hanya karena dirinya dan warga lainnya gigih menolak kehadiran industri ekstraktif petambangan emas milik Merdeka Gold Copper di Tumpang Pitu.

"Kalau intimidasi sudah biasa menurut saya. Pernah rumah saya itu mau dibakar oleh orang-orang yang pro tambang. Mereka pikir semua orang harus pro, itu tidak bisa. Enggak ada pertambangan yang ramah lingkungan, itu tidak ada, pasti merusak."

"Saya tidak melawan pemerintah. Justru ingin mempertahankan Negara. Gunung Tumpang Pitu itu bentengnya Pulau Jawa. Benteng bagi nelayan, benteng dari puting beliung, dan benteng sumber air. Kalau gunung-gunung dihabiskan, masyarakat itu mau kemana? Kita ingin hidup layak. Kita mencari kemerdekaan dan kedamaian," terang Nur Aini.

Koordinator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang mengatakan, kewenangan pemerintah daerah yang ditarik ke pemerintah pusat akan memposisikan warga semakin menjadi korban industri pertambangan.

"Tata ruang, itu bagian dari hak konstitusional warga sipil di daerah yang justru jadi korban dari rezim pertambangan. Di Kalimantan Timur misalnya, di sana ada kehidupan. Ada sumber penghidupan. Daerah itu bukan ruang kosong," ujar Rupang.

Tim Advokasi JR UU Minerba menilai, Majelis Hakim MK seharusnya mengenal adanya hukum progresif, yang fungsinya mendorong penegakkan hak asasi manusia. Dalam hal kewenangan pemerintah daerah yang dicabut, Tim Advokasi menyoroti partisipasi publik yang hilang karena adanya perubahan kewenangan dari daerah ke pusat.

"Bu Aini sudah menjelaskan bahwa sebagai warga negara, Ia kehilangan hak seperti penghilangan sumber kehidupan. Lalu terkait pencabutan kewenangan pemerintah daerah, akhirnya akses masyarakat untuk mengawasi sudah tidak ada lagi di tingkat daerah," kata Muhammad Isnur, Tim Tim Adokasi JR UU Minerba dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Isnur menambahkan, saat ini ketika warga ingin mengadukan kerugian akibat pertambangan, bupati dan gubernur menolak untuk membantu masyarakat dengan alasan kewenangannya telah dicabut oleh pemerintah pusat. Isnur menyontohkan kondisi warga Toba, Sumatera Utara yang harus berjalan kaki menempuh ribuan kilometer untuk berjumpa presiden agar permasalahan di daerah tempat tinggalnya benar-benar mendapat perhatian dari pemerintah pusat.

"Bayangkan jika warga Papua, Jawa Timur, dan Bangka Belitung harus mengadu ke Jakarta."

Lasma Nadia, Tim Adokasi JR UU Minerba dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengatakan, pihaknya sebagai kuasa hukum akan memperbaiki poin-poin yang menjadi masukan atau nasihat dari Majelis Hakim MK. Yang mana Majelis Hakim menyampaikan pihaknya mempunyai waktu 14 hari untuk melakukan perbaikan.

Kita akan memperbaiki di sidang 23 Agustus nanti. Tanggal 22 Agustus sore, kita akan submit perbaikannya. Kita berharap setelah tanggal 23 sidang perbaikan, mudah-mudahan dilanjutkan," kata Lasma Natalia.

Pandangan Hakim MK

Dalam sidang yang digelar secara daring tersebut, Majelis Hakim MK memberikan beberapa pandangan terhadap sejumlah pokok permohonan JR UU Minerba yang dianggap perlu dicermati lebih lanjut oleh Pemohon. Seperti tentang hak pemerintah daerah dalam penerbitan dan pengawasan pertambangan yang hilang karena kewenangannya ditarik ke pusat, dan hilangnya hak konstitusi warga negara untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.

"Akan ada yang saya minta penegasan, antara kehilangan kewenangan oleh pemerintah daerah, ataukah kehilangan hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik sesungguhnya? Ini berkaitan dengan legal standing," kata Hakim MK, Suhartoyo, dalam sidang pertama JR UU Minerba yang digelar di ruang sidang MK dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, Senin (9/8/2021).

Suhartoyo menguraikan soal legal standing. Menurut Suhartoyo, para Pemohon harus memiliki legal standing yang jelas terhadap pasal-pasal yang diajukan ke MK untuk diuji. Mengenai hak konstitusi warga negara mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, kata Suhartoyo, para Pemohon harus membuktikan sejauh mana kontribusi secara riil dan aktif terhadap hal-hal yang berkaitan konstitualitas norma-norma pasal yang dipersoalkan.

Masih soal legal standing, Hakim MK Arief Hidayat juga mengingatkan, apabila permohonan yang diajukan adalah mengenai pasal yang mengakibatkan hilangnya kewenangan pemerintah daerah dalam hal penerbitan izin dan pengawasan pertambangan, maka pihak yang mengajukan permohonan haruslah pemerintah daerah. Sehingga Arief menyarankan, agar beberapa hal yang menjadi masukkan atau nasehat dari Majelis Hakim MK bisa dipertimbangkan dan dicermati lebih lanjut, sehingga permohonan yang diajukan oleh para Pemohon bisa diperbaiki sebelum diajukan kembali.