LIPUTAN KHUSUS:

Tujuh Tahun Terakhir, Ada 46 Gajah Mati di Aceh


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Dalam kurun waktu 2015-2021 terdapat 46 kasus kematian gajah sumatera di Aceh. Perburuan liar dan konflik dengan manusia jadi penyebab utama.

Biodiversitas

Jumat, 13 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Dalam kurun waktu 7 tahun terakhir, 2015-2021, terdapat 46 kasus kematian gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Aceh. Perburuan liar dan konflik dengan manusia menjadi penyebab utama tingginya angka kematian satwa dilindungi ini di wilayah tersebut.

Kepala Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum LHK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sumatera, Subhan mengatakan, dalam waktu tahun itu tercatat ada 528 kasus konflik gajah dengan manusia di Aceh. Dengan rincian, 49 kasus pada 2015, 44 kasus pada 2016 dan 103 kasus pada 2017.

Selanjutnya pada 2018 ada 73 kasus, pada 2019 terdapat 107 kasus, dan pada 2020 ada 130 kasus. Sedangkan pada 2021, Januari hingga Agustus, sebanyak 76 kasus. Dari ratusan kasus konflik gajah tersebut, 46 kasus di antaranya menyebabkan kematian gajah.

"Kasus kematian gajah juga cukup tinggi, dalam kurun waktu tujuh tahun itu ada 46 kasus kematian yang kita catat," kata Subhan, kemarin, dikutip dari Antaranews.

Tim medis BKSDA Aceh saat melakukan proses nekropsi atau bedah bangkai pada gajah yang ditemukan mati di kebun warga di Desa Tuha Lala, Kecamatan Mila, Kabupaten Pidie, Aceh, Rabu (9/9/2020)./Foto: BKSDA Aceh

Lebih lanjut Subhan mengatakan, penyebab tingginya kematian dan konflik gajah itu disebabkan oleh maraknya perambahan hutan, alih fungsi hutan dan praktik penebangan liar.

"Ini harus menjadi perhatian. Kasus-kasus perburuan liarm juga jadi risiko tinggi akan menyusutnya satwa kunci di Aceh," ujar Subhan.

Terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, A. Hanan mengatakan, 57 persen penyebab kematian gajah sumatera di Aceh diakibatkan adanya konflik dengan masyarakat. Kemudian 10 persen diakibatkan oleh perburuan dan sisanya, 30 persen, mati secara alami.

Menurut Hanan, untuk mencegah konflik satwa dan manusia tidak berkelanjutan, perlu menciptakan penataan ruang dengan mempertimbangkan habitat satwa di Aceh.

"Pembinaan padang rumput, penanaman dan pemeliharaan pohon [elindung, pembuatan fasilias air minum, tempat berkubang dan mandi satwa, penjarangan jenis," kata Hanan.

Sementara itu, mengenai kasus perburuan satwa di Aceh, Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Aceh, Wahyudi mengatakan, ada beberapa motif yang membuat perburuan satwa di Aceh marak terjadi. Misalnya tingginya permintaan pasar dan nilai ekonomis yang tinggi. Selain itu terdapat 4 modus lain yang kerap ditemukan dalam perburuan satwa di Aceh.

"Seperti pemasangan jebakan, jerat, ranjau tombak dan memberi racun pada makanan yang disukai satwa," kata Wahyudi.

Lebih lanjut Wahyudi menambahkan, pada 2019 lalu pihaknya telah menangani 9 perkara dengan 17 tersangka terkait perburuan kasus satwa dilindungi di Aceh. Sedangkan pada 2020 lalu, 7 kasus dengan 4 tersangka.

"Untuk 2021 itu ada dua perkara dengan dua tersangka. Ini kasusnya perburuan orangutan dan kasus gajah mati tanpa kepala di Aceh Timur."

Antaranews