LIPUTAN KHUSUS:
Masyarakat Adat Di Kalbar Dikriminalisasi Usai Aksi Damai
Penulis : Kennial Laia
Masyarakat adat Dayak Bekati Riuk di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, ditangkap polisi. Diduga kriminalisasi usai aksi protes ke perusahaan perkebunan sawit.
Sawit
Jumat, 27 Agustus 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Masyarakat Adat Dayak Bekati Riuk di Dusun Sebalos, Desa Sango, Kecamatan Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, ditangkap aparat kepolisian. Penangkapan tersebut dinilai sebagai upaya kriminalisasi usai aksi damai menolak perusahaan di tanah adat.
Warga yang ditangkap bernama Tapos ditangkap di depan teras warung kopi di Pasar Sanggau Ledo, sekitar pukul 11 malam, Selasa, 24 Agustus 2021. Menurut keterangan saksi, telepon genggam Tapos dirampas sebelum digiring ke mobil petugas tanpa perlawanan.
Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkayang Nico Andasputra menyebut penangkapan itu buntut dari aksi protes masyarakat adat pada September 2020 lalu. Aksi tersebut dipicu oleh ketidakadilan agraria yang dialami masyarakat yang tanahnya "diserobot" oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit bernama PT Ceria Prima.
Dalam aksinya, masyarakat menuntut PT Ceria Prima bertanggungjawab atas pencaplokan tanah adat wilayah Sebalos seluas 117 hektare yang dijadikan kebun sawit PT Ceria Prima tanpa persetujuan masyarakat Sebalos pada 1998.
“Masyarakat menuntut hak berupa tanah adat yang dijadikan perkebunan sawit tanpa izin masyarakat. Ketika masyarakat melakukan aksi damai berujung kemarahan karena aspirasi tidak diterima, perusahaan malah melaporkan hal tersebut ke Polres,” terang Nico melalui pesan teks, Kamis, 26 Agustus 2021.
Nico mengatakan, masyarakat telah melakukan berbagai upaya termasuk penentuan tapal batas dusun Sebalos dan audiensi bersama pemerintah daerah sejak 2016. Namun, hal itu terkendala urusan administrasi sehingga penyelesaiannya tidak jelas.
Salah satu isi kesepakatan pada 2016 adalah masyarakat menuntut PT Ceria Prima menghentikan semua kegiatan di lahan sengketa hingga konflik selesai. Namun, perusahaan tersebut tetap beroperasi, termasuk memanen buah sawit di lahan sengketa.
Pada 9 September 2020, masyarakat kembali melakukan protes. Menurut Nico, aksi itu berbuntut “kekecewaan dan kemarahan”. Akibatnya, Tapos dan beberapa warga di Dusun Sebalos harus berhadapan dengan hukum.
“Mencermati kriminalisasi dan penangkapan Pak Tapos, warga Dusun Sebalos dan pejuang hak masyarakat adat dan agraria, kami berpendapat telah terjadi persoalan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Nico.
Komunitas masyarakat adat dan aktivis di Bengkayang mendesak kepolisian membebaskan Tapos dari tindakan kriminalisasi. Nico juga mengatakan, masyarakat adat meminta pemerintah untuk turun tangan menyelesaikan konflik agraria dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat Dayak Bekati Riuk di Sebalos.
Koalisi itu juga mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (ATR/BPN) untuk meninjau ulang izin perkebunan PT Ceria Prima.
“Kami juga meminta agar Bupati Kabupaten Bengkayang segera memfasilitasi proses mediasi dan penyelesaian konflik agraria dan pelanggaran HAM oleh PT Ceria Prima dan pihak kepolisian terhadap warga Sebalos,” pungkas Nico.
Kronologi penangkapan Tapos
Rabu pagi (25/8), masyarakat adat Dusun Sebalos gempar karena mengira salah satu warganya bernama Tapos hilang atau diculik karena tak pulang. Tak lama kemudian, seorang saksi menginformasikan bahwa Tapos telah ditangkap polisi pada Selasa malam (24/8) di warung kopi di Pasar Sanggau Ledo.
Salah seorang masyarakat adat Dayak Bekati Riuk memegang poster saat aksi protes terhadap PT Ceria Prima di Bengkayang, Kalimantan Barat, September 2020. Foto: Istimewa
Usai mendengar kabar tersebut, kepala dusun Sebalos Philipus Sogang bersama kepala adat Sebalos, istri dan anak Tapos bergegas ke Mapolres Bengkayang untuk menanyakan kebenaran kabar penangkapan.
Pada pukul 13.00 WIB, petugas jaga Polres Bengkayang mengonfirmasi penangkapan dan penahanan Tapos. Pihak keluarga diminta menunggu konfirmasi dan hanya diperbolehkan menitipkan pakaian.
Satu jam kemudian, keluarga Tapis diminta datang ke Mapolres Bengkayang, dan langsung diarahkan ke ruang pemeriksaan dengan alasan Kapolres dan Kasat Reskrim sedang bertugas di luar. Di dalam ruangan tersebut, petugas langsung menyerahkan surat penangkapan dan surat penetapan tersangka kepada istri dan anak Tapos.
Setelah keluar dari ruang pemeriksaan, keluarga meminta izin untuk menemui Tapos. Namun mereka hanya bisa bertemu dalam jarak sekitar 5 meter yang dibatasi dua lapis pintu jeruji besi yang dijaga ketat oleh petugas.
“Dalam pertemuan tersebut, Pak Tapos menggunakan masker namun beberapa tahanan lainnya tidak memakai masker dengan kondisi ruangan yang sempit,” kata Nico.