LIPUTAN KHUSUS:

Catatan Koalisi Soal Perlunya Perpanjangan Moratorium Sawit


Penulis : Sandy Indra Pratama

Inpres Moratorium Sawit merupakan manifestasi dari kewajiban Negara dan bagian proses uji tuntas HAM dalam melindungi keberlanjutan masyarakat.

Sawit

Senin, 20 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Koalisi Moratorium Sawit menilai sejauh ini kebijakan moratorium belum menunjukkan kemajuan berarti  dałam perbaikan tata kelola Sawit di Indonesia. Koalisi menilai bahwa kebijakan moratorium sawit penting untuk diperpanjang sekaligus  diperkuat dalam berbagai aspek. 

Pengkampanye Forest Watch Indonesia (FWI) Agung Ady mengatakan moratorium sawit seharusnya diperpanjang dengan beberapa catatan: harus dilaksanakan secara serius  dan lebih transparan. 

Publik harus lebih banyak dilibatkan dalam prosesnya, kata Agung, baik dalam hal  evaluasi perizinan hingga penyebarluasan informasi hingga ke level daerah. Sehingga tidak ada  lagi kepala daerah yang tidak menjalankan kebijakan ini karena telat mendapatkan informasi. 

Pemerintah pusat juga harus mau terbuka jika menemukan kendala dalam mengimplementasikan  kebijakan ini, jika semua pihak (termasuk CSO) turut dilibatkan, ada mekanisme check & balance  yang bisa memastikan tidak adanya saling lempar tanggung jawab dan tujuan inpres moratorium  sawit dapat dilaksanakan sesuai dengan mandatnya. Yaitu memperbaiki tata kelola perkebunan  sawit menuju sawit berkelanjutan.

Sejumlah petani lokal mengangkut hasil panen kelapa sawit kedalam truk untuk dibawa ke pabrik di Kawasan perkebunan Batang Serangan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Sabtu (5/9). Sejumlah petani mengaku harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit anjlok dari Rp1.500 kg menjadi sekitar Rp600 dan Rp500 kg akibat dampak krisis ekonomi global./Foto: ANTARA/Septianda Perdana.

“Satu hal yang seringkali luput adalah adanya kewajiban dalam aspek penegakan hukum,” ujar Agung. Inpres  menginstruksikan KLHK untuk mengambil langkah hukum dan/atau tuntutan ganti rugi atas  penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Namun, tidak ada instruksi lebih lanjut yang  diberikan kepada aparat penegak hukum seperti Kejaksaan dan/atau Kepolisian untuk tindak  lanjutnya. 

Untuk permasalahan ini, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan dari Indonesian Center for  Environmental Law (ICEL), Adrianus Eryan mengatakan konteks penegakan hukum menjadi relevan dan  penting apabila pemerintah memang serius melakukan perbaikan tata kelola perkebunan sawit  melalui pelaksanaan Inpres. Jika memang kewajiban dalam Inpres belum seluruhnya selesai  dilaksanakan, maka menjadi semakin relevan dan mendesak bagi presiden untuk memperpanjang  sekaligus memperkuat Inpres Moratorium Sawit. 

Senada dengan hal itu, Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan meski belum optimal, capaian  implementasi moratorium sawit patut diapresiasi. Memang perbaikan tata kelola sawit yang menjadi cita cita besar masih jauh dari harapan. 

“Namun jika inpres ini benar-benar tidak dilanjutkan maka ini akan  sangat mengkhawatirkan, hutan akan terancam, ekspansi sawit akan terus terjadi serta dapat  berujung pada meningkatkan konflik di masyarakat,” kataya.

Rahmadha, Juru Kampanye Sawit Kaoem Telapak (KT) menambahkan, pentingnya perbaikan  tata kelola sawit berpengaruh terhadap keberterimaan sawit Indonesia di pasar global. Negara negara pasar seperti Uni Eropa (UE), Inggris, dan Amerika Serikat saat ini sedang  mengembangkan legislasi uji tuntasnya untuk memastikan bahwa semua komoditas produk yang  dijual di pasar mereka bebas dari deforestasi dan degradasi lahan. 

”Sejauh ini Kaoem mencatat uji tuntas  yang sedang disusun UE dan Amerika Serikat kemungkinan besar akan menambahkan skema  benchmarking di mana negara-negara dengan sejarah deforestasi yang tinggi akan memiliki  persyaratan pelaporan dan penelusuran yang lebih ketat pula,“ katanya. 

Jika moratorium sawit diperpanjang  dan diperkuat, sehingga berdampak pada perbaikan tata kelola, maka sawit Indonesia berpeluang tergolong komoditas low risk dan memudahkan pasar Eropa dan Amerika akan menerima.

Sementara itu dari sisi Hak Asasi Manusia, Andi Muttaqien, Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengatakan Inpres Moratorium Sawit merupakan salah satu skenario penting yang telah disusun oleh Pemerintah, dalam merespon berbagai isu keberlanjutan di sektor  perkebunan sawit, seperti persoalan tumpang tindih lahan perkebunan sawit di kawasan hutan yang juga berdampak pada persoalan HAM. 

Selain itu, lanjut dia, Inpres Moratorium Sawit pula merupakan manifestasi  dari kewajiban Negara dan bagian proses uji tuntas HAM dalam melindungi keberlanjutan masyarakat khususnya di wilayah yang memiliki pelanggaran HAM yang tinggi, tidak terkecuali di  area perkebunan sawit. “Untuk itu, penting bagi Pemerintah untuk melanjutkan dan memperkuat  kebijakan moratorium ini kedepan,” ujar Andi.

Dukungan perpanjangan kebijakan moratorium sawit juga datang dari masyarakat secara umum.  Melalui petisi change.org yang bertajuk “Pak Jokowi Tolong Perpanjang Moratorium Sawit, Supaya  Hutan Indonesia Tetap Lestari”, terdapat sebanyak 3.461 orang yang menuntut moratorium sawit  tetap terus dilakukan.  

Selain itu pada Jumat, 17 September 2021 Koalisi Moratorium Sawit juga telah mengirimkan surat  terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk melakukan perpanjangan kebijakan moratorium  sawit. Harapan dari Koalisi Moratorium Sawit, Presiden dapat memperpanjang dan memperkuat  kebijakan moratorium sawit untuk masa depan hutan Indonesia.