LIPUTAN KHUSUS:

RUU EBT Untungkan Pengusaha Energi Batubara


Penulis : Aryo Bhawono

Mereka kecipratan insentif walau masih menghasilkan emisi karbon.

Energi

Sabtu, 09 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Masuknya gasifikasi batubara dan batubara cair dalam RUU Energi Baru menyisakan ironi, yakni insentif bagi pengusaha energi berbahan fosil. Niat untuk mentransformasi energi terbarukan sebagai pokok energi nasional pun jauh dari harapan. 

Manajer Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo, mengungkap langkah DPR untuk memasukkan gasifikasi batubara dan batubara cair ke dalam RUU EBT menyisakan masalah besar. Ia menyebutkan rancangan perundangan ini justru memberikan angin segar bagi pengusaha energi berbahan fosil yakni pemberian insentif. 

“Dari draf yang kami dapat, draf bulan Agustus 2021, badan usaha yang melakukan konversi energi tak terbarukan dan menurunkan emisi dapat insentif dari dana EBT, kata-kata ini bisa menjadi dasar memperoleh insentif itu,” ucap dia dalam media briefing ‘Masalah-masalah Draf RUU EBT’ yang digelar gerakan #BersihkanIndonesia pada Jumat (8/10/2021).

Konversi energi ini dapat berupa gasifikasi batubara dan batubara cair atau meningkatkan PLTU dengan teknologi supercritical atau ultracritical. Selama ini rata-rata PLTU di Indonesia masih menggunakan teknologi subcritical. 

Ilustrasi emisi karbon (wikipedia)

Padahal, menurut dia, konversi maupun peningkatan teknologi PLTU hanya mengurangi kadar karbon yang sedikit. Konversi batubara hanya menekan sebesar 20-30 persen kadar karbon dalam polusinya. Sedangkan meningkatkan teknologi PLTU hanya mengubah kandungan polusi karbon dari 1.000 kg/MW Hour menjadi 700-800.

“Pertanyaannya adalah apakah inovasi semacam ini sudah cukup. Dan mereka dapat insentif yang ditanggung oleh negara, ujungnya duit negara ini ada di tax payer, yakni masyarakat,” ucapnya.

Insentif yang diberikan berupa kemudahan usaha, fiskal, dan non fiskal. Sumber dana tersebut bisa dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan dana EBT.

Keuntungan berupa insentif itu diambil lagi oleh pengusaha energi berbahan fosil. Padahal seharusnya keuntungan itu diberikan untuk pengembangan energi terbarukan, jadi tak ada proses transformasi. 

Deputi Program Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Grita Anindarini, mengungkapkan kemudahan ini memperpanjang pemberian kemudahan dan keuntungan bagi pengusaha batu bara di Indonesia. Ia menyebutkan kemudahan ini terdapat dalam berbagai produk perundangan dan kebijakan pemerintah.

Misalnya saja dalam revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja sendiri sudah memberikan royalti 0 persen untuk pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah. Kemudian dalam UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Minerba juga memberikan beberapa kemudahan instrumen lingkungan hidup dan relaksasi tata ruang. bagi usaha pertambangan.

Kebijakan Proyek Strategis Nasional sendiri menekankan gasifikasi batu bara di Tanjung Enim dan Coal to Methanol di Kutai Timur.

“Nah, kalau di RUU EBT ini insentif juga diberikan kepada pengusaha energi nuklir yang sama sekali bukan energi terbarukan atau baru tetapi memiliki risiko tinggi,” ucapnya. 

Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Walhi, Dwi Sawung, mengungkapkan draf RUU EBT ini tidak mempertimbangkan emisi daur hidup. Selama ini pertambangan batu bara sendiri juga menyisakan masalah lingkungan. Seharusnya upaya menekan karbon juga dilakukan dengan melihat sisi ini. 

Ia pun menilai seluruh persoalan ini berawal dari salah kaprah pemberian judul berupa energi baru terbarukan (EBT). Seharusnya cukup energi terbarukan (ET) sehingga tidak melebar pada sumber energi fosil.