LIPUTAN KHUSUS:
Kriminalisasi UU Minerba Di Pinggir Sungai Progo
Penulis : Aryo Bhawono
Kriminalisasi warga menggunakan UU Minerba merambah desa-desa yang menolak tambang. Padahal mereka menjaga lingkungan dari kerusakan.
Tambang
Selasa, 12 Oktober 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Dua warga Padukuhan Jomboran, Sleman, DI Yogyakarta, Iswanto dan Engfat Jonson Panorama, harus berhadapan dengan polisi karena menolak tambang pasir di desanya. Polisi menggunakan pasal 162 UU No 3 Tahun 2020 Tentang Minerba untuk menetapkan keduanya menjadi tersangka. Pasal ini pun kerap dikenakan untuk kriminalisasi penolak pertambangan.
Penetapan tersangka Iswanto dan Sapoi, nama sapaan Engfat, dilakukan melalui surat dimulainya penyidikan (sprindik) No. B/122/ X/ 2021/ Reskrim yang dikeluarkan oleh Polres Sleman pada Kamis lalu (7/10/2021). Penetapan tersangka ini merupakan tindak lanjut laporan penambang pasir, Pramudya Afgani, karena merasa usahanya dihalangi.
Warga yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) menganggap penetapan tersangka ini merupakan upaya kriminalisasi.
“Mereka seharusnya dilindungi karena merupakan pejuang lingkungan yang menjaga desanya dari kerusakan tambang. Tapi justru dijadikan tersangka,” ucap Fandi, perwakilan PMKP, pada jumpa pers yang digelar di kantor Walhi Yogyakarta pada Senin (11/10).
Penolakan dua usaha tambang, PT Citra Mataram Konstruksi (MCK) dan Pramudya Afghani, sendiri sudah terjadi sejak 2017 lalu. Pada Desember tahun lalu masyarakat melakukan aksi penolakan terhadap pertambangan yang dilakukan di tepi Sungai Progo di sekitar desa. Namun aksi ini justru berbalas dengan pemeriksaan warga oleh kepolisian.
Pada Februari hingga Maret 2021 sebanyak 18 warga diperiksa oleh polisi terkait penolakan ini. Hingga ujungnya adalah penetapan dua warga sebagai tersangka.
Proses hukum inipun dirasa cukup kontroversial. Pasalnya sebelum kepolisian melakukan pemeriksaan, warga melaporkan dugaan pemalsuan tandatangan yang menjadi dasar persetujuan warga untuk memperoleh izin operasi pertambangan. Pengaduan ini dilayangkan ke Polda DIY namun hingga sekarang tak ada kabar sama sekali.
“Sampai sekarang tidak ada kejelasan atas laporan itu. Tetapi malah menjadikan warga sebagai tersangka dengan UU Minerba,” kata Fandi.
Penambangan pasir di tepi Sungai Progo sendiri telah membawa dampak buruk bagi warga sekitar. Air sumur untuk kebutuhan minum menjadi kering sehingga sumur harus diperdalam. Selain itu warga harus membeli kebutuhan air bersih.
Penetapan tersangka menggunakan UU Minerba ini bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya Nur Aini, warga Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi, dan beberapa warga desa mendapat surat panggilan dari Polres Banyuwangi sebagai saksi terlapor perkara dugaan tindak pidana merintangi dan mengganggu usaha pertambangan.
Paini, nama sapaan Nur Aini,menolak operasi tambang emas PT. Merdeka Copper Gold di areal Gunung Salakan. Lokasi tambang dekat ruang hidup mereka.
Yaman, Nelayan Desa Matras, Sungailiat, Bangka dan 12 nelayan lainnya juga dipanggil Direktorat Polairud Polda Babel karena dianggap merintangi dan mengganggu tambang timah kapal isap pasir Indosiam Phuket 1 dan Sor Chokedee. Operasi kapal ini merusak wilayah tangkap nelayan tradisional Matras-Pasaren.
Empat warga Kelurahan Jawa, Kecamatan Sanga-Sanga juga dijerat dengan perundangan serupa setelah dilaporkan PT. Adimitra Baratama. Polisi memeriksa mereka dengan dugaan menghalangi dan menghentikan aktivitas pertambangan.
Koalisi Bersihkan Indonesia kini tengah mengajukan Judicial review atas UU Minerba di Mahkamah Konstitusi. Namun sepanjang proses persidangan berjalan korban kriminalisasi terus berjatuhan.
Kuasa Hukum PMKP dari LBH Yogyakarta, Budi Hermawan, menegaskan lembaganya akan mendampingi warga, termasuk dua warga yang menjadi tersangka. Ia akan mengerahkan seluruh jaringan pendamping hukum di Yogyakarta untuk melakukan pembelaan.
“Kriminalisasi dengan pasal UU Minerba ini semakin marak. Kami akan mengerahkan semua Lembaga pendamping hukum untuk melakukan advokasi,” tegas dia.