LIPUTAN KHUSUS:
Papua: Sidang Adat Moi Putuskan Terus Berjuang Membela Hak Warga
Penulis : Sandy Indra Pratama
Sidang Adat dipimpin oleh lima orang Nedinbulu (Hakim Adat). Perusahaan Sawit diundang tapi tak datang.
Agraria
Jumat, 15 Oktober 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - “Berjuang untuk hak itu tidak boleh takut, karena itu kita punya hak.Kita bukan berjuang untuk hak orang lain tapi hak kita sendiri jadi kita tidak boleh takut” --- mama Barbandina Osok, tokoh perempuan Moi.
Sekitar 70 orang perwakilan masyarakat adat Moi, Kamis (14/10), yang terdiri dari tetua, pemilik tanah dan hutan adat dari daerah Distrik Seget, Distrik Bagun, Distrik Klamono, Distrik Segun, Distrik Konhir, Distrik Klayili dan Distrik Sayosa, mengikuti acara sidang adat yang diadakan Lembaga Masyarakat Adat Malamoi di Keik Malamoi, Kota Sorong.
Sidang Adat dipimpin oleh lima orang Nedinbulu (Hakim Adat). Sidang dibuka dengan mendengar kata sambutan dari LMA Malamoi Bapak Silas Kalami dan ritual adat.
“Sidang adat ini adalah forum resmi bagi masyarakat adat pemilik hak ulayat untuk menyampaikan keluhan dan aspirasi mereka. Sidang adat akan memutuskan dan menyelesaikan perkara tuntutan permasalahan masyarakat adat secara adil, “ kata Silas Kalami, Ketua LMA Malamoi.
Pihak perusahaan, berdasarkan informasi sidang, seperti PT. Inti Kebun Lestari ; PT. Papua Lestari Abadi ; dan PT. Sorong Agro Sawitindo, turut diundang dalam sidang adat. Namun mereka memilih tidak hadir tanpa informasi.
Ketidakhadiran perusahaan mendapat sorotan dari peserta. Sidang adat dilanjutkan setelah mendapat persetujuan orang tua dan masyarakat adat, serta peserta undangan.
Anggota MRP Papua Barat, Matias Komegi mengatakan, sidang adat diakui oleh negara melalui Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Maka ia menyepakati sidang adat tetap dilaksanakan. Matias merupakan Ketua Pansus MRPB untuk permasalahan kelapa sawit di Kabupaten Sorong dan aktif mendorong peradilan adat untuk menyelesaikan permasalahan hak-hak masyarakat adat.
Selapas dibuka, sidang adat kemudian dilanjutkan dengan mendengar masukan dari pemerintah, NGO dan Mahasiswa untuk memberikan gambaran-gambaran umum. Lepas itu, Nadinbulu sebagai hakim adat mulai memberikan kesempatan kepada masyarakat masing-masing distrik untuk memberikan tanggapan mereka.
Masyarakat dari 6 (enam) distrik sepakat menolak ekspansi perkebunan kelapa sawit di atas tanah adat mereka dan mendukung Bupati Sorong dalam menghadapi gugatan.
“Kami tidak mau ada kelapa sawit dan kami mendukung bupati Sorong. Kami juga mendesak sumpah adat untuk buat bambu tui (bambu pamali) supaya tidak ada yang berani kasih tanah untuk perusahaan kelapa sawit” Pieter Koso, wakil ketua Dewan Adat Konhir.
Lepas semua berbicara, hakim adat dan orang tua adat kemudian melakukan sidang adat secara tertutup. Hasil sidang adat lalu dibacakan dihadapan peserta sidang adat.
Setelah mendengar dan mempertimbangkan pendapat, masukan dan keputusan dari peserta masyarakat adat, mereka mengambil keputusan bahwa: Mendukung penuh keputusan bupati Kabupaten Sorong mencabut izin-izin perkebunan kelapa sawit; Menolak kehadiran ketiga perusahaan kelapa sawit; bahwa keputusan yang dihasilkan hari ini adalah keputusan tertinggi dan mengikat bagi semua pihak secara adat; Pengadilan PTUN Jayapura haruslah mempertimbangkan keputusan dan hukum adat yang telah diputuskan dan hukum adat yang telah diputuskan sebagai bentuk penghormatan terhadap masyarakat hukum adat.