LIPUTAN KHUSUS:
Staf Ahli Kemenkeu: Banyak Kebun Tak Didaftarkan Sebagai Kebun
Penulis : Tim Kolaborasi
Potensi penerimaan pajak sektor sawit mencapai Rp 40 triliun. Namun realisasinya masih rendah. DJP dan KPK bekerja sama mematangkan rencana optimalisasinya.
Wawancara
Senin, 18 Oktober 2021
Editor : Kennial Laia
BETAHITA.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi menyebut potensi penerimaan pajak sektor sawit bisa sampai Rp 40 triliun. Tapi penerimaan tertinggi dari rantai industri yang sebagian menggasak 3,28 juta hektare hutan itu cuma Rp 21 triliun pada 2015—angka tertinggi sampai saat ini. “Kami sebenarnya mau mematangkan lagi barang lama ini,” kata Yon Arsal di kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Kamis, 14 Oktober 2021.
Ditemani Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Publik Yustinus Prastowo, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak Irawan, Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen Pajak Ihsan Priyawibawa, dan Kepala Sub Direktorat Advokasi Direktorat Peraturan Perpajakan II Dewi Sulaksminijati, Yon secara bergantian menjawab sejumlah pertanyaan terkait potensi kehilangan pajak sektor sawit dan sejumlah pemeriksaan lanjutan ke beberapa wajib pajak sawit.
Dalam perhitungan kami, potensi penerimaan pajak yang hilang di sektor usaha sawit paling sedikit mencapai Rp 22,83 triliun per tahun. Mengapa ini terjadi?
Mengurusi kebun ini, mengurus ekosistem besar. Pajak itu bagian hilir dari sebuah ekosistem, tergantung dari data, dan merupakan post transaction. Jika terjadi transaksi baru kami verifikasi. Soal potensi penerimaan PBB perkebunan sawit, isunya memang masih banyak kebun-kebun yang tidak didaftarkan sebagai kebun.
Irawan: Ini kan petunjuk dari angka besar. Tapi nanti harus kami tes, secara individual (wajib pajak), supaya nanti ujungnya menghasilkan berapa pajak yang kurang dibayar. Kalau saya lihat, sebenarnya adalah masalah data. Ada lahan enggak dilaporkan sebagai PBB perkebunan, tapi dilaporkan di PBB perkotaan dan pedesaan (domain pemerintah daerah), atau mungkin tidak dilaporkan juga. Harapannya ada satu peta, database yang satu, bagaimana memitigasi ini.
Dari lapangan kami menemukan kebun yang diduga tak dilaporkan dengan benar, atau sama sekali tak dilaporkan. Ada juga perusahaan yang melaporkan luas kebunnya, tapi tidak kebun-kebun di luar izin, misalnya kemitraan dengan koperasi…
Irawan: Dari sisi modus beberapa perusahaan, kalau pengalaman saya, umum itu dilakukan. Mungkin kalau yang sekarang ini, minyak sawit kan produk internasional. Kita pasarnya banyak ekspor. Sehingga transfer pricing ada banyak isu juga. Tax avoidance itu keniscayaan. Orang bayar pajak pengen rendah.
Bukankah masalah ini sudah lama juga ingin diperbaiki dalam program koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi? Saat itu sudah ada kajian potensi pajak sawit Rp 40 triliun…
Kalau dulu KPK mencoba menjadi institusi yang ingin memperbaiki ekosistem industri sawit. Mulai dari perizinan buka lahan, sampai perizinan usaha, dan penatakelolaan produksi. Kami juga diajak sejak 2015 itu untuk ikut di bagian hilirnya, yaitu bagian pemajakan. Dalam lima tahun, banyak yang kami temukan. Temuan-temuan itu menjadi objek kami. Yang menantang itu menerjemahkan data makro ke mikro.
Sekarang kerjasamanya dimulai lagi dengan KPK?
Dewi Sulaksminijati: Kami bentuk tim bersama, diawali oleh kerjasama Direktur Jenderal Pajak dan Pahala Nainggolan (Deputi Pencegahan KPK) yang diteken 9 Maret 2021. Pertemuan kami rutin seminggu-dua minggu sekali. Kami terus melakukan validasi dan sinkronisasi data apa yang ada di KPK dan DJP. Soal potensi pendapatan sampai Rp 40 triliun, informasi itu dari data tutupan sawit. Situasinya akan berbeda di realitas lapangan, satelit enggak bisa melihat. Kalau DJP melihat dari data mikro, individual, data yang disampaikan oleh wajib pajak kepada kami. Di situlah kami sudah melakukan pertukaran data, dan dalam proses sinkronisasi data. Dengan informasi ini, ada wajib pajak yang perlu jadi sorotan, itu akan jadi bagian kerjasama kami, untuk bisa menemukan, yang pas itu angkanya berapa kurang bayarnya.
Kantor Wilayah DJP Riau kabarnya telah mengajukan tiga perusahaan untuk diperiksa oleh pusat. Dua diantaranya bagian dari grup besar.
Dewi: Memang ada tiga WP yang dapat perhatian khusus, saat ini sedang penelitian lebih dalam. Kami belum bisa informasikan. Beberapa wajib pajak juga sudah jadi analisa kami. Saat ini kami fokus ke beberapa wajib pajak, cek acak.
Korsup KPK kan cukup panjang sejak 2016 sampai 2019, kenapa tidak ada penambahan penerimaan pajak sawit?
Ya karena perkebunan ini kan nilainya dari volume dikali dengan rupiah. Perlu kami lihat datanya. Korsup itu baru efektif kami turun itu sekitar 2018-2019. Lalu ada perjanjian kerjasama antara DJP dengan pemerintah daaerah. Tim lanjutannya 2021.