LIPUTAN KHUSUS:

Survei Gen Z dan Milenial: Krisis Iklim Semakin Mengkhawatirkan


Penulis : Kennial Laia

Gen Z dan milenial semakin khawatir dengan krisis iklim dan dampaknya. Pemerintah dan politisi dinilai bertanggungjawab menangani masalah tersebut.

Perubahan Iklim

Jumat, 29 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Generasi muda Indonesia semakin menaruh perhatian serius pada krisis iklim, dengan anggapan bahwa fenomena perubahan iklim semakin mengkhawatirkan serta memicu dampak yang lebih luas.

Hal itu terungkap dalam survei terbaru oleh Indikator Politik Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah, terbit menjelang konferensi tingkat iklim COP26 di Glasgow. Kuesioner menyasar responden anak muda berusia 17-35 tahun di seluruh provinsi Indonesia, yang dianggap mewakili lebih dari 80 juta penduduk pada pemilihan umum 2024.

Dalam survei tersebut, pemerintah dianggap paling bertanggung jawab untuk mengatasi persoalan perubahan iklim. Responden juga menilai partai politik belum memberi perhatian dan belum menjadikan krisis iklim sebagai prioritas dalam agenda politik.

“Gen Z dan milenial merupakan proporsi terbesar dari populasi Indonesia. Sangat penting memotret pendapat dan memetakan isu perubahan iklim dan politik anak muda. Jika politisi dapat menyerap aspirasi anak muda, maka demokrasi Indonesia akan membaik,” kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, Kamis, 28 Oktober 2021.

Aksi anak muda menuntut pemerintah agar menyetop penggunaan batu bara untuk menghadapi krisis iklim. Foto: Istimewa

Berdasarkan survei, mayoritas atau 82% responden anak muda di Indonesia mengetahui isu perubahan iklim. Sebanyak 85% responden menyebut korupsi sebagai isu pertama yang paling mereka khawatirkan diikuti dengan kekhawatiran akan kerusakan lingkungan sebanyak 82% responden. Isu polusi udara dan perubahan iklim tercakup dalam delapan besar isu yang paling dikhawatirkan anak muda.

Mayoritas responden menilai perubahan iklim sebagai masalah serius yang dampaknya telah terasa di Indonesia hingga komunitas dan individu. Hal itu terlihat dari berbagai peristiwa alam terkait iklim, dari cuaca yang lebih panas hingga banjir bandang.

Sebanyak 63% responden setuju bahwa cuaca yang lebih panas pada musim kemarau merupakan peristiwa yang paling dirasakan, diikuti perubahan cuaca mendadak 60%, dan 35% hujan serta banjir yang lebih sering terjadi.

Hasil survei juga mengungkapkan sejumlah faktor yang menjadi penyebab perubahan iklim di Indonesia: penggundulan hutan atau deforestasi menjadi faktor utama. Sumber emisi gas rumah kaca seperti gas buang sektor transportasi dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara serta pertambangan termasuk dalam 10 besar penyebab perubahan iklim.

Dampak dari perubahan iklim yang telah dirasakan tersebut, menurut 53% responden, telah mendatangkan kerugian bagi warga Indonesia.

Karena itulah, mayoritas responden menyatakan, semua pihak harus ambil bagian dalam mengurangi dampak perubahan iklim, dan menitikberatkan peran pemerintah untuk mendorong upaya mengatasi persoalan ini.

Pemerintah disebut harus berinvestasi mengembangkan sumber energi terbarukan seperti angin dan surya. Mayoritas responden juga setuju bahwa untuk mengatasi perubahan iklim, emisi dari industri dan perusahaan yang memproduksi bahan bakar fosil harus dikurangi.

Direktur Eksekutif CERAH Adhityani Putri mengatakan, survei tersebut diharapkan dapat memberikan perspektif baru bagi politisi dan  pengambil kebijakan dalam melihat isu perubahan iklim.

"Harapan kami, hasil survei ini dapat membuka mata para politisi dan pengambil kebijakan dan menjadi bukti bahwa krisis iklim perlu menjadi agenda politik utama di Indonesia sebagaimana krisis iklim menjadi isu politik di berbagai negara besar di dunia,” kata Adhityani.

Menurut Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto isu seperti lingkungan, pembangunan berkelanjutan, dan perubahan iklim belum menjadi isu populer di kalangan politisi saat pemilu dan pilkada.

“Kemungkinannya dua: politisi tidak paham isu atau tidak paham bagaimana menjangkau pemilih pemula dan muda untuk memilih isu dan selanjutnya mengkomunikasikan isu tersebut,” kata Bima, yang juga merupakan politisi PAN.  

“Jadi lebih banyak menjadikannya sebagai gimmick. Padahal anak muda suka yang substansial dan isu perubahan iklim ‘seksi’ di mata anak muda," pungkasnya.

Survei dilakukan secara tatap muka dengan metode stratified multistage random sampling. Jumlah sampel yang mencapai sebanyak 4.020 responden terdiri atas 3.216 responden usia 17-26 tahun dan 804 responden usia 27-35 tahun. Teknik sampling disusun sedemikian rupa agar dapat mewakili seluruh penduduk Indonesia dengan rentang usia 17-35.

Responden ini terdiri atas dua ukuran sampel. Ukuran sampel pertama sebanyak 3.216 responden di usia 17-26 tahun memiliki toleransi kesalahan (margin of error-MoE) sekitar ±1,8% pada tingkat kepercayaan 95%. 

Sementara ukuran sampel kedua sebanyak 804 responden usia 27-35 tahun memiliki toleransi kesalahan (MoE) sekitar ±3,5% pada tingkat kepercayaan 95%. Secara agregat, total sampel 4.020 responden usia 17-35 tahun memiliki toleransi kesalahan (MoE) sekitar ±2,7% pada tingkat kepercayaan 95%.