LIPUTAN KHUSUS:
Perusahaan Sawit Rusak Ekosistem Sungai, Hutan Adat Pertama Riau
Penulis : Kennial Laia
Aktivitas perusahaan kelapa sawit merambah hutan adat pertama di Riau. Hutan dan sungai kini tercemar.
Sawit
Selasa, 02 November 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Hutan adat pertama yang diakui di Riau dinyatakan rusak karena ekspansi dan aktivitas perusahaan sawit. Ekosistem sungai juga terganggu. Dampaknya, masyarakat adat di wilayah tersebut kini terekspos pada ancaman banjir, pohon tumbang, dan sedimentasi.
Hutan adat Imbo Putui merupakan hutan adat Riau pertama yang diakui negara pada 17 September 2019, melalui SK Nomor 7503/MENLHK-PSKL/PKTHA/KUM.1/9/2019. Hutan adat ini merupakan wilayah adat dari masyarakat adat Kenegerian Petapahan, yang bermukim di Desa Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar.
Desa Petapahan merupakan desa adat tua yang konon eksis sebelum zaman Sriwijaya, atau berdekatan dengan pembangunan Candi Muara Takus. Menurut aturan adat, hutan Imbo Putui tidak boleh dimanfaatkan tanpa seizin para.
“Imbo Putui adalah salah satu simbol masyarakat adat di Kenegerian Petapahan, karena sangat kental aturan yang diterapkan di Imbo Putui. Untuk memungut ranting saja tidak sembarangan. Bahkan, kalau salah bisa didenda,” kata direktur Perkumpulan Bahtera Alam Harry Oktavian, Senin, 1 November 2021.
Saat ini hanya tersisa 251 hektar saja yang masih berupa tegakan tanaman hutan, dan diakui negara. “Situasi sekarang sudah sangat berubah, hutan yang dahulu ada hubungan sosial dan budaya kini hanya ada di beberapa titik saja,” tambah Harry.
Menurut Harry, ekspansi sawit berkontribusi pada berkurangnya luas hutan adat Imbo Putui. Wilayah yang tersisa juga terletak di hilir, sehingga ekosistem sungainya turut terdampak berat oleh operasional perkebunan sawit. Padahal hutan dan sungai merupakan jantung peradaban masyarakat Petapahan.
Keberadaan sawit awalnya berdasarkan kesepakatan perusahaan dengan masyarakat adat. Namun, masyarakat baru menyadari dampaknya, termasuk ekosistem sungai yang rusak dan hilangnya sebagian wilayah hutan yang telah disepakati bersama untuk tidak dibuka.
Harry mengatakan, menurut keterangan masyarakat, PT Ramajaya Pramukti telah mengonversi sekitar 167 hektare hutan menjadi kebun sawit. Perusahaan ini juga dituduh telah merugikan dan merusak ekosistem hutan Imbo Putui dan sungai-sungai di dalamnya. Pohon-pohon di hilir sungai tumbang, sedimentasi, dan banjir menjadi wajah baru bagi hutan adat Imbo Putui, setelah lebih dari 20 tahun bersisian dengan perusahaan sawit.
PT Ramajaya Pramukti diduga tidak memiliki wilayah lindung (greenbelt) di sepanjang badan sungai. Akibatnya, bahan kimia dari pupuk dan racun mencemari sungai dan lingkungan. “Kegiatan ini sudah berlangsung lama sehingga berdampak pada kualitas air dan biota sungai,” jelas Harry.
“Hal lain adalah adanya pelurusan sungai, yaitu badan sungai dibuat seperti kanal. Badan sungai aslinya adalah berkelok-kelok tetapi situasi di lapangan diluruskan. Bahkan ada bekas badan sungai yang menjadi kering. Ini menimbulkan sedimentasi, sehingga terjadi pendangkalan di hilir sungai. Akibatnya, banyak pepohonan yang tumbang di hilir sungai karena banjir dan derasnya aliran air tidak terbendung karena sungai diluruskan.”
Direktur Sawit Watch Inda Fatinaware mengatakan, kasus serupa banyak dialami kelompok masyarakat adat lainnya. “Masyarakat termakan oleh janji manis tentang kesejahteraan dan kebaikan untuk kehidupan masyarakat adat, tetapi janji itu ternyata tidak terpenuhi,” kata Inda.
“Sebaliknya, masyarakat justru mendapatkan dampak buruk dari kehadiran perkebunan sawit. Sehingga Sawit Watch bersama Bahtera Alam mendampingi masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak hidupnya,” tegas Inda.
Saat ini, masyarakat adat Kenegerian Petapahan sedang berusaha untuk memperjuangkan haknya, termasuk kelestarian ekosistem sungai dan hutan larangan adat Imbo Putui. Bersama dengan Bahtera Alam dan Sawit Watch, masyarakat adat akan mengajukan keluhan kepada pihak yang telah mengesahkan operasional PT Ramajaya Pramukti sebagai perusahaan sawit yang berkelanjutan.
Harapannya, usaha ini dapat mengembalikan sedikit demi sedikit kelestarian sungai dan hutan adat Imbo Putui, sehingga sejarah panjang Imbo Putui dan desa Petapahan tidak tinggal nama.