LIPUTAN KHUSUS:

Menyoal PLTU Co-firing Batu Bara-Biomassa di Indonesia


Penulis : Kennial Laia

Proyek PLTU co-firing biomassa dinilai tidak berkelanjutan dan berisiko memperpanjang umur pembangkit batu bara. Pengembangan energi terbarukan harus jadi prioritas.

Energi

Rabu, 03 November 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Sejak kecil, Edi Suriana telah terbiasa dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Suralaya yang berlokasi tak jauh dari rumahnya di Kelurahan Suralaya, Kecamatan Pulomerak, Cilegon, Banten. Kini berumur 42 tahun, Edi aktif menyuarakan dampak PLTU batu bara itu terhadap kesehatan masyarakat sekitar.

Edi mengaku warga di kelurahan itu sering mengalami gangguan pernapasan akibat aktivitas PLTU, termasuk dirinya. Hal itu terjadi ketika arah angin berhembus ke arah pemukiman, menyebabkan masyarakat batuk-batuk. Hujan abu juga pernah turun hingga menutupi jendela dan pintu rumah. 

Yang bikin Edi risau, beberapa unit pembangkit listrik yang sudah tua tetap beroperasi. “Saya enggak tahu kenapa bisa lanjut,” kata Edi saat dihubungi pekan lalu.

Menjawab pertanyaan Edi, peneliti Trend Asia Andri Prasetiyo mengatakan beberapa unit PLTU Suralaya harusnya dihentikan. Namun, baru-baru ini pembangkit itu masuk dalam proyek ujicoba untuk implementasi pembangkit co-firing biomassa di Indonesia. 

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga uap batu bara. Foto: Getty Images

“Seharusnya PLTU tua yang telah beroperasi lebih dari 30 tahun itu pensiun. Tapi dengan pemberlakuan co-firing, seolah dapat alasan untuk tetap mengoperasikannya,” katanya. 

Situs PT Indonesia Power (anak perusahaan PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN) mencatat, dua unit pertama pembangkit listrik di Kelurahan Suralaya pertama kali dibangun pada 1984 hingga saat ini menjadi delapan unit. Dengan kapasitas terpasang sebesar 3.440 megawatt (MW), pembangkit ini menyumbang 17% dari energi kelistrikan Jawa-Madura dan Bali. 

PLTU Suralaya termasuk satu dari 114 unit (tersebar di 52 lokasi) pembangkit yang dikelola PLN yang menjalankan metode co-firing. Dengan target kapasitas 18,664 MW, pemerintah mengklaim metode ini menghasilkan energi ‘hijau’ karena bahan bakarnya dicampur dengan biomassa, salah satu sumber energi terbarukan.

Metode co-firing mencampur batu bara dengan biomassa untuk pembangkit listrik. Ada beberapa macam bahan yang digunakan termasuk kepingan kayu (woodchip), pelet kayu (wood pellet), serbuk kayu, cangkang sawit, sampah, hingga sekam padi.

Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE Andriah Feby Misna mengatakan, 42 lokasi PLTU telah melalui ujicoba dengan co-firing per September 2020. Sebanyak 20 diantaranya telah beroperasi komersial dengan pemanfaatan biomassa sebesar 149.456 ton. Sementara itu energi listrik yang dihasilkan sebesar 139.526 MwH.

Menurut Andriah, PLTU co-firing merupakan salah satu cara pemerintah untuk mempercepat capaian energi baru terbarukan (EBT) 23% pada 2025 dari sektor ketenagalistrikan. Saat ini, porsi capaian EBT masih minim, sebesar 11,2%.

“Untuk itu perlu dilakukan upaya terobosan dan percepatan untuk bisa mengejar target 23%,” kata Andriah, Sabtu, 30 Oktober 2021.

Pelaksanaan co-firing biomassa di PLTU milik PLN dengan porsi rata-rata 10% untuk PLTU Jawa-Bali dan 20% untuk PLTU luar Jawa-Bali. Dengan co-firing 70%, total kapasitas co-firing mencapai 2,7 GW dan membutuhkan 8-13 juta biomassa ton per tahun. “Upaya co-firing ini dapat berkontribusi dalam bauran energi sekitar 3-6%,” jelas Andriah.

Namun para ahli menilai pemerintah perlu mempertimbangkan opsi ini. Tantangan seperti sumber pasokan, mahalnya harga biomassa, hingga kendala teknis adalah sederet masalah yang menunggu jika metode co-firing terus dilanjutkan. Selain itu, beberapa menilai proyek ini semata menambah umur PLTU batu bara.

Bukan solusi terbaik

Metode co-firing biomassa telah digunakan sejak akhir 1990-an di berbagai negara, termasuk Cina dan India. Dalam berbagai penelitian, biomassa disebut sebagai sumber energi terbarukan. Penggunaan khusus pada pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) menghasilkan lebih sedikit emisi karbon dioksida, dibandingkan dengan energi fosil.

Peta jalan pemerintah terkait implementasi co-firing biomassa di 52 lokasi PLTU yang dikelola PLN. Foto: Kementerian ESDM

Namun, opsi ini tidak pernah menjadi favorit selama 20 tahun terakhir. Menurut Koordinator Peneliti Institute for Essential Services Reform (IESR) Pamela Simamora, salah satu penyebabnya adalah harga premium biomassa. 

Masalah krusial lainnya adalah keberlanjutan pasokan. Pamela mengatakan,  sulit untuk membangun industri rantai pasok biomassa di Indonesia. Jika mengikuti rencana pemerintah, ada 114 PLTU dengan kapasitas total 18 gigawatt. IESR memperkirakan, kebutuhan feedstock-nya mencapai 9-12 juta ton per tahun.

“Ini kan besar, dan membutuhkan rantai pasok yang berkelanjutan. Pertanyaannya, apakah ada pasokan biomassa sepanjang tahun? Dibutuhkan investasi besar untuk memastikan adanya supply chain yang stabil. Apakah pemerintah mampu mengeluarkan biaya besar untuk menjawab kebutuhan ini?” kata Pamela.

Isu pasokan biomassa ini terjadi di PLTU Sintang (3x7 MW) yang telah melakukan metode co-firing selama dua tahun terakhir menggunakan cangkang sawit. PLTU ini membakar batu bara 13.500 ton dan cangkang kelapa sawit 1.500 ton per bulan. Biomassa diperoleh dari beberapa perusahaan pemasok, dengan harga Rp 750.000 per ton.

Manajer Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkitan (UPDK) PLTU Sintang Inje Anjas mengatakan, kuota pesanan untuk cangkang sawit dari pemasok tidak selalu terpenuhi beberapa kali dalam setahun. Selain itu, ada kekhawatiran biomassa ini dijual ke pasar luar negeri karena lebih menguntungkan.

Namun hal itu tidak mengganggu operasional. “Dalam setahun kita selalu bisa switching menggunakan bahan bakar 100% batu bara. Ini sekaligus untuk maintenance agar kalori batu bara yang ada tidak menurun,” kata Anjas. 

Soal harga biomassa cangkang sawit yang premium, Anjas mengatakan saat ini PLN sedang menggodok aturan di kantor pusat. Ke depan, PLN berencana mengatur harga pengadaan cangkang sawit tidak boleh lebih mahal dari harga batu bara, atau maksimal 85% dari pengadaan batu bara (termasuk ongkos kirim).

Penelusuran Kompas, ada dua PLTU lain bernasib serupa. PLTU Jeranjang (3x25 MW) juga berhenti menggunakan biomassa sekam padi setelah satu tahun. Selain bersifat musiman, nilai kalorinya juga lebih rendah yakni 2.000 kilokalori per kilogram (kkal/kg). Angka ini jauh di bawah batu bara pada 4.000 kkal/kg.

PLTU Ropa (2x7 MW)—yang menggunakan pelet dari rumput kering 5% di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur—mengalami hal serupa. Kebutuhan biomassa harian mencapai 15 ton, yang dicampur dengan 285 ton baru bara. Menurut keterangan pemerintah setempat, dua mesin produksi pelet tidak cukup memenuhi kebutuhan tersebut.

Hingga saat ini belum ada perhitungan maupun strategi yang jelas mengenai bagaimana PLN akan memenuhi pasokan biomassa. “Pemerintah harus serius mempertimbangkan rencana penggunaan co-firing dalam bauran energi. Pasalnya negara lain pun tidak berhasil menggunakan metode ini,” kata Pamela.

Kepingan kayu, salah satu jenis biomassa yang dicampur dengan batu bara pada PLTU co-firing. Foto: mightyearth.org

“Selain itu, ada risiko program ini dapat mendistraksi pemerintah karena ini justru bisa jadi cara pengusaha PLTU batu bara untuk memperpanjang umur PLTU mereka. Padahal ada opsi lain yang jauh lebih bersih,” ujar Pamela.

Andriah menyebut, saat ini pemerintah sedang memfinalisasi peraturan menteri tentang co-firing biomassa, yang turut mengatur ketersediaan bahan bakar biomassa. “Campuran  biomassa pada setiap PLTU akan berbeda, tergantung hasil uji coba dan ketersediannya,” jelasnya.

Memperpanjang umur PLTU?

Andri menilai PLTU co-firing problematis. Menurutnya, metode ini berpotensi memperpanjang masa operasi PLTU tua, seperti dalam kasus PLTU Suralaya unit 1-4 dan 5-7 yang memiliki teknologi sub-critical.

“Unit pembangkit ini sudah beroperasi selama 30 tahun dan pada 2015 sudah dievaluasi. Kontrak telah banyak selesai dan sudah seharusnya dipensiunkan, berdasarkan umur pembangkitnya. Tapi yang terjadi adalah beberapa ada yang terlambat masa pensiunnya,” jelas Andri. 

Meskipun biomassa tergolong energi terbarukan, Andri menilai mencampurkannya dengan batu bara pada PLTU batu bara justru akan menjadikan mesin pembangkit tidak efisien.

“Metode ini tidak layak dipilih untuk solusi transisi energi jangka panjang. Secara prosesnya menghasilkan energi masih tetap membakar batu bara walau sudah dicampur dengan biomassa,” kata Andri.

“Sifatnya menjadi greenwashing. Tidak betul-betul mengarah pada transisi energi, namun menyamarkan masalah PLTU sendiri dengan mencampurnya dengan biomassa,” kata Andri. 

Andriah mengatakan PLTU co-firing merupakan cara pemerintah dan PLN untuk menghijaukan PLTU. “Co-firing biomassa bukan pembangkit EBT tapi bahan bakar yang digunakan lebih hijau karena dicampur dengan biomassa dibandingkan menggunkan 100% batu bara. Emisi juga menjadi lebih rendah,” kata Andriah.

Peneliti Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari mengatakan, metode co-firing dapat mendatangkan masalah baru dalam jangka panjang. Penggunaan biomassa dari pelet kayu maupun cangkang sawit, Adila khawatir ini dapat memicu pembukaan lahan baru.

Kampanye organisasi nonprofit menyerukan penghentian penggunaan batu bara di sekita PLTU Celukan Bawang, Bali. Foto: Greenpeace Indonesia

Dalam kertas kerjanya Februari 2021, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyatakan bahwa rancangan pemberlakuan co-firing oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam hanya akan mendorong industri biomassa yang masif. Di lain sisi, harga biomassa seperti pelet kayu juga tergolong mahal.

Dikutip dari berbagai media, PLN telah menyatakan bekerja sama dengan badan usaha milik negara (BUMN) seperti Perhutani dan PTPN III untuk pengembangan hutan tanaman energi demi memenuhi kebutuhan biomassa untuk pembangkit co-firing. Menurut perkiraan PLN, biomassa dapat menggantikan 9 juta ton batu bara setiap tahunnya pada PLTU co-firing.

Namun Adila menilai pemerintah belum memiliki rencana dan perhitungan yang jelas untuk menjawab tantangan pasokan di masa depan maupun risiko yang mungkin timbul dari hal ini. 

“Kita akan terjebak pada carbon lock in 30 tahun ke depan. Padahal ada target nol emisi pada 2060. Otomatis ini akan semakin lama mencapai nol emisi. Sementara itu 38% listrik masih dihasilkan dari pembakaran batu bara,” kata Adila.

Fokus pada energi bersih

Direktur Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan, metode co-firing dapat digunakan namun hanya dalam jangka pendek, yakni untuk memenuhi bauran energi pada 2025. Setelah itu, Surya mengatakan Indonesia harus fokus pada phasing out PLTU batu bara dan fokus pada pengembangan energi bersih. 

Indonesia memiliki sumber energi terbarukan berlimpah, terutama energi surya yang hampir merata di seluruh wilayah. Untuk menghindari pemakaian lahan, salah satu yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan PLTS Atap. 

Menurut hitungan IESR, tenaga surya di Indonesia mencapai 3.000 hingga 20.000 GWp jika dihitung berdasarkan potensi teknis dan kesesuaian lahan. Dengan skenario paling optimistis, lembaga tersebut menghitung terdapat 9 jenis tutupan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk PLTS Atap seluas 1,9 juta kilometer persegi. 

Berbagai penelitian juga mengungkap bahwa harga jual-beli listrik dari tenaga surya (power purchase agreement atau PPA) maupun penawaran lelang PLTS Independent Power Producer (IPP) di Indonesia turun sekitar 76-84% selama periode 2015-2020.

“Kesempatan ini harusnya digunakan untuk fokus mengembangkan energi terbarukan,” kata Surya.

Pembangunan unit 9 dan 10 PLTU Suralaya di Kelurahan Suralaya, Kecamatan Pulomerak, Banten. Foto: Istimewa 

Dalam berbagai kesempatan PT PLN menyatakan pembangkit listrik batu bara akan pensiun, untuk mencapai ambisi karbon netral pada 2060. Namun dalam RUPTL terbaru, pemerintah sedang dan masih berencana membangun PLTU sebesar 13,8 GW untuk menambah kapasitas eksisting 31,9 GW.

Salah satu lokasi pembangunan itu ada di kompleks PLTU Suralaya. Beberapa bulan terakhir, saat berangkat melaut, Edi bisa melihat konstruksi pembangunan unit baru (9-10). Dia mengaku warga juga tidak dilibatkan dalam pembangunan tersebut. Edi juga kerap membaca berita kalau nantinya pembangkit itu akan menghasilkan energi lebih bersih.

“Saya hanya bisa tertawa pada klaim yang lebih hijau itu. Ya kalau ke depan juga masih ada polusi, masyarakat sudah kebal. Kami cuma bisa berharap, setidaknya ada sedikit manfaat bagi kami dari segi pekerjaan dan ekonomi. Tapi kenyataannya tidak,” kata Edi.