LIPUTAN KHUSUS:

Ratusan Miliar Dinilai Tak Selesaikan Masalah Satwa di Aceh


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Ratusan miliar dana tersebut tidak menyelesaikan masalah satwa. Sebab, kasus konflik dan kematian satwa terus terjadi, padahal anggaran dihabiskan tidaklah sedikit.

Satwa

Kamis, 04 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Kinerja lembaga konsorsium Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) yang mengelola dana anggaran Rp160 miliar untuk perlindungan satwa di Aceh, dikritik. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh memandang, ratusan miliar dana tersebut nyatanya tidak menyelesaikan masalah satwa. Sebab, kasus konflik dan kematian satwa terus terjadi, padahal anggaran yang dihabiskan tidaklah sedikit.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur menuturkan, sejak 2012 hingga 2021 anggaran yang digelontorkan oleh TFCA-Sumatera, yang pengelolaan dilakukan oleh 12 lembaga konsorsium mencapai Rp160 miliar lebih. Jika dibagi per tahun sekitar Rp17,7 miliar.

Menurut Nur, sebagian besar dana yang TFCA kucurkan dihabiskan untuk belanja alat kerja, gaji dan operasi para petinggi yang terlibat dengan gaji besar, selebihnya seminar-seminar dan Forum Grup Diskusi  (FGD). Kabar yang beredar bahkan menyebut bahwa ada puluhan miliar dana TFCA yang diberikan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat untuk pembuatan pagar, atau belanja fisik.

"Fakta di lapangan, kerusakan hutan, kematian satwa, konflik, dan perburuan terhadap satwa lindung terus terjadi. Dampak perlindungan tidak sebanding dengan anggaran yang dihabiskan," kata Nur dalam siaran pers, Rabu (3/11/2021).

BKSDA Aceh bersama tim dokter hewan VESSWIC yang dipimpin drh. Anhar, didukung mitra FKL dan WCS serta Polri, melakukan pengobatan terhadap gajah liar yang terluka, karena jerat, 19 September 2018. (twitter.com/acehbksda)

Nur menerangkan, hasil pemantauan yang Walhi Aceh lakukan, sejak 2016 hingga 2021, sekitar 46 individu gajah mati, sebagian besar karena konflik dan sisanya karena perburuan dan kematian alami. Kasus perdagangan kulit harimau juga terjadi. Konflik gajah juga masih masif terjadi.

"Artinya uang besar yang dihamburkan TFCA tidak menyelesaikan persoalan konflik satwa-manusia. Jumlah dana yang dikuncurkan TFCA tak sebanding dengan angka kematian satwa di Aceh, harusnya ada satwa yang selamat dari program mereka," kata Nur.

Konflik gajah bukan hanya berdampak pada keberlangsungan hidup satwa, namun juga memberikan dampak kerugian ekonomi pada warga. Nur mengatakan semestinya dengan anggaran sebesar itu warga yang berada di kawasan hutan dapat dilibatkan penuh sebagai komunitas perlindungan satwa digaris utama.

"Namun, warga yang terdampak tidak pernah diberi ganti rugi dan minim dilibatkan. Mereka hanya jadi objek atas program perlindungan satwa."

Program Aksi nyata Konservasi Hutan Tropis Sumatera merupakan satu skema pengalihan utang untuk lingkungan (debt-for-nature swap) oleh Pemerintah Amerika Serikat dengan Pemerintah Indonesia yang ditujukan untuk melestarikan kawasan hutan tropis di Sumatera. Kesepakatan antara kedua negara dan para pihak yang terlibat, Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) dan Conservation International Indonesia, yang ditandatangani pada 30 Juni 2009 di Manggala Wanabhakti, Jakarta.

Di Aceh anggaran program TFCA-Sumatera dikelola oleh konsorsium yakni, Konsorsium Orangutan Information Center, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Konsorsium Jantho Lestari, Konsorsium Suar Galang Keadilan, Conservation Response Unit (CRU) Aceh, Forum Konservasi Leuser, Yayasan Leuser International (YLI), Yayasan Orangutan Sumatra Lestari (YOSL), North Sumatra Rhino Consorsium, dan Veterinary Society For Sumatra Wildlife (Vesswic).

Terpisah, Direktur Program TFCA-Sumatera, Samedi mengatakan, TFCA-Sumatera bersyukur dan bangga sudah berbuat dan membantu sedemikian banyak terkait usaha konservasi di Sumatera, dan kontribusinya juga nyata. Namun menurut Samedi, isu konservasi di lapangan memang sangat besar, tidak cukup hanya TFCA-Sumatera yang bergerak.

"Banyak sekali variabel keberhasilan konservasi dimana TFCA-S hanya dapat berbuat sedikit dari yang banyak itu. Jadi mohon dukungan semua pihak, termasuk Walhi juga, untuk ikut mobilisasi dana dan resources mereka supaya bisa menambah dan mendampingi kerja baik TFCA-S. Konservasi butuh dana besar, karena konservasi itu nilainya memang besar, bagi alam dan bagi umat manusia," kata Samedi, Rabu (3/11/2021).

Samedi kemudian menjelaskan sedikit tentang dana TFCA-Sumatera yang penggunaannya dikritik oleh Walhi Aceh. Samedi bilang, dari total dana yang disebutkan Walhi Aceh, tidak seluruhnya untuk perlindungan satwa. Sebagai contoh dana untuk konsorsium badak utara yang dipimpin Forum Koservasi Leuser (FKL) sebesar kurang lebih Rp82 miliar, itu akan dipakai untuk implementasi Rencana Aksi Darurat Badak Sumatera, yang sebagian besar untuk proteksi populasi badak di Leuser bagian barat, dan sebagian lagi untuk mengkonsolidasikan populasi di Leuser bagian timur melalui pembangunan fasilitas semi in situ di Aceh Timur.

"Dana untuk konsorsium yang dipimpin CRU sebesar kurang lebih Rp12 miliar adalah untuk implementasi sebagian kecil dari Rencana Tindak Mendesak dan penyelamatan gajah di Aceh. Dana sebesar itu masih sangat kecil dibanding kebutuhan sumber daya untuk penanganan konservasi di Aceh. Kami hanya berharap mudah-mudahan kontribusi nyata TFCA-S selama ini mendapat tempat di hati masyarakat," ujar Samedi.

Soal dana TFCA-Sumatera yang diharapkan menyentuh masyarakat korban atau yang dirugikan atas terjadinya konflik dengan satwa. Samedi menjelaskan, lembaga-lembaga mitra penerima hibah dana TFCA-Sumatera di lapangan tentunya juga menyentuh masyarakat yang terlibat konflik, tetapi melalui kegiatan-kegiatan yang sifatnya lebih strategis. Semisal, menyiapkan masyarakat untuk dapat mandiri menghadapi datangnya satwa yang dapat menimbulkan konflik, sebelum petugas dari BKSDA atau taman nasional datang.

"Ini juga dilakukan melalui pengembangan early warning system di level masyarakat untuk mengidentifikasi datangnya satwa lebih dini sehingga konflik dapat dihindari atau diminimalisir. Kegiatan ini saat ini berjalan di siklus hibah VIII dan kemungkinan siklus IX yang masih dalam proses penilaian usulan," tutup Samedi.